Sunday, February 14, 2010

Penyair dan Kebenaran

:: Untuk Faisal Kamandobat

Catatan: Faisal menulis artikel pendek "Penyair dan Kekuasaan". Pasti, itu tidak ditujukan pada saya secara khusus. Jadi ini bukan apologi, bukan klarifikasi. Ada beberapa bagian dari tulisan Faisal yang membuat saya tertarik untuk menulis artikel berikut ini. Ini sebuah niat yang sehat saja dari saya: ajakan bertukar pikiran.



Menulis puisi, dan mengirimnya ke media, menurut saya adalah dua hal yang terpisah. Ketika saya menulis puisi, saya menulis saja. Saya saat itu tidak memikirkan hendak mengirim ke mana. Saya tidak mencocok-cocokkannya dengan selera redaktur media itu. Apalagi saya sungguh tidak tahu persis seperti apa selera redakturnya.

Tidak semua puisi yang saya tulis saya kirim. Tidak setiap puisi yang saya kirim dimuat oleh media. Sampai saat ini, banyak puisi saya yang ditolak tanpa penjelasan. Ketika dimuat pun saya sama sekali tidak pernah mendapat penjelasan kenapa itu dimuat.

Setelah puisi saya dimuat beberapa kali di media massa, saya menjadi dikenal oleh terutama mereka yang suka membaca puisi di media. Apakah ini tujuan saya menulis puisi? Bukan. Apakah semua pembaca koran membaca puisi? Pasti tidak.

Saya lalu diundang ke berbagai perhelatan sastra. Apakah semua undangan itu saya penuhi? Tidak semua. Saya ingin sekali bisa hadir pada beberapa acara pertemuan penyair di negeri ini. Tapi, saya tidak bisa mencurahkan waktu saya untuk puisi saja. Dapat izin dari atasan itu susah. Saya harus bekerja. Saya juga wajib mengikuti perkembangan dua anak saya, dan membangun kehidupan dengan istri saya.

Itu saja. Apakah kemudian popularitas dan prestise saya itu bisa saya tukar dengan uang? Ketika puisi saya dimuat di koran saya dapat honor. Besarkah honornya? Tidak. Koran yang paling mahal pun tak sampai sejuta rupiah honornya. Jadi, saya tidak akan pernah kaya dari puisi dan popularitas saya sebagai penyair itu.

Apakah kemudian saya bisa mendapatkan kedudukan dalam institusi tertentu karena popularitas saya sebagai penyair? Mungkin. Saya oleh kawan-kawan seniman di Batam dipercaya menjadi Ketua Dewan Kesenian Batam. Tapi, di kabupaten lain, ada ketua Dewan Kesenian yang sama sekali bukan seniman. Jadi kesenimanan dan kepenyairan itu saya kira bukan jaminan untuk mendapatkan posisi di institusi itu.

Apakah saya sekarang menulis puisi sekadar untuk menjaga nama saya atau pesona "kebesaran" saya sebagai penyair? Tidak. Apakah popularitas saya dan posisi saya saya kerahkan untuk mempertahan gengsi saya sebagai seniman di hadapan para sastrawan pemula atau publik pembaca yang peduli namun angin-anginan terhadap sastra? Tidak. Buat apa.

Saya terus menulis puisi, memajangnya di blog saya, dengan niat, semangat, gairah yang sama saja dengan ketika dulu saya memulai mencintai puisi. Saya terus belajar. Saya terus mencari kemungkinan apa yang bisa saya capai bersama puisi. Dan itu mengasyikkan sekali.

*

Ada mobilitas sosial pada pribadi saya. Saya punya rencana-rencana pribadi. Saya punya rancangan-rancangan masa depan dan berusaha mewujudkannya langkah demi langkah. Saya kira setiap orang juga punya ini. Sementara itu saya terus menulis puisi. Saya tidak memandang rendah seniman yang mempertahankan hidup dalam kemiskinan demi penghayatan yang intens atas derita kehidupan dan tragedi kemanusiaan.

Sastra, puisi, hanyalah salah satu sarana yang bisa membuat seseorang diterima publik. Ada banyak cara lain. Bukan semata-mata itu niat saya menulis puisi. Ketika menulis puisi, saya total memasuki dunia itu. Saya membaca Gitanjali, The Gardener (Tagore), The Prophet (Gibran), Zaman Edan (Ronggiwarsito), Gurindam 12 (Raja Ali Haji) dan terpesona pada pencarian dan penemuan kebenaran yang mereka wujudkan dalam karya mereka itu. Saya ingin sampai pada tahap itu. Saya kira siapa saja yang menulis kapan saja, bisa menuju dan sampai ke sana. Ini bukan soal modern atau tidak. Ini soal intensitas penghayatan atas kehidupan.

Jika Faisal Kamandobat mengamati dan menyimpulkan bahwa sekarang penyair dengan sadar atau tidak sadar tidak lagi menulis puisi sebagai sarana untuk mencari kebenaran, menjadikan puisi sebagai tunggangan untuk mencapai hal-hal di luar puisi, membuat manusia dibunuh oleh bahasa yg ia ucapkan sendiri, dan dalam hal penyair, ditikam puisinya sendiri, maka, saya tidak mau dan tidak akan pernah ikut-ikutan merayakan itu.[]