Bila hatimu berganti, dia akan engkau lupakan?
Tak sampai jawaban, dia teringat Dahlan Iskan.
*
Ada selingkaran embun, membumban pada ubun-ubun,
Itu bekas sembahyang subuh, atau seremang peluh.
Dalam setalam pizza, dia titikan letih lidahnya,
tergelincir di saos yang cuka, tak bisa berpegang
pada belah daging: yang bukan sapi, bukan domba.
Awan yang megah, langit yang kental dan rendah.
Dia mengecil: seperti terjebak di sidang paripurna,
dicecar pertanyaan anggota parlemen, dan dia tak
tahu harus menjawab apa. Semua sama saja: semua sahih,
semua batal, semua punya-dalih, dan tak-masuk-akal.
*
Bila hatimu terluka, dia akan bisa menyembuhkan?
Ragu pada jawaban, dia terkenang Dahlan Iskan.
*
Ada sayap cahaya, sekelebat, dan hinggap melebat,
di tubuh berbeban lapar, mendung menanggung mata,
padamu dia bertanya: kita hendak terbang kemana?
Cuaca buruk betapa, dia tak bisa bicara ke Menara.
Sirkumstansi itu: seperti ruang tunggu, ruang jemu,
listrik mati, putus segala koneksi, tak ada wi-fi.
Tapi televisi plasma itu, kenapa masih saja menyala?
Seperti dia terpaksa menonton langsung, pidato yang
terlambat tayang, dan dia tak tahu harus melempar apa,
sejauh itu, meranjah waktu, dia datang kaki telanjang.
Pada semangkuk empuk panekuk, bimbangnya bak telunjuk,
menyentuh-menusuk ke dalam genangan kuah, madu lebah.
*
Bila hatimu mengecil, darinya engkau jauh memencil?
Resah pada jawaban, dia terbayang Dahlan Iskan.