Friday, February 19, 2010

Jokdur, Guspin

PADA mulanya adalah sebuah undangan dari sastrawan Triyanto Triwikromo untuk menulis sajak. Kelak sajak-sajak itu dibukukan. Buku itu diterbitkan dalam rangka mengingat kematian K.H. Abdurrahman Wahid, tepat di hari keseratus kematiannya.

Buku itu kelak akan sangat menarik. Kita bisa belajar bagaimana penyair memberdayakan bakatnya, penghayatannya atas bahan yang hendak disajakkan, dan kemahirannya menyair. Buku ini kelak juga menunjukkan bahwa pada dasarnya menyair adalah cara mengucap.

Sajak-sajak dalam buku itu akan bicara tentang hal yang sama yaitu: Gus Dur. Nah, yang membedakan adalah cara mengucapkannya. Ini buku pasti tidak hendak membanding-bandingkan penyair satu dengan penyair lain, tapi, ketika sejumlah sajak dikumpulkan, tidak ada yang bisa melarang kita untuk belajar dari padanya, dengan membanding-bandingkannya, bukan?





Pasti tidak semua penyair yang diundang menulis akan menanggapi undangan itu. Mungkin saja ada yang menulis tapi tidak mengirimkan sajaknya. Sejauh ini, sepemantauan saya, yang sudah menulis adalah saya, Agus Noor (prosais yang tiba-tiba menulis puisi - selamat datang, Mas!), dan Joko Pinurbo.

Inilah, pada yang berikut ini, sajak Jokpin yang hendak saya bahas sedikit. Saya sudah minta izin padanya untuk menampilkan sajak yang ia tampilkan di blognya www.jokopinurbo.com:


Durrahman

Mengenakan kemeja dan celana pendek putih,
Durrahman berdiri sendirian di beranda istana.
Dua ekor burung gereja hinggap di atas bahunya,
bercericit dan menari riang.
Senja melangkah tegap, memberinya salam hormat,
kemudian berderap ke dalam matanya yang hangat dan terang.

Di depan mikrofon Durrahman mengucapkan pidato singkatnya:
“Hai umatku tercinta, dalam diriku ada seorang presiden
yang telah kuperintahkan untuk turun tahta
sebab tubuhku terlalu lapang baginya.
Hal-hal yang menyangkut pemberhentiannya
akan kuselesaikan sekarang juga.”

Dua ekor burung gereja menjerit nyaring di atas bahunya.
Durrahman berjalan mundur ke dalam istana.
Dikecupnya telapak tangannya, lalu dilambai-lambaikannya
ke arah ribuan orang yang mengelu-elukannya dari seberang.

Selamat jalan, Gus. Selamat jalan, Dur.
Dalam dirimu ada seorang pujangga yang tak pernah binasa.
Hatimu suaka bagi segala umat yang ingin membangun kembali
puing-puing cinta, ibukota bagi kaum yang teraniaya.
Ketika kami semua ingin jadi presiden,
baju presidenmu sudah lebih dulu kautanggalkan.

(2010)


Bagaimana membaca dan menghargai sajak ini? Tunggu.....(bersambung)