SETELAH Chairil Anwar menyiarkan sajak-sajaknya, setelah sajak-sajaknya dibahas, diulas, didudukkan setinggi-tinggi sebagaimana layaknya ia dapat tempat, maka sejak itu tidak ada lagi penyair yang menulis dengan gaya Pujangga Baru! Inilah revolusi itu. Revolusi yang digerakkan - atau setidaknya dirintis - oleh Chairil.
Chairil berhasil meyakinkan bahwa sistem persajakan lama itu bisa dirombak. Ia mencari dan menemukan bahasa yang menyegarkan bahasa lama yang membosankan itu.
A Teeuw ada mengutip hasil penelitian Keith R. Foulcher yang menggambarkan dengan jelas seperti apa konvensi persajakan pada masa Pujangga Baru dan bagaimana kemudian Chairil mengubah konvensi itu.
Kita butir-butirkan saja kutipan dari Teeuw (bacalah, sambil membayangkan bagaimana sajak-sajak dari zaman Pujangga Baru itu dideklamasikan oleh seorang murid SD yang diajari oleh Guru Bahasa yang hanya patuh pada kurikulum):
1. Dalam masa Pujangga Baru konvensi puisi dari masa sebelumnya di bidang bentuk dan teknik dipertahankan dengan ketegasan dan konsistensi yang cukup nyata. Dari segi bentuk kwatrin tradisional (bait berlarik empat dan berkata empat) menjadi dasar ekpresi.
2. Bahasa sebagian besar tetap bersifat retoris; bahasa nan indah tetap menjadi cita-cita estetis dalam pertentangannya dengan bahasa sehari-hari.
3. Dalam bidang tema dan perkiasan pun tidak besarlah perubahan kalau dibandingkan dengan masa sebelum Pujangga Baru.
4. Skala emosi yang dilahirkan dalam puisi selalu terpantul dalam aspek-aspek keindahan alam yang lembut-halus.
Chairil hadir dengan perlawanan. Ia perkenalkan tema-tema baru dalam sajak-sajaknya. Ia angkat bahasa sehari-hari menjadi berdaya puisi, sehingga sajak menjadi dekat dengan banyak orang. Ia tulis sajak dengan bentuk-bentuk yang "rusak" dan merusak tatanan bentuk-bentuk lama. Ia tulis sajak yang jiwanya bukanlah jiwa malas yang terpukau dan terbuai oleh indahnya pemandangan. Ia tulis sajak dengan gelora jiwa menghempas.
Bayangkan, kalau Chairil tidak "melawan" Pujangga Baru, maka konvensi itu bisa jadi akan terus bertahan! Kita sumbangan paling besar - dan tak ternilai - seorang Chairil kepada bahasa dan sastra Indonesia.