TAK akan terdengar ada sorak, seru serak, dengus
napas, dan keringat, di bidang pertarungan kami,
tapi ini bukan sekadar petak-petak yang 64 kotak.
Kami tak mengejar bola. Tapi dalam diam, kami lari,
jauh sekali, menempuhi lorong: labirin kemungkinan.
Dan rasakan risau itu, redam gegaung, suara detak,
getar di tangan, dan memuncak bila ada teriak, "skak!"
Tak perlu wasit di sini. Tak ada kecurangan. Bukankah
begitu hakikat pertandingan? Hidup mati pertaruhan?
Bukankah kekalahan (dan kemenangan) disepakati sejak
semula? Ditentukan oleh salah, selangkah-selangkah?
Blog ini adalah daerah cagar, suaka bagi sajak-sajak, terjemahan, dan esai-esai Hasan Aspahani. Hal-ihwal yang pernah hilang dan ingin ia hapuskan.
Sunday, February 28, 2010
Saturday, February 27, 2010
Doa Seorang Penggemar Bola
KARENA, Engkau yang mengatur takdir semesta Bola
maka, izinkan kami memainkan sebuah bola kami saja
Karena, Engkau menciptakan tak terhingga makhluk Bola,
maka, ajarii kami memahami sebuah bola kami saja
Karena, Engkau mengobarkan api di mata-mata Bolamu,
maka, biar kami sebentar saja menyalakan bolamata sendiri
Karena, kami cuma bola ditendang nasib dari kaki ke kaki dan
Engkau adalah Mahapenguasa Klub Semesta Bola, maka
giring dan masukkanlah kami ke Gawang yang Engkau biarkan
saja terbuka sejak lama, terbuka selapang-lapangnya.
maka, izinkan kami memainkan sebuah bola kami saja
Karena, Engkau menciptakan tak terhingga makhluk Bola,
maka, ajarii kami memahami sebuah bola kami saja
Karena, Engkau mengobarkan api di mata-mata Bolamu,
maka, biar kami sebentar saja menyalakan bolamata sendiri
Karena, kami cuma bola ditendang nasib dari kaki ke kaki dan
Engkau adalah Mahapenguasa Klub Semesta Bola, maka
giring dan masukkanlah kami ke Gawang yang Engkau biarkan
saja terbuka sejak lama, terbuka selapang-lapangnya.
Friday, February 26, 2010
Sajak yang Sia-sia
AKU nelayan pemalas. Menebar jala koyak.
Tak ada yang terperangkap, aku salahkan
angin buta, yang membuat laut berombak.
Aku nelayan pendusta. Membual tentang
badai yang aku taklukkan, padahal semalam
laut sangat tenang, langit sangat terang.
Tak ada yang terperangkap, aku salahkan
angin buta, yang membuat laut berombak.
Aku nelayan pendusta. Membual tentang
badai yang aku taklukkan, padahal semalam
laut sangat tenang, langit sangat terang.
Sajak yang Mentah
SEPERTI batang tebu bergetah, berkulit keras tak terkupas, berbuku seribu, berbatang miang, tak terkunyah apa yang di mulut, tak tertelan dan tak tersepah.
Seperti mamalia malam yang buta, yang tak mampu mengendus aroma buah, yang menabraki segala gelap, yang ingin mengepaki langit dengan sayap tak lengkap.
Seperti mamalia malam yang buta, yang tak mampu mengendus aroma buah, yang menabraki segala gelap, yang ingin mengepaki langit dengan sayap tak lengkap.
Sajak yang Dangkal
AKU cuma penggali sumur, di mata, tak pandai memaknai umur, di wajah yang kelak tergusur.
Aku cuma singgah mandi, menumpang menghapus daki, membasuh kaki, di sumur yang kugali tadi.
Aku mencuci muka, tempungas, membasuh najis air mata. Ah, menangis pun aku cuma pura-pura.
Aku cuma penggali sumur, seperti sajak yang dangkal, tak sampai ke makna air mata, ke sumber akal.
Aku cuma singgah mandi, menumpang menghapus daki, membasuh kaki, di sumur yang kugali tadi.
Aku mencuci muka, tempungas, membasuh najis air mata. Ah, menangis pun aku cuma pura-pura.
Aku cuma penggali sumur, seperti sajak yang dangkal, tak sampai ke makna air mata, ke sumber akal.
SAJAK YANG MATI
KAMI, jemaah kata-kata
yang tak pernah berdoa
Terjebak dalam saf-saf ganjil,
resah
menunggu takbir terakhir
sembahyang jenazah
yang tak pernah berdoa
Terjebak dalam saf-saf ganjil,
resah
menunggu takbir terakhir
sembahyang jenazah
Friday, February 19, 2010
Sajak yang Jelek
YANG bicara tentang sia-sia, angin yang memetik daun kering itu, lalu perlahan meletakkannya di atas rumput yang sembunyi di tanah kemarau.
(Seharusnya, aku bicara tentang badai mata beliung, datang meminta nyawa orang-orang tak berdaya, pada suatu ketika yang tak terduga, musim yang buta).
*
Yang bicara tentang aduh pedih, jatuh sedih, sia-sia cinta dengan tamsil ganjil awang awan, dan tombak ombak.
(Seharusnya, aku bicara soal petani dan nelayan, yang tak bisa beli pupuk dan solar. Yang mencangkul sawah seperti menggali kubur sendiri, yang menebar jala seperti menjerat nasib buruk sendiri).
*
Yang sibuk mengatur bunyi, asyik memilih diksi, yang tak ingat cuma jadi alat, diperalat oleh penyair galat.
(Seharusnya aku menyuarakan jerit lapar orang miskin, keluh sakit buruh kasar yang menunggu mati, bukan di ranjang perawatan, sebab rumah sakit terlalu mewah, dan para dokter adalah malaikat suci yang haram menyentuh tubuh kotor mereka yang berumah di debu jalanan).
(Seharusnya, aku bicara tentang badai mata beliung, datang meminta nyawa orang-orang tak berdaya, pada suatu ketika yang tak terduga, musim yang buta).
*
Yang bicara tentang aduh pedih, jatuh sedih, sia-sia cinta dengan tamsil ganjil awang awan, dan tombak ombak.
(Seharusnya, aku bicara soal petani dan nelayan, yang tak bisa beli pupuk dan solar. Yang mencangkul sawah seperti menggali kubur sendiri, yang menebar jala seperti menjerat nasib buruk sendiri).
*
Yang sibuk mengatur bunyi, asyik memilih diksi, yang tak ingat cuma jadi alat, diperalat oleh penyair galat.
(Seharusnya aku menyuarakan jerit lapar orang miskin, keluh sakit buruh kasar yang menunggu mati, bukan di ranjang perawatan, sebab rumah sakit terlalu mewah, dan para dokter adalah malaikat suci yang haram menyentuh tubuh kotor mereka yang berumah di debu jalanan).
LELUCON MENJELANG KEMATIAN
Puisi Agus Noor
1/
Aku ingin mendengar leluconmu, sebelum mati. Engkau pun bercerita perihal kerbau.
Syahdan, seekor kerbau muncul di depan istana. Para penjaga heboh, dan langsung melapor pada Presiden. “Apa yang harus kami lakukan?” tanya penjaga.
“Biarkan saja,” jawab Presiden. “Saya ingin tahu, apakah kalau saya biarkan, kerbau itu berdampak sistemik atau tidak…”
2/
Maut, yang berdiri di sisi ranjang pun tertawa. Bahkan, menjelang mati pun kamu masih lucu. Lalu perlahan disentuhnya ruhmu.
“Bukan kematian benar menusuk kalbu,” katamu, sembari mengutip bait puisi, “Tapi, kalau boleh menawar, saya tak ingin mati hari ini. Sekarang 25 Desember, bukan? Bulan yang ranum dan bahagia. Biarkan mereka merayakan kelahiran Yesus, jangan sampai terganggu kematian saya…”
Maut terasa fana. Dalam mati pun, ada yang terasa lebih berharga.
3/
Seperti dalam puisi, gerimis pun mempercepat kelam. Langit penuh kesedihan. “Sebelum mati, ijinkan saya berpesan,” katamu. “Jangan Kau biarkan orang-orang saling dorong atau berdesakan saat pemakaman. Apalagi sampai ada yang mati terinjak atau pingsan.”
Kenapa, kata-Ku.
“Karna nanti malah dikira orang antri rebutan sumbangan…”
4/
Ingin kutulis puisi, sesuatu yang kelak retak tetapi kuharap abadi, setelah kau mati. Kata-kata yang tak pudar di keramik waktu.
“Biarkan saya mati dengan tenang, tak perlu repot memikirkan puisi. Ada baiknya saya jujur: sebenarnya saya nggak terlalu suka puisi. Penyair itu lebih parah dari sopir bajaj. Kalau bajaj mau belok, yang tahu hanya Tuhan dan sopir bajaj. Tapi kalau penyair nulis puisi, bahkan Tuhan dan penyairnya sendiri tak tahu apa yang ditulisnya itu.”
Tapi aku ingin menulis puisi. Meski mungkin tak akan pernah menjadi abadi. Lihatlah, di matamu yang perlahan terkatup, seperti ada perih puisi. Selalu ada yang jauh lebih tak terduga dari puisi, melebihi mati.
5/
Seperti ada yang pelahan-lahan sampai. Seperti ada yang tugur di sisimu.
“Tuan Tuhan, bukan?”
Tunggu sebentar. Gus Dur lagi tidur
2010
1/
Aku ingin mendengar leluconmu, sebelum mati. Engkau pun bercerita perihal kerbau.
Syahdan, seekor kerbau muncul di depan istana. Para penjaga heboh, dan langsung melapor pada Presiden. “Apa yang harus kami lakukan?” tanya penjaga.
“Biarkan saja,” jawab Presiden. “Saya ingin tahu, apakah kalau saya biarkan, kerbau itu berdampak sistemik atau tidak…”
2/
Maut, yang berdiri di sisi ranjang pun tertawa. Bahkan, menjelang mati pun kamu masih lucu. Lalu perlahan disentuhnya ruhmu.
“Bukan kematian benar menusuk kalbu,” katamu, sembari mengutip bait puisi, “Tapi, kalau boleh menawar, saya tak ingin mati hari ini. Sekarang 25 Desember, bukan? Bulan yang ranum dan bahagia. Biarkan mereka merayakan kelahiran Yesus, jangan sampai terganggu kematian saya…”
Maut terasa fana. Dalam mati pun, ada yang terasa lebih berharga.
3/
Seperti dalam puisi, gerimis pun mempercepat kelam. Langit penuh kesedihan. “Sebelum mati, ijinkan saya berpesan,” katamu. “Jangan Kau biarkan orang-orang saling dorong atau berdesakan saat pemakaman. Apalagi sampai ada yang mati terinjak atau pingsan.”
Kenapa, kata-Ku.
“Karna nanti malah dikira orang antri rebutan sumbangan…”
4/
Ingin kutulis puisi, sesuatu yang kelak retak tetapi kuharap abadi, setelah kau mati. Kata-kata yang tak pudar di keramik waktu.
“Biarkan saya mati dengan tenang, tak perlu repot memikirkan puisi. Ada baiknya saya jujur: sebenarnya saya nggak terlalu suka puisi. Penyair itu lebih parah dari sopir bajaj. Kalau bajaj mau belok, yang tahu hanya Tuhan dan sopir bajaj. Tapi kalau penyair nulis puisi, bahkan Tuhan dan penyairnya sendiri tak tahu apa yang ditulisnya itu.”
Tapi aku ingin menulis puisi. Meski mungkin tak akan pernah menjadi abadi. Lihatlah, di matamu yang perlahan terkatup, seperti ada perih puisi. Selalu ada yang jauh lebih tak terduga dari puisi, melebihi mati.
5/
Seperti ada yang pelahan-lahan sampai. Seperti ada yang tugur di sisimu.
“Tuan Tuhan, bukan?”
Tunggu sebentar. Gus Dur lagi tidur
2010
Jokdur, Guspin
PADA mulanya adalah sebuah undangan dari sastrawan Triyanto Triwikromo untuk menulis sajak. Kelak sajak-sajak itu dibukukan. Buku itu diterbitkan dalam rangka mengingat kematian K.H. Abdurrahman Wahid, tepat di hari keseratus kematiannya.
Buku itu kelak akan sangat menarik. Kita bisa belajar bagaimana penyair memberdayakan bakatnya, penghayatannya atas bahan yang hendak disajakkan, dan kemahirannya menyair. Buku ini kelak juga menunjukkan bahwa pada dasarnya menyair adalah cara mengucap.
Sajak-sajak dalam buku itu akan bicara tentang hal yang sama yaitu: Gus Dur. Nah, yang membedakan adalah cara mengucapkannya. Ini buku pasti tidak hendak membanding-bandingkan penyair satu dengan penyair lain, tapi, ketika sejumlah sajak dikumpulkan, tidak ada yang bisa melarang kita untuk belajar dari padanya, dengan membanding-bandingkannya, bukan?
Pasti tidak semua penyair yang diundang menulis akan menanggapi undangan itu. Mungkin saja ada yang menulis tapi tidak mengirimkan sajaknya. Sejauh ini, sepemantauan saya, yang sudah menulis adalah saya, Agus Noor (prosais yang tiba-tiba menulis puisi - selamat datang, Mas!), dan Joko Pinurbo.
Inilah, pada yang berikut ini, sajak Jokpin yang hendak saya bahas sedikit. Saya sudah minta izin padanya untuk menampilkan sajak yang ia tampilkan di blognya www.jokopinurbo.com:
Bagaimana membaca dan menghargai sajak ini? Tunggu.....(bersambung)
Buku itu kelak akan sangat menarik. Kita bisa belajar bagaimana penyair memberdayakan bakatnya, penghayatannya atas bahan yang hendak disajakkan, dan kemahirannya menyair. Buku ini kelak juga menunjukkan bahwa pada dasarnya menyair adalah cara mengucap.
Sajak-sajak dalam buku itu akan bicara tentang hal yang sama yaitu: Gus Dur. Nah, yang membedakan adalah cara mengucapkannya. Ini buku pasti tidak hendak membanding-bandingkan penyair satu dengan penyair lain, tapi, ketika sejumlah sajak dikumpulkan, tidak ada yang bisa melarang kita untuk belajar dari padanya, dengan membanding-bandingkannya, bukan?
Pasti tidak semua penyair yang diundang menulis akan menanggapi undangan itu. Mungkin saja ada yang menulis tapi tidak mengirimkan sajaknya. Sejauh ini, sepemantauan saya, yang sudah menulis adalah saya, Agus Noor (prosais yang tiba-tiba menulis puisi - selamat datang, Mas!), dan Joko Pinurbo.
Inilah, pada yang berikut ini, sajak Jokpin yang hendak saya bahas sedikit. Saya sudah minta izin padanya untuk menampilkan sajak yang ia tampilkan di blognya www.jokopinurbo.com:
Durrahman
Mengenakan kemeja dan celana pendek putih,
Durrahman berdiri sendirian di beranda istana.
Dua ekor burung gereja hinggap di atas bahunya,
bercericit dan menari riang.
Senja melangkah tegap, memberinya salam hormat,
kemudian berderap ke dalam matanya yang hangat dan terang.
Di depan mikrofon Durrahman mengucapkan pidato singkatnya:
“Hai umatku tercinta, dalam diriku ada seorang presiden
yang telah kuperintahkan untuk turun tahta
sebab tubuhku terlalu lapang baginya.
Hal-hal yang menyangkut pemberhentiannya
akan kuselesaikan sekarang juga.”
Dua ekor burung gereja menjerit nyaring di atas bahunya.
Durrahman berjalan mundur ke dalam istana.
Dikecupnya telapak tangannya, lalu dilambai-lambaikannya
ke arah ribuan orang yang mengelu-elukannya dari seberang.
Selamat jalan, Gus. Selamat jalan, Dur.
Dalam dirimu ada seorang pujangga yang tak pernah binasa.
Hatimu suaka bagi segala umat yang ingin membangun kembali
puing-puing cinta, ibukota bagi kaum yang teraniaya.
Ketika kami semua ingin jadi presiden,
baju presidenmu sudah lebih dulu kautanggalkan.
(2010)
Bagaimana membaca dan menghargai sajak ini? Tunggu.....(bersambung)
Thursday, February 18, 2010
Sajak yang Cengeng
"TULISKANLAH aku," kata sebuah sajak yang cengeng
kepadanya, dia yang tak tahu kenapa disebut penyair.
"Kemarilah," katanya, pada sajak itu. Ia memasuki
kata-kata di sajak itu ke dalam hatinya. Ia mencoba
mengucap kalimat-kalimat sajak itu setakzim-takzimnya.
Ia tak mencoba menangis, tapi ada yang mengalir entah
dari bagian mana di sajak itu, terjun deras ke matanya.
*
"Tuliskanlah aku," kata sebuah sajak yang cengeng
kepadanya, dia yang tak tahu kenapa yang selama ini ia
tulis - sebagai tafsir atas tangis - itu disebut sajak.
Ia, sebenarnya telah lama berada dalam sajak cengeng itu,
ia, di bait-bait itu, terbiasa menertawakan kesedihan,
menangisi kegembiraan, dan menyembunyikan kecengengan.
"Tawa itu, sebenarnya, adalah tangis yang disamarkan,"
ia mengutip sebuah ayat yang tak sempat diwahyukan.
kepadanya, dia yang tak tahu kenapa disebut penyair.
"Kemarilah," katanya, pada sajak itu. Ia memasuki
kata-kata di sajak itu ke dalam hatinya. Ia mencoba
mengucap kalimat-kalimat sajak itu setakzim-takzimnya.
Ia tak mencoba menangis, tapi ada yang mengalir entah
dari bagian mana di sajak itu, terjun deras ke matanya.
*
"Tuliskanlah aku," kata sebuah sajak yang cengeng
kepadanya, dia yang tak tahu kenapa yang selama ini ia
tulis - sebagai tafsir atas tangis - itu disebut sajak.
Ia, sebenarnya telah lama berada dalam sajak cengeng itu,
ia, di bait-bait itu, terbiasa menertawakan kesedihan,
menangisi kegembiraan, dan menyembunyikan kecengengan.
"Tawa itu, sebenarnya, adalah tangis yang disamarkan,"
ia mengutip sebuah ayat yang tak sempat diwahyukan.
Sejumlah cerita Kecil untuk Mas Andy (3)
6. Piano yang Terbang
"AKU ingin terbang bersamamu," kata Pianis kecil itu kepada piano. "Bunyikanlah aku. Nyanyikanlah lagumu pada sunyiku," kata piano itu.
Pianis kecil itu lalu menarikan jemarinya, menarikan hatinya, menarikan pikirannya, menarikan gairahnya, menarikan kehidupannya pada piano itu.
Dia tidak tahu, pada saat itu ada sayap tumbuh, mengepak pada piano itu dan mereka - pianis dan piano itu - terbang ke langit, sunyi dan tinggi.
"AKU ingin terbang bersamamu," kata Pianis kecil itu kepada piano. "Bunyikanlah aku. Nyanyikanlah lagumu pada sunyiku," kata piano itu.
Pianis kecil itu lalu menarikan jemarinya, menarikan hatinya, menarikan pikirannya, menarikan gairahnya, menarikan kehidupannya pada piano itu.
Dia tidak tahu, pada saat itu ada sayap tumbuh, mengepak pada piano itu dan mereka - pianis dan piano itu - terbang ke langit, sunyi dan tinggi.
Tuesday, February 16, 2010
Sejumlah Cerita Kecil untuK Mas Andy (2)
4. Jemari Kecil dan Piano Tua
SETELAH menemui bunyi di mana-mana, menemui piano di banyak negara, Pianis itu pulang.
Ia menemui piano tua, piano yang dulu mengajari dan memperkenalkan berbagai bunyi pertama kali kepadanya.
"Aku membawakan bunyi untukmu," katanya pada piano tua itu, "maukah kau, aku perdengarkan bunyi-bunyi itu padamu?"
Piano itu mengangguk, lalu dengan gairah seperti saat dulu ia pertama kali membunyikan sunyi di piano itu, dia mainkan sejumlah komposisi bunyi dari hatinya.
Piano tua itu menangis. "Kenapa kau menangis?" tanya pianis itu.
"Aku rindu pada jemari kecil yan dulu memainkan aku," kata piano tua itu.
Air mata piano tua itu tiba-tiba seperti mengalir ke mata pianis itu. Air mata yang sunyi. Sangat sunyi.
5. Pianis Kecil Ingin Tidur
PIANIS kecil itu ingin tidur. Ia minta temannya mengantarkannya.
"Tidurkanlah aku," katanya kepada temannya, Si Bunyi namanya.
Si Bunyi menyenandungkan diri, melirihkan diri, memerdukan diri.
Pianis kecil itu perlahan terlelap.
"Dia sudah tidur. Sekarang giliran engkau menjaga tidurnya," kata Si Bunyi kepada temannya, Si Sunyi.
SETELAH menemui bunyi di mana-mana, menemui piano di banyak negara, Pianis itu pulang.
Ia menemui piano tua, piano yang dulu mengajari dan memperkenalkan berbagai bunyi pertama kali kepadanya.
"Aku membawakan bunyi untukmu," katanya pada piano tua itu, "maukah kau, aku perdengarkan bunyi-bunyi itu padamu?"
Piano itu mengangguk, lalu dengan gairah seperti saat dulu ia pertama kali membunyikan sunyi di piano itu, dia mainkan sejumlah komposisi bunyi dari hatinya.
Piano tua itu menangis. "Kenapa kau menangis?" tanya pianis itu.
"Aku rindu pada jemari kecil yan dulu memainkan aku," kata piano tua itu.
Air mata piano tua itu tiba-tiba seperti mengalir ke mata pianis itu. Air mata yang sunyi. Sangat sunyi.
5. Pianis Kecil Ingin Tidur
PIANIS kecil itu ingin tidur. Ia minta temannya mengantarkannya.
"Tidurkanlah aku," katanya kepada temannya, Si Bunyi namanya.
Si Bunyi menyenandungkan diri, melirihkan diri, memerdukan diri.
Pianis kecil itu perlahan terlelap.
"Dia sudah tidur. Sekarang giliran engkau menjaga tidurnya," kata Si Bunyi kepada temannya, Si Sunyi.
Kondisi Perpuisian Seperti Apa yang Saya Bayangkan Ada di Negeri Ini? (3)
3. Para Pemulia Bahasa
PARA penyair, saya bayangkan, adalah para pemulia bahasa. Mereka bekerja persis seperti para pemulia tanaman.
Para pemulia tanaman menyilang tanaman, menghasilkan varietas tanaman baru yang unggul. Padi yang lebih banyak hasil panennya, kelapa yang lebih cepat berbuah, tanaman hias yang berwarna lebih cemerlang, semangka yang lebih manis, pepaya yang lebih bergizi, tebu yang lebih tinggi kadar gulanya.
Untuk apa semua itu ditemukan? Untuk dibudidayakan para petani lain yang bukan pemulia tanaman. Lalu hasilnya dinikmati oleh khalayak luas. Itulah kebahagiaan seorang pemulia tanaman.
Pemulia tanaman adalah Petani yang tidak terperangkap pada rutitinas. Dia betah di petak-petak penelitiannya, bukan berteriak-teriak di pasar buah dan sayur.
Dia amat mengenal sifat dan potensi lahannya. Dia sangat tahu karakter tanaman yang dia budidayakan, mahfum bagaimana tanaman itu bereproduksi, dan ia adalah peneliti yang tekun dan sabar. Tidak setiap eksperimen penyilangan langsung berhasil mendapatkan tanaman unggul. Tapi, dia tidak pernah berhenti, sebab dia tahu, ia pasti bisa menghasilkan sejenis varian unggul.
PARA penyair, saya bayangkan, adalah para pemulia bahasa. Mereka bekerja persis seperti para pemulia tanaman.
Para pemulia tanaman menyilang tanaman, menghasilkan varietas tanaman baru yang unggul. Padi yang lebih banyak hasil panennya, kelapa yang lebih cepat berbuah, tanaman hias yang berwarna lebih cemerlang, semangka yang lebih manis, pepaya yang lebih bergizi, tebu yang lebih tinggi kadar gulanya.
Untuk apa semua itu ditemukan? Untuk dibudidayakan para petani lain yang bukan pemulia tanaman. Lalu hasilnya dinikmati oleh khalayak luas. Itulah kebahagiaan seorang pemulia tanaman.
Pemulia tanaman adalah Petani yang tidak terperangkap pada rutitinas. Dia betah di petak-petak penelitiannya, bukan berteriak-teriak di pasar buah dan sayur.
Dia amat mengenal sifat dan potensi lahannya. Dia sangat tahu karakter tanaman yang dia budidayakan, mahfum bagaimana tanaman itu bereproduksi, dan ia adalah peneliti yang tekun dan sabar. Tidak setiap eksperimen penyilangan langsung berhasil mendapatkan tanaman unggul. Tapi, dia tidak pernah berhenti, sebab dia tahu, ia pasti bisa menghasilkan sejenis varian unggul.
Kondisi Perpuisian Seperti Apa yang Saya Bayangkan Ada di Negeri Ini (2)
2. Penjelajahan yang Berani
PARA penyair di negeri ini adalah orang-orang yang berani dan menyadari betapa besar dan betapa berharga bakatnya.
Tak ada tempat untuk para pemalas, para penggaduh, para perecok, para penakut, dan para penumpang gelap ikut lewat.
Dengan bakat itu, mereka masuk sebagai penjelajah yang kuat, pendaki yang tak pernah gentar, penyelam yang tangguh.
Sejarah dan jejak pencapaian para pendahulu adalah tonggak-tonggak penting bagi penjelajahan mereka. Mereka tak dibebani oleh para pendahulu itu. Mereka juga tidak mengingkarinya. Puisi Indonesia telah diperkaya oleh para penyair tangguh dan akan terus melahirkan penyair dengan pencapaian-pencapaian baru.
Itu hanya mungkin dicapai jika para penyair menyadari bahwa ranah penjelajahan seni puisi adalah hutan lebat dn luas. Siapa saja dengan bakat dan minat kuat serta gairah mencari yang bergelora berhak membuka hutan itu, menetapkan batas kavling pengucapan sendiri seluas-seluas, sekuat mereka mampu mengelola tanggung jawab atas kepenyairannya tersebut.(bersambung)
PARA penyair di negeri ini adalah orang-orang yang berani dan menyadari betapa besar dan betapa berharga bakatnya.
Tak ada tempat untuk para pemalas, para penggaduh, para perecok, para penakut, dan para penumpang gelap ikut lewat.
Dengan bakat itu, mereka masuk sebagai penjelajah yang kuat, pendaki yang tak pernah gentar, penyelam yang tangguh.
Sejarah dan jejak pencapaian para pendahulu adalah tonggak-tonggak penting bagi penjelajahan mereka. Mereka tak dibebani oleh para pendahulu itu. Mereka juga tidak mengingkarinya. Puisi Indonesia telah diperkaya oleh para penyair tangguh dan akan terus melahirkan penyair dengan pencapaian-pencapaian baru.
Itu hanya mungkin dicapai jika para penyair menyadari bahwa ranah penjelajahan seni puisi adalah hutan lebat dn luas. Siapa saja dengan bakat dan minat kuat serta gairah mencari yang bergelora berhak membuka hutan itu, menetapkan batas kavling pengucapan sendiri seluas-seluas, sekuat mereka mampu mengelola tanggung jawab atas kepenyairannya tersebut.(bersambung)
Sunday, February 14, 2010
Kondisi Perpuisian Seperti Apa yang Saya Bayangkan ada di Negeri Ini? (1)
1. Penyairnya Sejahtera
TIDAK hanya penyairnya, tapi siapa saja di negeri ini harus punya hak dan kesempatan yang sama untuk menyejahterakan diri. Ekonomi harus tumbuh baik. Industri berjalan produktif dan menghasilkan produk-produk bermutu unggul.
Jika penyair sejahtera - seperti warga negara lainnya - maka ketika karya sajaknya dimuat di surat kabar, ketika dia menerbitkan karya terbaiknya dan laris, atau ketika dia meraih penghargaan atas mutu karyanya dalam sebuah kompetisi yang berwibawa, maka dia tidak dicurigai oleh sejawatnya sedang mengakumulasi modal untuk kepentingan di luar puisi. Dia tidak dipandang sedang menaiki piramida sosial dengan materi yang ia dapat karena kualitas karyanya itu.
Kalau ada penyair yang dalam keadaan serba mungkin itu kemudian ia memilih membatasi kepemilikan atas uang, benda-benda, dan wujud materi apapun, maka ia tidak dipandang dengan sinis sebagai penyair kere. Kekereannya adalah jalan hidup yang sengaja ia pilih. Dan status sosialnya tidak akan jatuh karena pilihannya itu.
Penyair juga tidak dipandang aneh ketika dia dengan prestasi karirnya di luar puisi berhasil menyejahterakan diri. Dia tidak dilihat aneh kalau dia menikmati manfaat atas kendaraan model terbaru yang mungkin ia raih.
Penyair benar-benar dinilai, dihargai, diapresiasi, berdasarkan atas mutu karyanya. (bersambung)
TIDAK hanya penyairnya, tapi siapa saja di negeri ini harus punya hak dan kesempatan yang sama untuk menyejahterakan diri. Ekonomi harus tumbuh baik. Industri berjalan produktif dan menghasilkan produk-produk bermutu unggul.
Jika penyair sejahtera - seperti warga negara lainnya - maka ketika karya sajaknya dimuat di surat kabar, ketika dia menerbitkan karya terbaiknya dan laris, atau ketika dia meraih penghargaan atas mutu karyanya dalam sebuah kompetisi yang berwibawa, maka dia tidak dicurigai oleh sejawatnya sedang mengakumulasi modal untuk kepentingan di luar puisi. Dia tidak dipandang sedang menaiki piramida sosial dengan materi yang ia dapat karena kualitas karyanya itu.
Kalau ada penyair yang dalam keadaan serba mungkin itu kemudian ia memilih membatasi kepemilikan atas uang, benda-benda, dan wujud materi apapun, maka ia tidak dipandang dengan sinis sebagai penyair kere. Kekereannya adalah jalan hidup yang sengaja ia pilih. Dan status sosialnya tidak akan jatuh karena pilihannya itu.
Penyair juga tidak dipandang aneh ketika dia dengan prestasi karirnya di luar puisi berhasil menyejahterakan diri. Dia tidak dilihat aneh kalau dia menikmati manfaat atas kendaraan model terbaru yang mungkin ia raih.
Penyair benar-benar dinilai, dihargai, diapresiasi, berdasarkan atas mutu karyanya. (bersambung)
Penyair dan Kebenaran
:: Untuk Faisal Kamandobat
Catatan: Faisal menulis artikel pendek "Penyair dan Kekuasaan". Pasti, itu tidak ditujukan pada saya secara khusus. Jadi ini bukan apologi, bukan klarifikasi. Ada beberapa bagian dari tulisan Faisal yang membuat saya tertarik untuk menulis artikel berikut ini. Ini sebuah niat yang sehat saja dari saya: ajakan bertukar pikiran.
Menulis puisi, dan mengirimnya ke media, menurut saya adalah dua hal yang terpisah. Ketika saya menulis puisi, saya menulis saja. Saya saat itu tidak memikirkan hendak mengirim ke mana. Saya tidak mencocok-cocokkannya dengan selera redaktur media itu. Apalagi saya sungguh tidak tahu persis seperti apa selera redakturnya.
Tidak semua puisi yang saya tulis saya kirim. Tidak setiap puisi yang saya kirim dimuat oleh media. Sampai saat ini, banyak puisi saya yang ditolak tanpa penjelasan. Ketika dimuat pun saya sama sekali tidak pernah mendapat penjelasan kenapa itu dimuat.
Setelah puisi saya dimuat beberapa kali di media massa, saya menjadi dikenal oleh terutama mereka yang suka membaca puisi di media. Apakah ini tujuan saya menulis puisi? Bukan. Apakah semua pembaca koran membaca puisi? Pasti tidak.
Saya lalu diundang ke berbagai perhelatan sastra. Apakah semua undangan itu saya penuhi? Tidak semua. Saya ingin sekali bisa hadir pada beberapa acara pertemuan penyair di negeri ini. Tapi, saya tidak bisa mencurahkan waktu saya untuk puisi saja. Dapat izin dari atasan itu susah. Saya harus bekerja. Saya juga wajib mengikuti perkembangan dua anak saya, dan membangun kehidupan dengan istri saya.
Itu saja. Apakah kemudian popularitas dan prestise saya itu bisa saya tukar dengan uang? Ketika puisi saya dimuat di koran saya dapat honor. Besarkah honornya? Tidak. Koran yang paling mahal pun tak sampai sejuta rupiah honornya. Jadi, saya tidak akan pernah kaya dari puisi dan popularitas saya sebagai penyair itu.
Apakah kemudian saya bisa mendapatkan kedudukan dalam institusi tertentu karena popularitas saya sebagai penyair? Mungkin. Saya oleh kawan-kawan seniman di Batam dipercaya menjadi Ketua Dewan Kesenian Batam. Tapi, di kabupaten lain, ada ketua Dewan Kesenian yang sama sekali bukan seniman. Jadi kesenimanan dan kepenyairan itu saya kira bukan jaminan untuk mendapatkan posisi di institusi itu.
Apakah saya sekarang menulis puisi sekadar untuk menjaga nama saya atau pesona "kebesaran" saya sebagai penyair? Tidak. Apakah popularitas saya dan posisi saya saya kerahkan untuk mempertahan gengsi saya sebagai seniman di hadapan para sastrawan pemula atau publik pembaca yang peduli namun angin-anginan terhadap sastra? Tidak. Buat apa.
Saya terus menulis puisi, memajangnya di blog saya, dengan niat, semangat, gairah yang sama saja dengan ketika dulu saya memulai mencintai puisi. Saya terus belajar. Saya terus mencari kemungkinan apa yang bisa saya capai bersama puisi. Dan itu mengasyikkan sekali.
*
Ada mobilitas sosial pada pribadi saya. Saya punya rencana-rencana pribadi. Saya punya rancangan-rancangan masa depan dan berusaha mewujudkannya langkah demi langkah. Saya kira setiap orang juga punya ini. Sementara itu saya terus menulis puisi. Saya tidak memandang rendah seniman yang mempertahankan hidup dalam kemiskinan demi penghayatan yang intens atas derita kehidupan dan tragedi kemanusiaan.
Sastra, puisi, hanyalah salah satu sarana yang bisa membuat seseorang diterima publik. Ada banyak cara lain. Bukan semata-mata itu niat saya menulis puisi. Ketika menulis puisi, saya total memasuki dunia itu. Saya membaca Gitanjali, The Gardener (Tagore), The Prophet (Gibran), Zaman Edan (Ronggiwarsito), Gurindam 12 (Raja Ali Haji) dan terpesona pada pencarian dan penemuan kebenaran yang mereka wujudkan dalam karya mereka itu. Saya ingin sampai pada tahap itu. Saya kira siapa saja yang menulis kapan saja, bisa menuju dan sampai ke sana. Ini bukan soal modern atau tidak. Ini soal intensitas penghayatan atas kehidupan.
Jika Faisal Kamandobat mengamati dan menyimpulkan bahwa sekarang penyair dengan sadar atau tidak sadar tidak lagi menulis puisi sebagai sarana untuk mencari kebenaran, menjadikan puisi sebagai tunggangan untuk mencapai hal-hal di luar puisi, membuat manusia dibunuh oleh bahasa yg ia ucapkan sendiri, dan dalam hal penyair, ditikam puisinya sendiri, maka, saya tidak mau dan tidak akan pernah ikut-ikutan merayakan itu.[]
Catatan: Faisal menulis artikel pendek "Penyair dan Kekuasaan". Pasti, itu tidak ditujukan pada saya secara khusus. Jadi ini bukan apologi, bukan klarifikasi. Ada beberapa bagian dari tulisan Faisal yang membuat saya tertarik untuk menulis artikel berikut ini. Ini sebuah niat yang sehat saja dari saya: ajakan bertukar pikiran.
Menulis puisi, dan mengirimnya ke media, menurut saya adalah dua hal yang terpisah. Ketika saya menulis puisi, saya menulis saja. Saya saat itu tidak memikirkan hendak mengirim ke mana. Saya tidak mencocok-cocokkannya dengan selera redaktur media itu. Apalagi saya sungguh tidak tahu persis seperti apa selera redakturnya.
Tidak semua puisi yang saya tulis saya kirim. Tidak setiap puisi yang saya kirim dimuat oleh media. Sampai saat ini, banyak puisi saya yang ditolak tanpa penjelasan. Ketika dimuat pun saya sama sekali tidak pernah mendapat penjelasan kenapa itu dimuat.
Setelah puisi saya dimuat beberapa kali di media massa, saya menjadi dikenal oleh terutama mereka yang suka membaca puisi di media. Apakah ini tujuan saya menulis puisi? Bukan. Apakah semua pembaca koran membaca puisi? Pasti tidak.
Saya lalu diundang ke berbagai perhelatan sastra. Apakah semua undangan itu saya penuhi? Tidak semua. Saya ingin sekali bisa hadir pada beberapa acara pertemuan penyair di negeri ini. Tapi, saya tidak bisa mencurahkan waktu saya untuk puisi saja. Dapat izin dari atasan itu susah. Saya harus bekerja. Saya juga wajib mengikuti perkembangan dua anak saya, dan membangun kehidupan dengan istri saya.
Itu saja. Apakah kemudian popularitas dan prestise saya itu bisa saya tukar dengan uang? Ketika puisi saya dimuat di koran saya dapat honor. Besarkah honornya? Tidak. Koran yang paling mahal pun tak sampai sejuta rupiah honornya. Jadi, saya tidak akan pernah kaya dari puisi dan popularitas saya sebagai penyair itu.
Apakah kemudian saya bisa mendapatkan kedudukan dalam institusi tertentu karena popularitas saya sebagai penyair? Mungkin. Saya oleh kawan-kawan seniman di Batam dipercaya menjadi Ketua Dewan Kesenian Batam. Tapi, di kabupaten lain, ada ketua Dewan Kesenian yang sama sekali bukan seniman. Jadi kesenimanan dan kepenyairan itu saya kira bukan jaminan untuk mendapatkan posisi di institusi itu.
Apakah saya sekarang menulis puisi sekadar untuk menjaga nama saya atau pesona "kebesaran" saya sebagai penyair? Tidak. Apakah popularitas saya dan posisi saya saya kerahkan untuk mempertahan gengsi saya sebagai seniman di hadapan para sastrawan pemula atau publik pembaca yang peduli namun angin-anginan terhadap sastra? Tidak. Buat apa.
Saya terus menulis puisi, memajangnya di blog saya, dengan niat, semangat, gairah yang sama saja dengan ketika dulu saya memulai mencintai puisi. Saya terus belajar. Saya terus mencari kemungkinan apa yang bisa saya capai bersama puisi. Dan itu mengasyikkan sekali.
*
Ada mobilitas sosial pada pribadi saya. Saya punya rencana-rencana pribadi. Saya punya rancangan-rancangan masa depan dan berusaha mewujudkannya langkah demi langkah. Saya kira setiap orang juga punya ini. Sementara itu saya terus menulis puisi. Saya tidak memandang rendah seniman yang mempertahankan hidup dalam kemiskinan demi penghayatan yang intens atas derita kehidupan dan tragedi kemanusiaan.
Sastra, puisi, hanyalah salah satu sarana yang bisa membuat seseorang diterima publik. Ada banyak cara lain. Bukan semata-mata itu niat saya menulis puisi. Ketika menulis puisi, saya total memasuki dunia itu. Saya membaca Gitanjali, The Gardener (Tagore), The Prophet (Gibran), Zaman Edan (Ronggiwarsito), Gurindam 12 (Raja Ali Haji) dan terpesona pada pencarian dan penemuan kebenaran yang mereka wujudkan dalam karya mereka itu. Saya ingin sampai pada tahap itu. Saya kira siapa saja yang menulis kapan saja, bisa menuju dan sampai ke sana. Ini bukan soal modern atau tidak. Ini soal intensitas penghayatan atas kehidupan.
Jika Faisal Kamandobat mengamati dan menyimpulkan bahwa sekarang penyair dengan sadar atau tidak sadar tidak lagi menulis puisi sebagai sarana untuk mencari kebenaran, menjadikan puisi sebagai tunggangan untuk mencapai hal-hal di luar puisi, membuat manusia dibunuh oleh bahasa yg ia ucapkan sendiri, dan dalam hal penyair, ditikam puisinya sendiri, maka, saya tidak mau dan tidak akan pernah ikut-ikutan merayakan itu.[]
Friday, February 12, 2010
Sejumlah Kisah Kecil untuk Mas Andy (1)
1. Pianis Kecil dan Piano Kecil
SEORANG pianis kecil bertemu dengan piano kecil. "Maukah kau bermain denganku?" tanya piano kecil itu.
Mereka pun asyik bermain. Pianis kecil menggelitikkan jari-jari kecilnya di bilah-bilah kecil piano kecil itu. Berderailah tawa kecil si piano kecil.
Kadang-kadang mereka bernyanyi-nyanyi kecil, sesekali terdengar senandung kecil, tangis kecil, aduh kecil, jerit kecil.
•
"SENANG sekali bisa bermain denganmu. Tapi, kamu sudah letih, ya?" tanya piano kecil. Si pianis kecil mengiyakan. Mereka pun berpisah. Di jarak yang merentang di antara keduanya mengembang sunyi. Sunyi yang kecil.
2. Berapa Banyak Bunyi?
"BERAPA banyak bunyi yang kau simpan di bilah-bilah tubuhmu?" tanya pianis itu kepada piano.
"Tak ada. Aku tak punya bunyi. Aku hanya punya sunyi," jawab si piano.
Si pianis pun sejak itu tahu, selama masih ada sunyi, maka dia dan piano itu bisa menciptakan bunyi setakterhingga banyaknya.
3. Sunyi dan Bunyi
SUNYI ingin sekali tahu siapakah sebenarnya Bunyi itu.
Bunyi juga ingin sekali kenal apakah sesungguhnya sunyi itu.
Mereka pun bertemu di sebuah piano dan bertanya pada seorang pianis yang tampaknya sangat mencintai piano itu.
"Ketika sunyi berkata maka jadilah bunyi. Ketika bunyi berdiam diri, ia menjelma jadi sunyi," kata si pianis itu.
Piano pun dengan mahir menerjemahkan penjelasan itu.
"Oh, kami mengerti," kata Sunyi dan Bunyi, serempak, "bunyi adalah sunyi. Dan sunyi adalah bunyi." |hah|
Monday, February 8, 2010
Teks-teks untuk Foto Michael Maier (5)
Pelakon Kehabisan Peran
PANGGUNG ini: dunia sandiwara
Aku: pelakon kehabisan peran
Berpura-pura menjadi penonton
Kau: penonton enggan pulang,
menari pada ulur serangkai rantai
berpegang pada cahaya telanjang
*
Panggung ini: punggung bimbang
Sepi: bertepuk di bangku kosong
Langit-langit membikin semacam hujan
menaburkan warna rawan, kelam kalam
Remang: ragu mengatur bayang-bayang
*
Panggung ini: bangku tak panjang,
bimbang, ikut menahan hati gemetar
Seperti dalam makam, liang longgar,
tapi aku tak bisa beranjak keluar.
Ada yang berziarah menaburkan mawar:
harum itu, satu-satunya kabar.
Labels:
michael maier
Sunday, February 7, 2010
formspring.me
Mana yang lebih kamu suka: afrizal atau Jokpin? Alasannya? he2.
pasti lebih dahulu kenal afrizal malna. dulu susah sekali menyukai sajaknya. Waktu kenal jokpin, langsung suka sajaknya. sekarang saya sama mengagumi dan menyukai keduanya...
Thursday, February 4, 2010
:: Sweet Sadness - Michael Maier
Pertunjukan Pertanyaan
: Chendra Panatan
KENAPA langit seperti menahan nyeri, dan lampu
seakan menunggu kota hendak memadamkan diri?
Kenapa alun-alun ini disesaki sepi? Bahkan
jejak-jejak sembunyi menyeka bekas sendiri?
Kenapa gedung-gedung itu memejamkan jendela?
Dan pintu? Kenapa cahaya ragu mengetuk di sana?
Kenapa bulan rabun? Dan dua merpati itu sejak
kapan sanggup menanggung sejuk udara berembun?
Dan kita? Apakah sepasang penari meningkahi
sepi, atau badut sirkus kehidupan meniti tali?
Labels:
chendra panatan,
michael maier
Teks-teks untuk Foto Michael Maier
:: The Little Pianist (2005), Michael Maier.
Sang Pianis Kecil
: Ananda Sukarlan
TUNGGU, sebentar dia sedang menentukan lagu,
apa yang ia mainkan di bilah-bilah piano itu.
Jangan kita ganggu. Jangan bikin ia jadi ragu.
Tunggu, aku elang yang tak tahu lagu, biar aku
bawakan dia puncak paling puncak, tempat dia
menemukan diri, membebaskan jari, melepaskan
hati, melagukan nyanyi, memperdengarkan yang
hilang dari bising suara-suara hariku-harimu.
Jangan kita tuntut. Jangan bikin ia jadi takut.
Tunggu, lihat, segalanya sempurna terbentang,
teluk setenang peluk, awan seramah halaman,
hutan sehijau usia rawan. Dan angin? Ia
berjanji akan menari, gerak yang lama ia
pelajari, ia simpan selama dalam sembunyi.
Suara dan waktu kanak. Ah, jangan kita rusak.
Labels:
ananda sukarlan,
michael maier
Wednesday, February 3, 2010
Google merayakan kelahiran Ilustrator-Pelukis Norman Rockwell (February 3, 1894 – November 8, 1978).
Labels:
google
Monday, February 1, 2010
Teks-teks untuk Foto Michael Maier
:: Serenade of Love (2007) - Michael Maier.
Serenade Waktu: Kepompong yang Mengupu-kupukan Engkau
ENGKAU yang taat dan percaya hanya pada Waktu: Kepompong yang mengupu-kupukan engkau.
Engkau yang bersangka baik pada Laut: Rahim yang menjaninkan gairah gelombang engkau.
Engkau yang takluk menunjuk pada Langit: Hati yang meluaskan dan menabahkan gelisah engkau.
Engkau yang hanya menemui Serenade Cinta melagu sendiri di pantai itu, tak sempat mendapati dia: Si Pemain Celo, dia yang pernah lama menunggu engkau.
Labels:
michael maier
Teks-teks untuk Foto Michael Maier
:: Don't Let The Sun Go Down
Penyembah Malam
IA meliuk agar malam tak jadi malam
ia rayu senja agar menangkap matahari,
lalu menyekap di lanskap, kemurungan
yang nyaris lengkap: kepingan awan,
langit yang ragu pada warna, camar
yang rabun, dan membisu dari pekikan.
Ia sudah sangat malam. Ia telah lama
jadi penyembah malam. Ia berambut
malam. Ia bergaun malam. Ia bersepatu
malam. Ia memasang lampu di tubuhnya
yang malam. Ia sudah terlalu malam.
Ia letih, ia ingin tak lagi ada malam menginap
di matanya yang ingin sekali memejam.
"Engkaukah yang datang menjemputku
di balon udara itu?" ia bertanya, dan
mengacungkan cahaya, seperti mercu
menyuar pelayar yang ragu pada tuju.
Labels:
michael maier
Subscribe to:
Posts (Atom)