Angin, 2
Sajak Sapardi Djoko Damono
Angin pagi menerbangkan sisa-sisa unggun api yang terbakar
semalaman. Seekor ulat lewat, menghindar. Lelaki itu masih
tidur. Ia bermimpi bahwa perigi tua yang tertutup ilalang panjang
di pekarangan belakang rumah itu tiba-tiba berair kembali.
[Perahu Kertas, 1991]
1. Angin pagi, seekor ulat dan lelaki itu dalam sajak ini saya lihat tempatnya sejajar. Angin adalah pelaku yang menerbangkan sisa-sisa unggun api. Ulat yang lewat itu tidak sekadar lewat. Dia juga tokoh yang punya peristiwa sendiri, yang dalam sajak ini hadir setara dengan lelaki yang masih tidur itu. Peristiwa-peristiwa dan perbuatan kecil yang dialami dan dilakoni oleh si angin dan si ulat bisa dilihat sejajar dengan mimpi si lelaki tentang perigi. Bisa juga jadi semacam pengantar sebelum sampai pada bait mimpi itu.
2. Semua peristiwa dalam sajak itu berlangsung di sebuah pagi. Frasa "angin pagi" sudah cukup mengabarkan itu. Tanpa kata "pagi" itu pun, kepagiannya sudah terasa. Soalnya ada ulat yang baru memulai geliat, juga lelaki yang masih belum bangun dari tidur.
3. Di manakah biasanya api unggun dinyalakan? Pasti bukan di taman kota. Pasti bukan di kamar hotel. Di manakah ulat bisa leluasa lewat-lewatan? Pasti bukan di jalanan kota besar. Jadi, tanpa harus disuratkan, tempat kejadian peristiwa sajak ini tersirat begitu kuatnya. Dimana? Ah, saya juga tidak ingin menyebutkannya.
4. Lelaki yang tertidur itu sedang mengembara. Ia jauh dari rumah. Ia bahkan kita bisa tahu sengaja meninggalkan rumah. Ada yang membuatnya tidak bisa bertahan di rumah yang ia tinggalkan. Apa? Entahlah, kita hanya bisa menebak itu dari perigi di belakang rumah yang tidak terurus, yang tidak berair lagi. Yang kering.
5. Lelaki itu sedang sangat rindu dengan rumah. Puisi itu tak perlu menyebutkan kata rindu. Tak perlu menghadirkan kata kangen. Cukup dengan mimpi bahwa sumur itu berair lagi. Air itu lambang kehidupan. Rumah tanpa air adalah rumah yang mati. Lihat, betapa semua kata dalam sajak ini bisa menjadi lambang. Menjadi bahan pemaknaan kita.
6. Begitulah. Tafsiran ini tentu saja bisa salah. Tapi saya bahagia bisa menafsirkan demikian. Saya merasa menemukan sesuatu yang bermakna buat batin saya. Kamu bisa saja punya penafsiran lain. Tafsiran yang membuat hidupmu bermakna. Silakan saja. Bagikan juga ke saya, ya... [hah]