Puisi Agus Noor
1/
Aku ingin mendengar leluconmu, sebelum mati. Engkau pun bercerita perihal kerbau.
Syahdan, seekor kerbau muncul di depan istana. Para penjaga heboh, dan langsung melapor pada Presiden. “Apa yang harus kami lakukan?” tanya penjaga.
“Biarkan saja,” jawab Presiden. “Saya ingin tahu, apakah kalau saya biarkan, kerbau itu berdampak sistemik atau tidak…”
2/
Maut, yang berdiri di sisi ranjang pun tertawa. Bahkan, menjelang mati pun kamu masih lucu. Lalu perlahan disentuhnya ruhmu.
“Bukan kematian benar menusuk kalbu,” katamu, sembari mengutip bait puisi, “Tapi, kalau boleh menawar, saya tak ingin mati hari ini. Sekarang 25 Desember, bukan? Bulan yang ranum dan bahagia. Biarkan mereka merayakan kelahiran Yesus, jangan sampai terganggu kematian saya…”
Maut terasa fana. Dalam mati pun, ada yang terasa lebih berharga.
3/
Seperti dalam puisi, gerimis pun mempercepat kelam. Langit penuh kesedihan. “Sebelum mati, ijinkan saya berpesan,” katamu. “Jangan Kau biarkan orang-orang saling dorong atau berdesakan saat pemakaman. Apalagi sampai ada yang mati terinjak atau pingsan.”
Kenapa, kata-Ku.
“Karna nanti malah dikira orang antri rebutan sumbangan…”
4/
Ingin kutulis puisi, sesuatu yang kelak retak tetapi kuharap abadi, setelah kau mati. Kata-kata yang tak pudar di keramik waktu.
“Biarkan saya mati dengan tenang, tak perlu repot memikirkan puisi. Ada baiknya saya jujur: sebenarnya saya nggak terlalu suka puisi. Penyair itu lebih parah dari sopir bajaj. Kalau bajaj mau belok, yang tahu hanya Tuhan dan sopir bajaj. Tapi kalau penyair nulis puisi, bahkan Tuhan dan penyairnya sendiri tak tahu apa yang ditulisnya itu.”
Tapi aku ingin menulis puisi. Meski mungkin tak akan pernah menjadi abadi. Lihatlah, di matamu yang perlahan terkatup, seperti ada perih puisi. Selalu ada yang jauh lebih tak terduga dari puisi, melebihi mati.
5/
Seperti ada yang pelahan-lahan sampai. Seperti ada yang tugur di sisimu.
“Tuan Tuhan, bukan?”
Tunggu sebentar. Gus Dur lagi tidur
2010