Wednesday, January 4, 2006

It's a Crystal Clear

Saya temukan bentuk puisi yang lumayan komplit dari sajak ini di mana hampir semua fasilitas puitik dimanfaatkan dengan baik.

Oleh Sony de Bono*

Dibawah ini saya dapati puisi yang menarik karya Hasan Aspahani dari milis penyair : Bibirku Bersujud di Bibirmu. Berikut sebagai apresiasi sebagai bagian refleksi yang sangat-sangat subyektif atas Pembacaan 'saya!' terhadap puisi Bung Hasan; di mana saya temukan bentuk puisi yang lumayan komplit dari sajak ini di mana hampir semua fasilitas puitik dimanfaatkan dengan baik.

Pertama-tama tentu saya amati dari pembacaan sekilas saya adalah tipografi yang nampaknya biasa-biasa saja dan tidak terlalu mentradisi, tapi disusun dengan koheren dimana penekanan dilakukan disitu kata-kata disortir dengan ekonomis, atau dengan gampangnya bila bisa cukup diungkap dengan satu baris kenapa repot harus menjadikannya empat. Seperti contoh berikut dimana satu kata itu memberikan efek ekonomis namun bernas-penekanan retoris yang kuat:

     `Tanpa sujud, bagaimana menyebut ini sebuah tahajud.'

Disamping itu tipografi yang dramatis bisa ditemukan pada pengulangan pada `gelombang' yang sangat intens itu, pada skala tertentu seakan mencerminkan visualisasi-atau barangkali tepatnya sensasi-dari riak-riak yang berulang dan semakin menjauh dan mengecil.

Kemudian struktur penceritaan sajak yang dipilih dalam pendapat saya mampu memberikan kedekatan psikologis dengan pembacanya, di mana persona yang secara ideologis mengenal dengan baik tata cara beribadah dalam Islam sepertinya dengan sendirinya mampu mengidentifikasikan diri dengan si tokoh aku liris ini. Hingga efek dari pilihan diksi macam: Rakaat, sujud, rukuk, lafaz, zikir dan tahajud, subuh. Dan pilihan penceritaan yang berbentuk dialog dimana terjadi semacam penyampaian pengalaman kepada pihak tertentu, bisa disimpulkan dengan dominannya ciri seperti: aku, kita dan kau.

Hal lain yang membuat saya tertarik kepada puisi ini adalah fakta bahwa nuansa bebunyian: rima, dan efoni yang terasa magis- bagi saya serupa doa/mantra dimana tradisi bebunyian puitis -rima- dimanfaatkan dengan baik, dan rapi. Hal ini bisa dirasakan hampir di sepanjang tubuh puisi. Di samping konsistensi menjaga aliterasi dan asonansi pada struktur yang lebih kecil, baris salah satu yang paling
menonjol :

     `Tanpa sujud, bagaimana menyebut ini sebuah tahajud.'

Pula terletak pada bagian yang saya anggap seperti sebuah resolusi pada akhir puisi:

     Bibirku bersujud di bibirmu, lalu kita lafazkan zikir pasir.
     Bibirku bersujud di bibirmu, hampar mulut yang pesisir.
     Bibirku bersujud di bibirmu, pagut sebutir pungut sebutir.


Permainan bunyi puitik yang rapi tersebut tentunya bukan satu-satunya penentu, saya dapati pula bahwa seleksi diksi yang sangat tipikal seperti saya sebutkan di atas: Rakaat, sujud, rukuk, lafaz, zikir, sajadah dan tahajud, subuh, bernuansa Islami. Disebabkan saya sebagai muslim mampu mengidentifikasi dengan ungkapan tersebut, dimana ungkapan-ungkapan yang pertama adalah bentuk, cara, alat dan gerakan
dalam peribadatan Islam. Dimana imagery yang disampaikan sanggup menuntun penegasan inderaan kita, karena gerakan yang bersifat motoris tersebut dalam pendapat saya mampu memberikan rasa yang dalam. Bagaimana rasa sujud, rukuk, ataupun bau sajadah yang dalam kadar tertentu dapat dirasakan kedalamnannya jauh melebihi kata-kata.
Sedang diksi yang berkonotasi kepada waktu-waktu yang sakral, personal dan intens macam Tahajud dan Subuh, tentu pilihan ini bukan tanpa alasan; bagaimana kata-kata tersebut bermakna sangat lebih, bau sembab tanah basah, embun, dan tentu malam sepi yang menusuk menjelang pagi. Hal ini mampu memberi kesan magis, mistis akan
pengalaman spiritual yang kuat.

Meski dalam kerangka tertentu memang harus diakui mungkin akan menimbulkan gangguan identifikasi bagi mereka yang non-muslim, namun tentunya dalam hal ini bisa diatasi oleh bentuk metafora-metafora dan imagery yang universal lainnya yang tentunya sangat sering dipakai dan digunakan sebagai kendarann puitik oleh penyair lain: Pantai, ombak dan laut macam: Abdul Hadi (Ombak Itulah), GM ( Pada Sebuah Pantai: Interlude), ataupun Wordsworth target = "blank"(The Tide Rise, The Tide Fall). Memang laut sangat puitik dimana dipertemukannya dua dunia pada pantai-pantai. Dan tekanan atau `teror' yang terkuat saya dapati pada baris dimana `gelombang' yang berturut-turut dan intens sekali frekwensinya, seakan memberikan gambaran yang memperkuat rangkaian, gulungan, riak-riak yang bagi saya –mungkin ini berlebihan- efeknya seakan sanggup mengguncang –guncang, saat kita didalam perahu atau di bibir pantai.

Dan sekali lagi pada akhirnya sebuah usaha apresiasi sepertinya harus sampai pada pemaknaan, di mana hal ini sebenarnya coba saya hindari. Bagi saya panorama yang disuguhkan oleh puisi ini malah hendak mengalahkan keinginan saya untuk merebut makna terdalamnya. Karena terus terang saya lebih terbius pada keseimbangan dan konsistensi puisi ini pada tradisi puitik daripada harus merebut maknanya. Di mana
saya bisa tersesat jalan kepada labirin subyektifisme saya yang sangat personal. It's a crystal clear.

Namun bila hal ini tidak terlalu mengusik, maka meski beresiko tinggi untuk menyesatkan, saya akan coba merefleksikan sedikit dan singkat saja hasil perenungan personal saya terhadap puisi ini yang saya dapati pada resolusi diakhir puisi maupun judul: Sebuah aksi ritual ungkapan cinta antara si aku liris dengan seseorang atau sesuatu dimana terjadi suatu penyatuan dan kerjasama yang sangat mendalam.

     Bibirku bersujud di bibirmu, lalu kita lafazkan zikir pasir.
     Bibirku bersujud di bibirmu, hampar mulut yang pesisir.
     Bibirku bersujud di bibirmu, pagut sebutir pungut sebutir.


Demikian adanya sedikit yang bisa saya ungkapkan dari refleksi subyektif pembacaan terhadap puisi yang akan dibacakan oleh Bung Hasan ini. Barangkali apresiasi ini lebih lengkap bila dikuti dengan menyimak pembacaannya oleh empunya puisi pada tanggal 29-Januari mendatang di TIM.***

* Tulisan ini diposting di milis apresiasi-sastra dan penyair.