CHAIRIL adalah "Plagiator". Tapi, bagi saya dia adalah Plagiator Agung. Dia Plagiator Mulia. Kalau untuk menjadi penyair sehebat dia menjadi "plagiat" seperti dia adalah satu-satunya cara, maka marilah kita sama-sama meniru dia: menjadi plagiator. Sebelum membantah ajakan saya di atas, atau mengutuk saya karena ajakan itu, mari kita lihat apa yang dilakukan Chairil.
Meski putus sekolah MULO ((Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, sekolah setingkat SMP di zaman Belanda), Chairil mengusai tiga bahasa asing: Inggris, Belanda dan Jerman. Dan dia adalah pembaca yang rakus. Dia membaca semua buku-buku teks resmi pelajar HBS (sekolah setingkat SMA).
Sebelum menyiarkan "Nisan" - sajak "pertamanya" itu - menurut H.B Jassin, Chairil juga menulis sajak dengan gaya Pujangga Baru. Sajak-sajak itu tidak memuaskannya dan dia buang semua.
Chairil lalu mencari metode persajakan apa yang baru, yang berbeda, yang segar, dan memuaskan gairah menyajaknya. Dia membaca dan menerjemahkan sajak-sajak dari penyair Eropa.
Dia menemukan dan belajar vitalitas dari Hendrik Marsman (Belanda), serta mengadopsi etos kerja dan metode puisi Rainer Maria Rilke (Jerman). Dia terjemahkan sajak-sajak dan surat Rilke dan dari situ dia punya sikap tegas: tak percaya pada kerja spontan. Dia tak percaya pada seni yang mengandalkan improvisasi. Sajak Chairil adalah karya yang dihasilkan dari kerja keras mencari pengucapan yang khas. Itulah metode menyajaknya: mengorek kata sampai ke inti. "...dalamnya tiap kata akan kugalli-korek sedalamnya, hingga ke kernwoord, ke kernbeeld," katanya.
Chairil menerjemahkan dan menyadur ("Krawang-Bekasi"-nya ditulis berdasarkan "The Young Dead Soldier" McLeish, dan ini adalah sajak saduran yang hebat) sajak dan prosa dari penyair lain: Auden, Conford, Gide, hingga Steinbeck. Ia membaca Eliot dan Hemingway, semua dalam bahasa aslinya.
Apakah merujuk ke sastra barat hanya dilakukan Chairil? Tidak. Para penyair Pujangga Baru melakukan hal yang sama, tetapi menghasilkan sajak yang tak semutu. Mereka merujuk ke Angkatan '80 di Belanda dan Chairil mencela mereka sebagai epigones. "Epigones yang tak tentu tuju pula lagi," tulisnya dalam kartu pos kepada Jassin, 11 Maret 1944.
Tidak hanya menoleh ke Barat, Chairil juga mengagumi Amir Hamzah. Ia baca cermat sajak Sang Raja Pujangga Baru (angkatan yang "dilawannya") itu. Dia puji Amir Hamzah dan ia bilang, "...susunan kata-kata Amir Hamzah bisa dikatakan destuctive terhadap bahasa lama; tetapi suatu sinar cemerlang untuk gerakan bahasa baru!"
Tapi Chairil tidak meniru penyair yang dikaguminya itu. Ia hanya mengambil semangatnya: menginterogasi terus-menerus bahasa persajakan yang jadi arus utama dan dengan itu ia membangun dan menemukan kekuatan sajak-sajaknya. []