Thursday, December 25, 2003

Bagi Dua Anaknya

Syair Li Po



Di tanah Wu, hijaulah daun-daun mulberi,

tiga kali sudah ulat sutera tidur sehari.

Di Luh bagian timur, keluargaku tinggal,

kutebak-tebak siapa menabur di ladang kita.

Aku masih belum bisa pulang di musim semi,

Masih tak bisa apa-apa, mengembarai sungai.



Angin selatan mengembus jiwaku merindu rumah

dan membawanya ke hadapan kedai minum kita.

Di sana kulihat pohon persik di sisi timur rumah

dengan daun ngambang, alun cabang di kabut biru.

Itulah pohon yang kutanam saat pergi tiga tahun lalu.

Pohon persik yang menjulang setinggi kedai,

sementara aku mengembara tak kembali.



Ping-yang, anakku jelita, kulihat kau berdiri

di sisi pohon persik dan memetik cabang bunga.

Kau memetik bunga-bunga, tak ada aku di sana

Lihat, air matamu luruh bagai arus air!



Putra kecilku, Po-chin, kau pun tumbuh

setinggi bahu saudara perempuanmu,

Kau bermain di halaman di bawah pohon persik itu.



Tapi siapa yang menepuk-nepuk di belakangmu?



Ketika terlintas pikiran ini, perasaanku kacau,

Dan kuasah duka tajam, menusuk hatiku sendiri,

setiap hari. Dan kini, kubasahi selembar sutra putih

dengan air mata, saat kutulis surat ini.



Dan kukirim dengan kasihku, sejauh arus sungai.