KADANG terpikir andai saja kami hidup di Australia. Kabarnya disana, keluarga boleh tidak menyekolahkan anak-anaknya asal bisa mendidiknya sesuai dengan kurikulum yang ditetapkan negara. Untuk itu negara memberi dana kepada keluarga tersebut. Rasanya aku dan Yana bisa mendidik sendiri Shiela.
TAPI kami tidak di Australia. Maka serangkaian kerepotan pendaftaran itupun harus kami - aku dan Shiela, juga Yana - jalani. Yana menjadi tempat bertanya tetangga-tetangga yang juga berburu sekolah. Aku dan Shiela mendaftar ke dua sekolah dasar. Satu swasta dan satunya lagi negeri. Harapan untuk bisa diterima di sekolah negeri kecil sekali. Soalnya daya tampung terbatas sementara calon murid melebihi daya tampung itu. Di SD Negeri 2 tempat Shiela mendaftar, pada hari kelima, ada 126 lebih pendaftar. Shiela nomor 106. Padahal besoknya pendaftaran baru ditutup.
AKU pun lakukan trik itu. Mungkin salah, tapi paling tidak itulah yang paling elegan. Yang penting saya tidak menyuap - sesuatu yang amat pantang aku lakukan sejak aku hrrus jadi orang dewasa yang berurusan dengan birokrasi apapun. Trik apa? Tak perlu aku ceritakan.
HARI ini pengumuman. Tak ada nomor 106 di papan pengumuman itu. Tapi, Shiela diterima, seperti yang dijanjikan ibu guru yang mengetes Shiela.
"KENAPA shiela diterima, Mak?" tanya Shiela.
Yana tak bisa menjawab. Dia terbayang apa yang sudah saya lakukan untuk mengupayakan agar dia diterima di sekolah itu.
"Karena Shiela bisa menjawab pertanyaan ibu guru. Gitu, Mak. Gimana sih Mamak ni..."