SAYA benci, bukan sekadar tak suka atau tak percaya dengan kalimat ini: Tak ada yang baru di bawah matahari. Kalimat itu hanya menjadi tempat berlindung orang-orang yang malas, atau takut dengan orisinalitas.
Orisinalitas memang bukan perkara mudah. Tapi, dengan tekad kuat untuk meraih dan memperoleh itu, maka seni (juga sastra tentu saja) modern berkembang. Sejarah seni, cobalah telusuri, mengajarkan hal itu. Tanpa penemuan-penemuan baru, tanpa ada orisinalitas dari pekerja seni yang datang kemudian, seni tak berkembang. Macet. Jenuh. Membosankan.
Saya pakai klasifikasi modern untuk membedakannya dengan tradisional. Khususnya di sastra, dulu pujangga mengabdi pada raja, nabi, atau penguasa dan menulis atas dasar perintah, atau pengabdian, tidak sepenuhnya berkarya atas dasar dorongan jiwa sendiri.
Kita tidak akan mengagumi Dali, Picasso, Rembrant, Monet, kalau mereka menghasilkan lukisan yang sama belaka.
Kita tidak akan bisa belajar banyak dari Chairil, Tardji, Sapardi, Jokpin, jika karya mereka sama belaka.
Mungkin terjadi seseorang menulis sajak yang sama persis dengan AKU - Chairil atau AKU INGIN - Sapardi. Mungkin dia bisa membuktikan bahwa dia benar-benar belum pernah membaca kedua sajak itu. Tapi, apakah ada artinya? Tidak. Kesamaan itu, pengulangan itu, sengaja atau tidak sengaja tidak menawarkan kebaruan apa-apa.
Puisi adalah seni. Seni Puisi. Senimannya, penyairnya adalah pekarya yang bebas. Dia tidak dipaksa oleh siapapun untuk berkarya. Dia bisa berhenti kapan saja- kata Tardji. Tapi, ketika berkaya dia harus mengerahkan seluruh kemampuannya. Kebaruan, kesegaran adalah hal yang mutlak untuk diupayakan dan ditemukan.[]