PARA penyair terdahulu di negeri ini sudah membentangkan karyanya. Ibarat sebuah lanskap, di ranah perpuisian Indonesia itu terbentang jalan, hutan, puncak, bukit, sungai, lembah, rawa, semak, wilayah remang, dan padang pasir.
Para penyair yang datang kemudian, diuntungkan, dan sekaligus dipersulit dengan keadaan itu.
Diuntungkan karena jalan utama di daerah perpuisian kita sudah ada. Tapi, penyair yang benar-benar ingin punya kavling sendiri, ingin merintis jalan sendiri, ingin mencapai puncak sendiri tentu harus kuat dan berani masuk ke hutan dan mendaki puncak sendiri.
Betul, peta persajakan harus tersedia. Ini adalah kerja para kritikus. Tak usah mengeluhkan kemana saja mereka. Tanpa peta dari mereka, kita bisa membuat peta sendiri, demi persajakan kita sendiri.
Itu dilakukan oleh Joko Pinurbo, misalnya. Ia membuat wilayah-wilayah yang sudah ditempuh oleh Goenawan Mohamad, Sutardji, Sapardi, Rendra, Afrizal, Chairil, dan menandai jalan mana yang belum ditempuh oleh para pendahulu itu. Dan dia menemukan jalannya sendiri, jalan yang orisinal yang mengantarkan dia ke puncak sajaknya sendiri.
Maka, bacalah sajak-sajak para pendahulumu, telaahlah, kajilah, petakan untuk merancang jalan petualanganmu. Dengan peta itu, kau tahu mana wilayah yang sudah bertuan, mana wilayah yang belum digarap, mana jalur yang bisa kau rintis untuk mengantarkanmu ke puncak sajakmu sendiri.[]