Tuesday, December 30, 2003

[Ruang Renung # 51] Puisi Lama, Puisi Baru: Pantun Namanya

     ADA banyak bentuk puisi lama yang dipakai oleh pujangga-pujangga dahulu. Ada talibun, ada gurindam, ada pantun, ada pantun berkait, ada bidal, kwatrin, soneta dan beberapa bentuk lainnya. Dalam khazanah sastra lisan dan tulis Melayu lama pantun menempati tempat istimewa. Ini genre puisi yang khas dari budaya itu. Bentuk ini berlayar jauh hingga sampai dipakai juga oleh penyair di negeri eropa. Di Prancis mereka penyebutnya pantoum. Memang bentuk puisi ini di luar negerinya tidak sepopuler haiku yang dihasilkan budaya Jepang.

     TERHADAP pantun, dan bentuk-bentuk sajak lama lainnya, kita tidak usah memandang rendah, atau melihatnya sebagai bentuk yang out of date. Kita justru harus merasa tertantang untuk menaklukkannya tanpa merusaknya. Kita harus bisa memperbaharuinya sambil tetap bersetia padanya. Bukankah Chairil Anwar --- yang selalu dirujuk sebagai pendobrak, dan pengusung kebebasan bentuk dan tema dalam bersajak --- juga ada menulis sajak empat baris yang taat bunyi di ujung baris. Penyair itu menunjukkan keberhasilannya berjuangan menaklukkan konvensi, seperti disebut Sapardi. Sajak "Kabar dari Laut" ditulis dalam bentuk soneta. Sajak "Senja di Pelauhan Kecil" adalah bentuk kwatrin yang indah. Ada juga kwatrin yang telah diakali oleh Chairil seperti "Yang Terampas dan Yang Putus", di mana bait keempat ia pisahkan sehingga tampak seperti sajak yang tak patuh pada bentuk tetap apapun. Jejak kwatrin dengan rima a-b-a-b terasa apabila baris keempat itu digabung ke bait di atasnya.

     JADI? Apa alasan kita untuk meninggalkan atau memaki bentuk sajak lama atau sajak berbentuk tetap? Sajak bentuk bebas dan sajak bentuk tetap sama menantangnya untuk digelut-sendai.

     SEKADAR contoh, bagaimana sebuah pantun diutak-atik. Bagaimana bahasa dari khazanah pantun lama tetap dipertahankan, tapi suasana baru terbangkitkan. Baris terakhir, dalam pantun ini memang tidak tuntas kalimatnya, seperti tersirat dan memang ia menguatkan judulnya. Tetapi rimanya sudah lengkap: a-b-a-b. Ketentuan pantun dengan sampiran dan isi juga dipertahankan. Namanya juga pantun. Silakan menilik:



3 Pantun tak Tuntas



telah membusuk: setangkai sirih

kupetik pada cuaca yang salah

telah kau tusuk: sehunus pedih

ketika kau berbisik: "aku telah...."



sebelah pinang sekerat kenang

engkau sirih yang tak terkunyah

sembunyi di gelap selapis bayang

aku bertanya: "Engkaukah...."



berkanvas sirih engkau kulukis

berkuas jemari kulakar tatapku

bergegas sisa-sisa dengus kukais

sebelum nafas habis, lalu
....[hah]