Wahai, pelayar malam, tiga kapal karam, masam dendam
apa lagi yang kau pendam, sebelum semuanya tenggelam?
Kita pun kehilangan ombak, pasir dan berabad rakaat,
terlelap dalam perangkap, sekejap malam yang cacat.
Tanpa sujud, bagaimana menyebut ini sebuah tahajud.
Aduhai laut yang mengenal semua kapal, kau tahukah?
Pada separuh luruh usia tubuh, ada sepertiga subuh
yang tak pernah hendak menunggu jangkarmu berlabuh.
Dan pada lipatan pantai sajadah yang tak lagi basah
Tajam musimmu makin meranjau: aku kian kemarau
Aku masih sabar menunggu, kau kirim tanda zikir-zikir,
Semakin mendekat gemetar bibir, pada persujudan pasir,
rukuk musafir, sampai mengerti isyarat ombak terakhir.
Kau bertanya: hauskah?
             - Aku jawab: ya, beri aku air
Kau bertanya: haruskah?
             - Aku minta: atau sebaiknya kau usir
Siapa yang menangis di dermaga? Siapa menghangatkan
laut dengan airmata? Siapa yang melambai di atas palka?
Siapa yang menghentak kaki berlari ke surut samudera?
Siapa mengarak riak jadi mahagelombang maharaksasa?
Aku semakin tak sanggup. Dengar. Dendang itu semakin sayup:
kenapa harus gelombang,
          gelombang,
                   gelombang,
                            gelombang,
                   gelombang,
          gelombang,
kenapa harus gelombang,
          gelombang,
                   gelombang,
                            gelombang,
                   gelombang,
          gelombang,
kenapa harus gelombang.
Bibirku bersujud di bibirmu, lalu kita lafazkan zikir pasir.
Bibirku bersujud di bibirmu, hampar mulut yang pesisir.
Bibirku bersujud di bibirmu, pagut sebutir pungut sebutir.
* Puisi ini akan saya bacakan 29 Januari 2006 di Taman Ismail Marzuki.