PENYAIR adalah seorang pencinta dan pencipta bahasa. Pencipta kalimat, frasa dan juga kata. Kau harus percaya. Kau bacakah Majalah Tempo edisi khusus 365 setelah tsunami di Aceh? Liputan itu jadi memikat juga karena dimulai dengan satu dua frasa yang dikutip dari penyair besar Chairil Anwar. Dikutip bait sajak ... Kita guyah lemah, sekali tetak tentu rebah . Dikutip juga bait sajak.. kita berkaca, bukan untuk pesta. Ya, majalah itu adalah majalah yang sangat akrab puisi. Bukan sekali itu, Tempo mengutip puisi, bukan cuma Chairil yang dikutip Tempo. Mungkin karena pendirinya adalah seorang Goenawan Mohamad yang juga penyair itu.
Itulah yang saya maksud mencipta bahasa. Bait-bait puisi kita, kelak dipakai untuk keperluan bahasa yang pasti berbeda dengan maksud kita ketika kita menuliskan puisi itu. Tapi kalimat itu syah milik kita. Itu juga menjadi ukuran keberhasilan puisi kita. Kita telah menciptakan kalimat, orang lain mengakui itu sebagai buah cipta kita.
Dalam perjalanan mencipta puisi, kita juga boleh mencipta kata dan frasa. Frasa pangkal akanan, kata Sutardji, adalah frasa yang diciptakan oleh Chairil. Kita mengerti apa maksudnya, kita mengakui si penyairlah yang menemukan bahkan menciptakan frasa itu. Lain tak, yang mengaku-ngaku tentu kita tolak.
Cobalah lacak ke sajak-sajak besar. Cobalah kau mengacapembesari bait-bait puisi para penyair yang sudah menjadi. Kau akan temukan kata-kata yang baru, yang segar. Atau kata-kata usang yang berhasil disegarkan lagi. Itulah tugas kita menyair salah satunya. Mencipta bahasa.