KETIKA kita menggubah sajak, apapun bahannya, kita berhadapan dengan risiko itu: kita akan menghasilkan sajak yang buruk, atau sajak yang baik. Sekali lagi, apapun bahannya, juga ketika bahan yang sama sudah diolah oleh penyair terdahulu.
Ketika kita dengan sadar memilih, atau tergerak, atau tertarik, membuat sajak dengan bahan yang sama dengan para pendahulu kita, saya kira pertanyaan penting bukan lagi apakah sajak kita lebih baik atau lebih buruk, tapi, apakah kita bisa menghasilkan sajak yang berbeda.
Bahan atau tema sajak itu berulang. Siapa penyair yang tak pernah menulis sajak cinta? Tetapi, ketika kita menulis sajak cinta, apakah kita harus mencontek bagaimana Sapardi atau Rendra, mengolah sajak cintanya? Terserah engkau. Kalau kau hanya ingin jadi pengekor, tiru saja.
Di ranah kreatif bernama seni puisi ini, peniruan adalah kemalasan. Dan kemalasan tak akan pernah mengantarkan engkau kemana-mana, kau akan tetap kerdil di bawah bayang-bayang puncak-puncak para pendahulumu. Kau tak akan pernah menjulang sebagai dirimu sendiri, di puncakmu sendiri. []