Monday, December 22, 2003

[Ruang Renung # 44] Bila Gagal Menulis, Puisi Hambar

KARENA ada seseorang yang bertanya kepadanya lewat surat-e: ... Kemudian aku berfikir untuk mencoba membuat karya sastra sendiri. Tetapi beberapa kali aku coba gagal alias tanpa ada makna, hambar dan tidak berbobot.

Saya ingin Anda cerita bagaimana menemukan sebuah ide yang bisa ditulis menjadi sebuah puisi yang indah, karena beberapa kali aku mencoba merenung, tapi hasilnya nihil juga.





MAKA, dia pun menjawab:... Pada mulanya, saya tak peduli apakah yang kuhasilkan nanti adalah sebuah karya (yang bernilai) sastra atau tidak. Saya hanya ingin menulis puisi. Saya berakrab-akrab dengan puisi, dengan membaca dan menuliskannya. Saya mencintai puisi, karena itu saya selalu mencari dan ingin tahu banyak hal tentang puisi. Tentang orang-orang yang disebut penyair, dan tentu puisi-puisinya.

Tetapi, seperti Anda, saya sangat peduli apakah puisi saya itu ada maknanya, dan apakah karya saya itu hambar atau gurih untuk dibaca. Berbobot? Bukankah bobot puisi sudah termasudkan dalam dua hal sebelumnya: makna dan keindahannya? Kalau maksud Anda adalah bobot atau kandungan nilai sastranya maka jawabannya kembali ke alinea sebelum alinea ini.

Bagaimana menemukan sebuah ide yang bisa ditulis menjadi puisi indah? Ide puisi bisa datang dari mana saja. Dia bisa ditemukan dengan mencari terlebih dahulu. Mencarinya di mana? Di mana saja. Dari membaca surat kabar. Dari kemasan bedak. Dari nonton film India. Dari mana saja. Kapan? Kapan saja. Saat di kamar mandi. Saat kehujanan di jalanan. Saat menunggu istri sehabis melahirkan di rumah sakit.

Dia -- ide puisi itu -- bisa datang begitu saja dan buru-buru saya tangkap. Saat bertanya jawab dengan anak, saat membaca sajak orang lain, saat mendengarkan lagu pop. Ini mungkin seperti proses merenung yang panjang dan tak putus-putus. Tapi, jangan bayangkan itu semua berlaku dalam suasana tegang. Tidak. Santai sajalah. Merenung bukan berarti harus duduk berkerut kening. Menulislah untuk menggembirakan diri kita sendiri. Menulislah dengan gembira. Carilah kegembiraan dalam menulis.

Mungkin ada baiknya memulai berlatih dengan sajak-sajak pendek. Seperti haiku dalam khazanah perpuisian Jepang. Pendek, ringkas, berbobot dan bermakna. Hanya dalam 17 suku kata.

Begitulah. Dia menjawab. Lalu meninjau kembali, seperti meyakinkan diri sendiri, apa yang dia tulis sendiri.[hah]