"TULISKANLAH aku," kata sebuah sajak yang cengeng
kepadanya, dia yang tak tahu kenapa disebut penyair.
"Kemarilah," katanya, pada sajak itu. Ia memasuki
kata-kata di sajak itu ke dalam hatinya. Ia mencoba
mengucap kalimat-kalimat sajak itu setakzim-takzimnya.
Ia tak mencoba menangis, tapi ada yang mengalir entah
dari bagian mana di sajak itu, terjun deras ke matanya.
*
"Tuliskanlah aku," kata sebuah sajak yang cengeng
kepadanya, dia yang tak tahu kenapa yang selama ini ia
tulis - sebagai tafsir atas tangis - itu disebut sajak.
Ia, sebenarnya telah lama berada dalam sajak cengeng itu,
ia, di bait-bait itu, terbiasa menertawakan kesedihan,
menangisi kegembiraan, dan menyembunyikan kecengengan.
"Tawa itu, sebenarnya, adalah tangis yang disamarkan,"
ia mengutip sebuah ayat yang tak sempat diwahyukan.