Monday, December 22, 2003

[Ruang Renung # 47] Sajak Sebagai Soto yang Gurih

ADA juga yang mengajak dia berdiskusi dengan pertanyaan seperti ini: .... Sajak atau bukan tergantung penulis dan pembacanya. Kalau penulis bilang itu sajak, maka bolehlah itu dibilang sajak (untuk penulis itu), kalau pembaca bilang itu bukan sajak ya itu bukan sajak (untuk pembaca tersebut). Jadi mungkin suatu saat, penulis dan pembaca bisa bersetuju bahwa sesuatu itu bisa disebut sajak, bisa juga tidak.

Menurut Anda bagaimana pendapat ini? Apakah menulis sajak itu tidak memerlukan syarat dan teknik penulisan?



MAKA dia pun menjawab seperti ini: ... Saya tidak pandai kalau harus membuat definisi apa itu sajak. Tapi, saya bisa membedakan mana tulisan yang disebut sajak dan mana tulisan yang disebut resep masakan. Di dalam resep masakan pasti ada bahan, cara memasak, cara menyajikan dan kadang kandungan gizi dari masakan itu. Dia dibuat semudah mungkin agar siapapun yang membacanya atau siapapun yang memasak dengan resep itu menghasilkan masakan yang sama. Kalau itu resep soto, maka masakan yang dihasilkan adalah soto, bukan kari apalagi kolak. Tetapi, pasti ada sedikit perbedaan rasa, dari soto yang dihasilkan oleh dua orang yang berbeda, meskipun mereka berdua merujuk ke satu resep yang sama.

Perbedaan itu bisa ada dari perbedaan ayam yang jadi bahan masakan, dari lama memasak, dari kehalusan bumbu, dan dari banyak hal ketika proses memasak itu berlangsung. Bahkan satu tukang masak pun bisa menghasilkan masakan soto yang berbeda rasanya dengan yang dia buat kemarin, padahal dia memasak dengan bumbu, bahan dan alat masak yang sama. Mungkin lebih enak, atau tidak. Masakan juga bisa dipengaruhi suasana hati si tukang masak. Yang pasti, hanya dengan membaca sebuah resep saja, tanpa memasak, tidak akan dihasilkan masakan.

Sajak tidak ditulis sebagai sebuah petunjuk. Berhadapan dengan sajak, seorang pembaca tentu tidak sedang membaca sebuah resep masakan. Tapi sajak adalah sajak. Si penulislah yang pertama kali meniatkan apa yang ia tuliskan sebagai sajak itu memang benar-benar sebuah sajak. Saya kira keberhasilan pertama dari seorang penulis sajak adalah apabila pembaca pun meyakini bahwa itu sajak bukan resep masakan. Ibarat juru masak, dia harus meyakinkan orang bahwa yang dia masak adalah soto bukan gulai. Harus ada batasan dan sarat mana yang sajak mana yang bukan. Tapi haruskah batasan itu didefiniskan? Haruskah sebelum makan soto kita harus hafal dahulu pengertian soto itu? Bukankah tidak lebih nikmat kalau kita hanya mencium aroma soto itu, lalu langsung terbit air liur untuk mencicipinya? Kita toh tidak harus tahu komposisi bahan dan cara memasak soto sebelum menyimpulkan soto itu enak atau tidak? Cocok dengan selera kita atau tidak? Lagi pula, ada penulis yang enteng saja mengatakan, "Saya menyebutkan karya saya sebagai puisi, kalau tidak ada kategori lain yang cocok untuk menggolongkan karya saya itu."

Dan tantangan berikutnya adalah seberapa banyak orang menggemari sajak itu, seberapa banyak orang merasa terwakili perasaannya dengan sajak itu, seberapa banyak orang bisa terjawab kegelisahannya dengan sajak itu, seberapa banyak orang terpuaskan lapar jiwanya dengan sajak itu. Seperti tukang masak soto yang enak, penulis sajak yang baik dan sajaknya akan ditunggu oleh pembaca dengan pertanyaan, "masak apa lagi Anda hari ini?" Sementara itu, si pembaca tak bosan-bosannya menikmati soto eh sajak yang sudah terkenal gurihnya. Slerrpp! Nyam nyam nyam.[hah]