Monday, July 18, 2005

[Renung # 115] Imajinasi Wawancara dengan Subagio Sastrowardoyo

TANYA: Bagaimana Anda melayani ketika ilham puisi datang dan bagaimana Anda mencari kata yang pas untuk memuisikan ilham itu?

JAWAB: Ketika saya mendapat ilham kata-kata dengan sendirinya menetes dari batin saya dan menyusun sendiri menjadi sajak. Kerap kali saya merasa seperti mabuk kata-kata, dan pedoman yang saya pakai dalam menguasai desakan aliran kata-kata itu adalah irama yang melekat padanya.

TANYA: Anda mempedulikan pembaca puisi Anda?
JAWAB: Ketika menerima luapan ilham saya tidak amat peduli adakah apa yang saya katakan di dalam sajak dapat dimengerti oleh pembaca ataupun dapat diterima oleh ukuran, aturan atau teori-teori sastra yang ada. Saya hanya percaya dan yakin akan kejernihan dan kesetian bayangan batin saya dan menyatakannya dalam sajak, Acapkali sajak-sajak saya, saya rasa sebagai monolog, bicaca sendiri, yang tercatat dalam tulisan pada saat kecerahan dan keheningan jiwa. Bayangan-bayangan batin timbul hanya selama sekilas-sekilas, maka harus ditangkap dengan cepat dan dikekalkan dalam tulisan sebelum terlepas dan hilang dari ingatan.

TANYA: Lalu bagaimana makna bisa mengisi ke dalam sajak jika bayangan itu hanya timbul sekilas?

JAWAB: Sajak tercipta pada saat-saat estetis atau saat-saat puitis yang sekilas-sekilas, dan pada saat itulah berkilat bayangan-bayangan batin. Pada saat-saat puitis itu juga segala sesuatu memperjelas pertaliannya yang asasi dengan tugas-tugas serta makna-makna yang pokok. Pertalian-pertalian itu tertangkap dengan sekaligus secara intutitif dan dengan itu imagery atau gatra, yang merupakan unsur yang inti pada bangunan sajak, menjelma dalam batin.

[Jawaban Subagio dalam imajinasi wawancara di atas dipetik dari buku Keroncong Motinggo, Dua Kumpulan Sajak, Balai Pustaka, 1992]