Friday, December 19, 2003

[Ruang Renung # 43] Mitos dan Peta yang Tidak Lengkap

Beginilah situasinya. Ada sejumlah surat kabar umum yang menyediakan satu dua halamannya untuk memuat karya sastra. Ada yang saban bulan, ada yang tiap minggu. Ada majalah sastra yang satu dua bertahan terbit. Ada satu dua komunitas yang berteguh menerbitkan majalah sastra sendiri. Ada satu dua pecinta sastra yang mengelola media online.



Beginilah situasinya. Ada banyak pecinta puisi, pegiat puisi, penyair, mereka yang berasyik-asyik dengan puisi, yang sesekali atau seringkali mengirimkan karya-karya puisinya ke media-media di atas. Ada beberapa nama yang kerap muncul di media-media itu. Ada yang sesekali saja terbaca. Lebih banyak lagi yang sama sekali tidak pernah dimuat karyanya.



Di media-media itu, tentu saja ada redaktur yang dengan kelebihan-kelebihan dan keterbatasannya, dengan selera estetis dan subyektivitasnya, dengan keterbatasan waktu dan banyaknya naskah yang harus diseleksinya, dan kadang-kadang dengan sedikit arogansi dan sesekali kemurahan-hatinya. Dan dengan segala hal tadi menjadi penentu puisi-puisi seperti apa yang kemudian muncul di media-media di alinea pertama tadi.



Media-media tadi memukau sebagai tempat untuk mempublikasikan karya, karena nama-nama redakturnya, karena luasnya distrubusinya, dan karena ada honornya, dan karena ada beberapa media yang seolah dijadikan mitos: bila sajak seorang penyair telah terbit di media itu, maka si penyair telah sah sebagai penyair.



Mitos itu semakin menjadi mitos, karena ada satu dua pengamat kepenyairan yang suka membuat peta penyair. Peta itu seringkali dibuat terutama berdasarkan karya-karya yang dimuat di media-media di alinea pertama tadi - dengan teramat kerap tidak menganggap sama sekali media online - plus buku-buku puisi yang terbit terbatas yang kebetulan sampai dan terbaca oleh si pembuat peta. Tentu saja hasilnya adalah sebuah peta yang tidak lengkap.



Begitulah situasinya.[hah]