TUBUH yang belum sesayup ragu, ia sirami
juga dengan rayu. Mata yang belum sekurup
sendu, ia sulut lagi dengan rindu. "Waktu, ah,
nyaris saja kau bisa lagi menipu aku." Di ruang
waktu, di ruang rindu, ia menunggu seorang tamu,
setelah pesan singkat itu: "Siapkan tubuhmu, aku
ingin mewawancaraimu. Mungkin untuk halaman
satu, kalau nanti bisa engkau tunjukkan rindu waktu
dan waktu rindu di matamu."
       TANYA jawab itu berlangsung seru. Penuh jerit,
dan sesekali terdengar ketukan rindu di pintu. "Biar
saja," bisik si tamu. "Aku masih belum menemukan
waktu di tubuhmu." Ketika sang tamu bertanya
tentang ragu, ia tunjukkan dada. "Ah, aku tambah
menyangsikan rindu," kilah sang tamu. Ketika sang
tamu bertanya tentang rayu, ia lenggokkan pinggul.
"Salah, kau semakin tak memahami hakikat waktu,"
bantah sang tamu.
    "MAKA tibalah saatnya aku memotret engkau,"
kata sang tamu. Ia pun lekas berlalu ke balik pintu
kamar tidurnya yang paling tahu betapa pandai ia
bersiasat mengelabui usia, tapi lebih sering malah
terpedaya oleh waktu. Sebisanya ia benahi juga
tubuhnya. Suram ia semayamkan di mata semata.
Muram dipendamnya di kelamin kelam. "Adakah
yang masih belum kututupi dengan dusta?"
    SEBELUM senja ia kembali menemui tamunya.
Lalu, alangkah kecewanya ia, tak ditemukannya lagi
di sana bekas-bekas tanya jawab yang tadi terjadi
amat riuhnya. "Kurangajar." Ia memaki berulang kali,
setelah membaca catatan pesan yang ditinggalkan.
"Diam-diam telah kucuri potretmu saat kaupersiapkan
dusta di depan kaca itu...."
Blog ini adalah daerah cagar, suaka bagi sajak-sajak, terjemahan, dan esai-esai Hasan Aspahani. Hal-ihwal yang pernah hilang dan ingin ia hapuskan.
Tuesday, January 31, 2006
Wednesday, January 25, 2006
Kamus Empat Kata Berhuruf Awal T, 2
telimpuh: aku hendak terus bersimpuh, sehingga lumpuh. Sampai
     sembah ini kau sentuh. "Telah aku lewatkan beribu subuh,
     telah aku lawatkan duka yang patuh," seperti zikir, resital syair,
     jatuh air tangis membulir bulir. Aku hendak terus bersimpuh,
     hingga menguap semua peluh, di tubuh.
telap: bahkan jika petirmu melepas peluru menuju punggungku, aku
     hendak menghadapnya, menerima pada dada, seluas ada.
     Kau lihatkah? Setiap mili tubuhku adalah parut huruf, padanya
     bisa kau baca romantika luka. Kau dengarkah? Setiap pori kulitku
     ada khusyuk nada, padanya dapat kau dengar serenada bida.
taul: "Aku telah mengenal senjamu itu." Kau, penjala waktu itu. Aku
     nelayan tak berperahu, menggantung dayung di punggungmu,
     melabuh sauh di teluk tubuhmu. "Tapi, aku pun ikan. Menggelapar
     di mata kailmu." Kau, pemancing waktu itu.
tingkuh: kita telah lelah berbantah, menebar tengkar. Maka biar kini
     aku memohon sembah, mengatur simpuh. Menunggu lain subuh,
     setelah runtuh malam yang angkuh. Maka biar kini aku menimba
     perahu, setelah malam karam di muaramu, menuju hulu waktu.
     sembah ini kau sentuh. "Telah aku lewatkan beribu subuh,
     telah aku lawatkan duka yang patuh," seperti zikir, resital syair,
     jatuh air tangis membulir bulir. Aku hendak terus bersimpuh,
     hingga menguap semua peluh, di tubuh.
telap: bahkan jika petirmu melepas peluru menuju punggungku, aku
     hendak menghadapnya, menerima pada dada, seluas ada.
     Kau lihatkah? Setiap mili tubuhku adalah parut huruf, padanya
     bisa kau baca romantika luka. Kau dengarkah? Setiap pori kulitku
     ada khusyuk nada, padanya dapat kau dengar serenada bida.
taul: "Aku telah mengenal senjamu itu." Kau, penjala waktu itu. Aku
     nelayan tak berperahu, menggantung dayung di punggungmu,
     melabuh sauh di teluk tubuhmu. "Tapi, aku pun ikan. Menggelapar
     di mata kailmu." Kau, pemancing waktu itu.
tingkuh: kita telah lelah berbantah, menebar tengkar. Maka biar kini
     aku memohon sembah, mengatur simpuh. Menunggu lain subuh,
     setelah runtuh malam yang angkuh. Maka biar kini aku menimba
     perahu, setelah malam karam di muaramu, menuju hulu waktu.
Friday, January 20, 2006
[KUTIPAN] Penjahit, Penyair, Pengritik
SEORANG penjahit dapat bekerja dengan bahan apa saja, bisa jadi puisi, bisa jadi kritik. Sebagai penyair dia bisa mengabung-gabungkan, dan dengan gunting bernama kritik dia bisa memotong-motong.
* Franz Grillparzer (1791–1872), pengarang Austria, Poems (1835).
* Franz Grillparzer (1791–1872), pengarang Austria, Poems (1835).
Thursday, January 19, 2006
Kita Kota Kata
culas cahaya
gelap menyergap mata
meranjah wajah
rambu berdusta
kota mencari engkau
kerusut kata
malam magenta
jalan ke mafsadah?
kota yang kalah
lambai mafela
kusut kalah sajadah
menyurup magrib
hari tak cukup
kaki terjerat dasi
engkau mau lari
engkau laparkah?
anjing mengais sampah
tidak menggonggong
kau tengok dada
restoran amerika
kau minta dada
jangan tertawa
lelucuan jalanan
bermain klakson
gelap menyergap mata
meranjah wajah
rambu berdusta
kota mencari engkau
kerusut kata
malam magenta
jalan ke mafsadah?
kota yang kalah
lambai mafela
kusut kalah sajadah
menyurup magrib
hari tak cukup
kaki terjerat dasi
engkau mau lari
engkau laparkah?
anjing mengais sampah
tidak menggonggong
kau tengok dada
restoran amerika
kau minta dada
jangan tertawa
lelucuan jalanan
bermain klakson
Wednesday, January 18, 2006
Lehermu Batang Getah, Aku Menoreh Darah
BERIBU pada semak belukar, berayah di hutan berular,
    Kita lahir sungsang, saat bara memanggang kemarau.
       Anak yang jauh dihalau asap, melenting tanpa sayap.
Hingga bertunas nafsu, di jantan tubuhku terajah tubuhmu,
    Relung guha, lekuk muara, miring tebing, ujung gunung,
       mata angin utara. Tanpa peta, apa yang tak fasih kubaca?
Ya, ya, bahkan sarang paling rahasia pun telah kaubentang,
    ke mana aku pulang, ketika aku mengganas jadi binatang.
       Sehabis seharian, lelah mengusir pemburu yang datang.
SUNYI paling kering, pernah kita simpan pada keras angin.
    Kau kirim nyanyi langit, aku menari, menyerentaki gerak bumi.
       "Oi, beri kami yang kau simpan. Apa yang kau rahasiakan."
Sehutan daun kaku mengeras, lalu ikhlas luruh menderas
    Jalan ke rumah lingailah. "Kau masih sempat menebas..."
       Lehermu batang getah, subuh basah, aku menoreh darah
    Kita lahir sungsang, saat bara memanggang kemarau.
       Anak yang jauh dihalau asap, melenting tanpa sayap.
Hingga bertunas nafsu, di jantan tubuhku terajah tubuhmu,
    Relung guha, lekuk muara, miring tebing, ujung gunung,
       mata angin utara. Tanpa peta, apa yang tak fasih kubaca?
Ya, ya, bahkan sarang paling rahasia pun telah kaubentang,
    ke mana aku pulang, ketika aku mengganas jadi binatang.
       Sehabis seharian, lelah mengusir pemburu yang datang.
SUNYI paling kering, pernah kita simpan pada keras angin.
    Kau kirim nyanyi langit, aku menari, menyerentaki gerak bumi.
       "Oi, beri kami yang kau simpan. Apa yang kau rahasiakan."
Sehutan daun kaku mengeras, lalu ikhlas luruh menderas
    Jalan ke rumah lingailah. "Kau masih sempat menebas..."
       Lehermu batang getah, subuh basah, aku menoreh darah
Monday, January 16, 2006
Skrabel: PISAU dan PISANG
Sudah memegang PISAU kaubunuh sapinya tinggal U
Sudah mendapat PISANG kaubuang sapinya tinggal NG
Dengan tiga huruf tanggung kau pun pergi merantau
Mencari satu huruf yang tak pernah kau rasa cukup
"Pergilah ke awal abjad, sebelum langkahmu makin sesat,
pulanglah ke mula alfabet, sebelum dirimu makin terseret."
Kau sudah berjumpa PISA, tapi padanya cuma ada sapi
Kau sudah bertemu PASI, tapi padanya juga cuma ada sapi
Lalu kita berjumpa dan kau tanya apakah aku punya A?
Aku tanya kau sudah punya huruf apa saja, Saudara?
Kau bilang, hurufmu sisa U,...N, dan G, dan kau
bilang kau sudah lama mencari A, ke sembarang mana.
Aku tersenyum saja, karena tak mungkin aku berikan A
yang aku punya padamu. Karena kita punya huruf yang sama
dan kau lihat bagaimana aku menyusunnya: G, U, N dan A.
Sudah mendapat PISANG kaubuang sapinya tinggal NG
Dengan tiga huruf tanggung kau pun pergi merantau
Mencari satu huruf yang tak pernah kau rasa cukup
"Pergilah ke awal abjad, sebelum langkahmu makin sesat,
pulanglah ke mula alfabet, sebelum dirimu makin terseret."
Kau sudah berjumpa PISA, tapi padanya cuma ada sapi
Kau sudah bertemu PASI, tapi padanya juga cuma ada sapi
Lalu kita berjumpa dan kau tanya apakah aku punya A?
Aku tanya kau sudah punya huruf apa saja, Saudara?
Kau bilang, hurufmu sisa U,...N, dan G, dan kau
bilang kau sudah lama mencari A, ke sembarang mana.
Aku tersenyum saja, karena tak mungkin aku berikan A
yang aku punya padamu. Karena kita punya huruf yang sama
dan kau lihat bagaimana aku menyusunnya: G, U, N dan A.
Sunday, January 15, 2006
Skrabel: SEBUAH HURUF KENANGAN
BERI aku huruf, ujarmu
lima buah saja.
Maka kuserahkan H, I, T, A dan M
lalu kau susun sebuah kata.
Aku mengejanya: MATI...
Nah, kau sudah pandai membaca.
TAPI aku tak sempat menanyakan
mengapa satu huruf masih kau simpan,
sebab sebelum pergi kau bisikkan.
Sebuah alasan.
: Ini untuk kenang-kenangan,
yang kelak kurekatkan di batu nisan.
lima buah saja.
Maka kuserahkan H, I, T, A dan M
lalu kau susun sebuah kata.
Aku mengejanya: MATI...
Nah, kau sudah pandai membaca.
TAPI aku tak sempat menanyakan
mengapa satu huruf masih kau simpan,
sebab sebelum pergi kau bisikkan.
Sebuah alasan.
: Ini untuk kenang-kenangan,
yang kelak kurekatkan di batu nisan.
Skrabel: HURUF ke HURUF
Kuucap a, kauharap A
Kusebut be, kauingat B
Kubilang ce, kaukenang C
Kulafal de, kauhafal D
Kubaca e, kautulis E
Kukata ef, kaucatat F
Kuminta ge, kau beri G
             Dari huruf ke huruf lidah kita bersahut-menyahut
             Dari lidah ke lidah huruf kita bersambung sebut
Kuharap H, kauucap ha
Kuingat I, kausebut i
Kukenang J, kaubilang je
Kuhafal K, kaulafal ka
Kucatat L, kaukata el
Kuberi M, kauminta em
Kutulis N, kaubaca en
             Dari huruf ke huruf kata kita diterjemahkan lidah
             Dari huruf ke huruf lidah kita menyepakatkan kata
Kupertahankan o, kaurebut O
Kutelan pe, kausuruhmuntahkan P
kuperjuangkan qi, kaurampas Q
Kubawalari er, kauhadang R
Kuhidupkan es, kaumaubunuh S
Kukandung te, kauhendakgugurkan T
             Dari huruf ke huruf kita tak bisa lagi menyusun kata
             Dari huruf ke huruf kita makin menjauh dari masing kata
Kurebut U, kaupertahankan u
Kumuntahkan V, kausuruhtelah ve
Kurampas W, kauinginpertahankan we
Kuhadang X, kaulalubawalari ex
Kumauberinafas Y, kauancamcekik ye
Kuhamilkan Z, kaumintaborsi zet
             Dari huruf ke huruf kita tak semakin menjadi kita
             Dari huruf ke huruf kita semakin menjauh dari kita
Kuucap a, kauharap A
Kusebut be, kauingat B
Kubilang ce, kaukenang C
Kulafal de, kauhafal D
Kubaca e, kautulis E
Kukata ef, kaucatat F
Kuminta ge, kau beri G
             Dari huruf ke huruf lidah kita bersahut-menyahut
             Dari lidah ke lidah huruf kita bersambung sebut
Kuharap H, kauucap ha
Kuingat I, kausebut i
Kukenang J, kaubilang je
Kuhafal K, kaulafal ka
Kucatat L, kaukata el
Kuberi M, kauminta em
Kutulis N, kaubaca en
             Dari huruf ke huruf kata kita diterjemahkan lidah
             Dari huruf ke huruf lidah kita menyepakatkan kata
Kupertahankan o, kaurebut O
Kutelan pe, kausuruhmuntahkan P
kuperjuangkan qi, kaurampas Q
Kubawalari er, kauhadang R
Kuhidupkan es, kaumaubunuh S
Kukandung te, kauhendakgugurkan T
             Dari huruf ke huruf kita tak bisa lagi menyusun kata
             Dari huruf ke huruf kita makin menjauh dari masing kata
Kurebut U, kaupertahankan u
Kumuntahkan V, kausuruhtelah ve
Kurampas W, kauinginpertahankan we
Kuhadang X, kaulalubawalari ex
Kumauberinafas Y, kauancamcekik ye
Kuhamilkan Z, kaumintaborsi zet
             Dari huruf ke huruf kita tak semakin menjadi kita
             Dari huruf ke huruf kita semakin menjauh dari kita
Skrabel: MA-TE-MA-TI-KA-MA-TI-KU
MA-tematikaku --- teka teki matiku
teka tekiku --- ma-TE-matika matiku
matiku --- mate-MA-tika teka tekiku
matema-TI-kaku --- mati teka tekiku
jika aku terka KA-ta kata teka tekiku
maka tak kan teterka kata MA-tiku
jika maut ma-TI-ku: mata teka tekiku
maka matiku: mata matematika-KU
teka tekiku --- ma-TE-matika matiku
matiku --- mate-MA-tika teka tekiku
matema-TI-kaku --- mati teka tekiku
jika aku terka KA-ta kata teka tekiku
maka tak kan teterka kata MA-tiku
jika maut ma-TI-ku: mata teka tekiku
maka matiku: mata matematika-KU
Scrabble: JAKARTA
SETELAH melancong seharian
selelah menjalang semalaman
     akhirnya JAKARTA ia tinggalkan.
Ia bawa empat huruf itu,
ia bawa K, A, T dan A.
Temannya yang suka menagih
cindera mata langsung bertanya:
"Kok cuma KATA,
huruf lainnya?"
"Maksudmu R, A, dan J?"
"Ya, tiga huruf itu mana?"
OH, di sana huruf-huruf itu sedang langka.
Orang-orang mau saja bertarung nyawa,
berebut-rebut tiga huruf tak lengkap itu.
Orang-orang sibuk juga bersabung untung
bertaruh-taruh tiga huruf bukan kata itu.
"KAU tahu? Orang-orang semua mengaku
telah mendapatkan satu huruf A.
A yang sebenar-benarnya A.
A yang sesungguh-sungguhnya A."
selelah menjalang semalaman
     akhirnya JAKARTA ia tinggalkan.
Ia bawa empat huruf itu,
ia bawa K, A, T dan A.
Temannya yang suka menagih
cindera mata langsung bertanya:
"Kok cuma KATA,
huruf lainnya?"
"Maksudmu R, A, dan J?"
"Ya, tiga huruf itu mana?"
OH, di sana huruf-huruf itu sedang langka.
Orang-orang mau saja bertarung nyawa,
berebut-rebut tiga huruf tak lengkap itu.
Orang-orang sibuk juga bersabung untung
bertaruh-taruh tiga huruf bukan kata itu.
"KAU tahu? Orang-orang semua mengaku
telah mendapatkan satu huruf A.
A yang sebenar-benarnya A.
A yang sesungguh-sungguhnya A."
Friday, January 13, 2006
InPOETaintment
Aku ingin tahu masygulmu yang membuhul di dada
di pintu kamar mengetuk gadis pengantar pizza:
"Kau memesan keliaran, nah ini aku beri rimbaku..."
Aku tak tahu, ternyata kau tak mahir lagi berburu.
di pintu kamar mengetuk gadis pengantar pizza:
"Kau memesan keliaran, nah ini aku beri rimbaku..."
Aku tak tahu, ternyata kau tak mahir lagi berburu.
[Ruang Renung # 131] Menaklukkan Perkara Bentuk
ADA baiknya kita menulis puisi yang tak bebas. Pantun misalnya. Atau soneta. Atau ghazal, atau bentuk sajak apa pun yang kita tahu, kita kuasai, dan membuat kita ada gairah untuk berkreasi kata dengan bentuk itu.
BUAT apa? Tantangan puisi berbentuk tetap itu beda dengan puisi bebas. Kita jadi lebih selektif dengan kata, lebih berupaya keras untuk memilih, menyusun, sebelum kita puas dengan hasil puisi tak bebas yang kita susun itu. Jika kita berhasil mengatasi permasalahan bentuk itu, maka ketika lain waktu kita ingin menulis sajak yang bebas maka kebebasan itu benar-benar terasa lebih. Tapi pada puisi bebas pun kita tetap harus berupaya keras untuk memilih, menyusun dan mengolah kata-kata, kan?
YA, ada baiknya kita menulis puisi yang berbentuk tetap. Paling tidak kita jadi mengenali dulu, membaca dulu, mengerti dulu agar bisa menaklukkan dan membereskan perkara 'bentuk' itu. Nah, siapa tahu dalam proses penaklukan dan pemberesan itu kita menemukan hal lain, hal yang puisi, hal yang bukan perkara bentuk saja.
Jadi, cobalah menulis dengan bentuk-bentuk sajak yang tetap itu.
BUAT apa? Tantangan puisi berbentuk tetap itu beda dengan puisi bebas. Kita jadi lebih selektif dengan kata, lebih berupaya keras untuk memilih, menyusun, sebelum kita puas dengan hasil puisi tak bebas yang kita susun itu. Jika kita berhasil mengatasi permasalahan bentuk itu, maka ketika lain waktu kita ingin menulis sajak yang bebas maka kebebasan itu benar-benar terasa lebih. Tapi pada puisi bebas pun kita tetap harus berupaya keras untuk memilih, menyusun dan mengolah kata-kata, kan?
YA, ada baiknya kita menulis puisi yang berbentuk tetap. Paling tidak kita jadi mengenali dulu, membaca dulu, mengerti dulu agar bisa menaklukkan dan membereskan perkara 'bentuk' itu. Nah, siapa tahu dalam proses penaklukan dan pemberesan itu kita menemukan hal lain, hal yang puisi, hal yang bukan perkara bentuk saja.
Jadi, cobalah menulis dengan bentuk-bentuk sajak yang tetap itu.
[BALAI PUISI # 1] Mulai dari Mana?
TANYA: Assalamu'alaikum. Saya penikmat puisi ...[bagian ini diedit, :-)]. Ingin sekali bisa mencipta puisi-puisi seperti itu tapi tak pernah bisa. Omong-omong, menurut Anda, seniman (sastrawan) itu dilahirkan atau bisa diciptakan, ya? Kalo saya ingin melatih kepekaan rasa untuk bisa mencipta puisi-puisi seperti itu, harus mulai dari mana? Sekali lagi salut. Wassalam.(Email dari Fuad di sebuah tempat)
JAWAB: DALAM diri setiap manusia ada jiwa penyair yang keburu mati muda. Kalimat itu saya kutipkan dari Sainte-Beuve alias Charles Augustin (1804–1869). Dia adalah pakar sejarah sastra Prancis dan perintis seni penelaahan sastra melalui pandangan psikologi dan biografi.
    Kematian sang penyair dalam diri setiap manusia saya kira tak perlu ditangisi. Tidak semua orang harus jadi penyair. Dan saya percaya dalam hal ini ada reinkarnasi. Jadi walaupun dalam dirimu kau rasa telah mati si penyair itu, maka bangkitkanlah ia. Hidupkanlah ia. Kau bisa melakukan itu. Sampai ia kembali bernafas dan menjadi bagian dalam dirimu.
    Upaya menghidupkan itulah yang kau katakan dengan "melatih kepekaan rasa". Kepekaan rasa itu perlu buat siapa saja, bukan hanya manusia yang ingin menghidupkan lagi sosok penyair dalam dirinya. Tujuannya melatih rasa itu bukan hanya agar kau bisa menghasilkan puisi-puisi. Rasa yang peka perlu dihadirkan dalam diri manusia agar ia bisa menghayati hidup dengan lebih kaya. Puisi bisa jadi jalan dan alat untuk melatih rasa itu, bisa juga menjadi hasil dari rasa yang peka itu, juga bisa menjadi buah dari penghayatan atas hidup itu.
    Tapi, mulai dari mana? Nah, percakapan ini sudah berupa permulaan. Nanti kita sambung lagi.[]
JAWAB: DALAM diri setiap manusia ada jiwa penyair yang keburu mati muda. Kalimat itu saya kutipkan dari Sainte-Beuve alias Charles Augustin (1804–1869). Dia adalah pakar sejarah sastra Prancis dan perintis seni penelaahan sastra melalui pandangan psikologi dan biografi.
    Kematian sang penyair dalam diri setiap manusia saya kira tak perlu ditangisi. Tidak semua orang harus jadi penyair. Dan saya percaya dalam hal ini ada reinkarnasi. Jadi walaupun dalam dirimu kau rasa telah mati si penyair itu, maka bangkitkanlah ia. Hidupkanlah ia. Kau bisa melakukan itu. Sampai ia kembali bernafas dan menjadi bagian dalam dirimu.
    Upaya menghidupkan itulah yang kau katakan dengan "melatih kepekaan rasa". Kepekaan rasa itu perlu buat siapa saja, bukan hanya manusia yang ingin menghidupkan lagi sosok penyair dalam dirinya. Tujuannya melatih rasa itu bukan hanya agar kau bisa menghasilkan puisi-puisi. Rasa yang peka perlu dihadirkan dalam diri manusia agar ia bisa menghayati hidup dengan lebih kaya. Puisi bisa jadi jalan dan alat untuk melatih rasa itu, bisa juga menjadi hasil dari rasa yang peka itu, juga bisa menjadi buah dari penghayatan atas hidup itu.
    Tapi, mulai dari mana? Nah, percakapan ini sudah berupa permulaan. Nanti kita sambung lagi.[]
Thursday, January 12, 2006
Majalah Budaya "Dua Belas" dari Kepulauan Riau
Dari Kompas
Kamis (12/1) malam ini, Dewan Kesenian Provinsi Kepulauan Riau akan meluncurkan majalah budaya yang mereka beri judul cukup unik sekaligus sensasional: Dua Belas. "Nama ini sengaja diambil dari salah satu karya Raja Ali Haji yang sangat terkenal itu, "Gurindam Dua Belas" kata Hoesnizar Hood, Ketua Umum Dewan Kesenian Kepulauan Riau. Lagi pula, kata Hoesnizar dalam nada bercanda, belum pernah ada nama majalah di negeri ini menggunakan angka. Edisi pertamanya pun diluncurkan pada tanggal 12 (Januari), dikelola oleh 12 orang, dan... harganya ditetapkan dua belas ribu rupiah. Menurut Hoesnizar, kehadiran majalah ini terutama lebih dimaksudkan untuk memberi ruang kepada para penulis dari kalangan muda, termasuk anak-anak sekolah, sebagai bagian dari program Dewan Kesenian Kepulauan Riau untuk meningkatkan mutu seni budaya di daerah ini. Peluncuran majalah budaya Dua Belas digelar bersamaan dengan peluncuran buku Hoesnizar berjudul Orang Melayu Cuma Pandai Bercerita, yang merupakan kumpulan tulisannya dalam kolom "Temberang" yang terbit setiap hari Minggu di Batam Pos. "Judul buku ini sengaja diambil dari judul tulisan di Kompas, beberapa waktu lalu, karena pas dengan atmosfer ide dan gagasan yang ingin disampaikan," kata Hoesnizar tentang peluncuran buku dan majalah yang akan disiarkan secara langsung oleh stasiun TV lokal di sana: Batam TV. (jos/ken)
Kamis (12/1) malam ini, Dewan Kesenian Provinsi Kepulauan Riau akan meluncurkan majalah budaya yang mereka beri judul cukup unik sekaligus sensasional: Dua Belas. "Nama ini sengaja diambil dari salah satu karya Raja Ali Haji yang sangat terkenal itu, "Gurindam Dua Belas" kata Hoesnizar Hood, Ketua Umum Dewan Kesenian Kepulauan Riau. Lagi pula, kata Hoesnizar dalam nada bercanda, belum pernah ada nama majalah di negeri ini menggunakan angka. Edisi pertamanya pun diluncurkan pada tanggal 12 (Januari), dikelola oleh 12 orang, dan... harganya ditetapkan dua belas ribu rupiah. Menurut Hoesnizar, kehadiran majalah ini terutama lebih dimaksudkan untuk memberi ruang kepada para penulis dari kalangan muda, termasuk anak-anak sekolah, sebagai bagian dari program Dewan Kesenian Kepulauan Riau untuk meningkatkan mutu seni budaya di daerah ini. Peluncuran majalah budaya Dua Belas digelar bersamaan dengan peluncuran buku Hoesnizar berjudul Orang Melayu Cuma Pandai Bercerita, yang merupakan kumpulan tulisannya dalam kolom "Temberang" yang terbit setiap hari Minggu di Batam Pos. "Judul buku ini sengaja diambil dari judul tulisan di Kompas, beberapa waktu lalu, karena pas dengan atmosfer ide dan gagasan yang ingin disampaikan," kata Hoesnizar tentang peluncuran buku dan majalah yang akan disiarkan secara langsung oleh stasiun TV lokal di sana: Batam TV. (jos/ken)
Monday, January 9, 2006
Rayuan Syair Bernama GHAZAL
AKU bertemu dengan jejak ghazal. Bentuk syair yang banyak ditulis di Persia, India, Pakistan. Biasanya dalam bahasa Arab dan Urdu, serta Parsi. Ghazal sendiri adalah kosakata Arabia yang berarti berbincang dengan atau tentang, wanita. Dulu, memang Ghazal semacam syair rayuan tampaknya. Tapi kini, tema apapun bisa ditulis dalam bentuk itu.
Ghazal bukan bentuk puisi bebas. Ada aturan-aturan yang sepertinya asyik juga dicoba untuk memperkaya khazanah perpuisian kita.
Definisi klasik dari bentuk Ghazal adalah kumpulan shers (sajak dua bait yang masing-masing berdiri sendiri), yang patuh pada aturan beher (ukuran panjang dari dua bait dalam satu sher, yang harus sama panjangnya), matla (sher pertama dalam setiap ghazal harus berakhir dengan kata yang sama dengan radif), maqta (nama alias si penulis yang disebut di dalam - paling tidak - sher terakhir. Jalaluddin menyebut diri RUMI dalam ghazalnya, Mirzha Ashaluddin Khan menyebut dirinya Ghalib), kafiya (irama kata sebelum radif yang berirama sama) dan radif (satu kata yang sama pada akhir kalimat dalam baris ke dua dalam tiap sher).
Saya menjajal juga bentuk ini. Nikmatilah.
Syair Rindu, Ghazal Hujan
maka kusalinlah garis-garis hujan
ke dalam baris syair, ghazal hujan
engkau yang riang menyanyikan dingin
mengulang refrain, hingga tinggal hujan
engkau yang muram mengurung murung
merintih nafas, lalu suara sengal hujan
di ujung setiap gerimis: siulan angin
siapa hati kanak tak mengigal hujan
buah-buah jatuh, lebah kupu meneduh
dalam genang kenang, sepenggal hujan
jiwaku, ada yang tak pernah basah padamu
sesak berjejal (tak terurai) dalam sesal hujan
Sebuah Rumah: Sebuah Ghazal
ari-arimu, anakku, kutanam di halaman rumah
dekat tidurmu, sebelum kau tinggalkan rumah
dua tahun mengumpulkan coretan-coretanmu
lelah redam di dinding, hangat pelukan rumah
tak ada kursi ruang tamu: hanya halaman buku
yang singgah yang lewat, dalam catatan rumah
39 mujair dan nila mengecupi lumut dan waktu
pertunjukan rindu di kolam kecil halaman rumah
tak putus berbunga 2 rumpun pisang helikonia
warna itu: lagu mewujud dalam nyanyian rumah
wahai Jiwaku, hijaukan rimbunkan tumbuhmu
dalam kasih menghumusi & disuburkan rumah
Ghazal bukan bentuk puisi bebas. Ada aturan-aturan yang sepertinya asyik juga dicoba untuk memperkaya khazanah perpuisian kita.
Definisi klasik dari bentuk Ghazal adalah kumpulan shers (sajak dua bait yang masing-masing berdiri sendiri), yang patuh pada aturan beher (ukuran panjang dari dua bait dalam satu sher, yang harus sama panjangnya), matla (sher pertama dalam setiap ghazal harus berakhir dengan kata yang sama dengan radif), maqta (nama alias si penulis yang disebut di dalam - paling tidak - sher terakhir. Jalaluddin menyebut diri RUMI dalam ghazalnya, Mirzha Ashaluddin Khan menyebut dirinya Ghalib), kafiya (irama kata sebelum radif yang berirama sama) dan radif (satu kata yang sama pada akhir kalimat dalam baris ke dua dalam tiap sher).
Saya menjajal juga bentuk ini. Nikmatilah.
Syair Rindu, Ghazal Hujan
maka kusalinlah garis-garis hujan
ke dalam baris syair, ghazal hujan
engkau yang riang menyanyikan dingin
mengulang refrain, hingga tinggal hujan
engkau yang muram mengurung murung
merintih nafas, lalu suara sengal hujan
di ujung setiap gerimis: siulan angin
siapa hati kanak tak mengigal hujan
buah-buah jatuh, lebah kupu meneduh
dalam genang kenang, sepenggal hujan
jiwaku, ada yang tak pernah basah padamu
sesak berjejal (tak terurai) dalam sesal hujan
Sebuah Rumah: Sebuah Ghazal
ari-arimu, anakku, kutanam di halaman rumah
dekat tidurmu, sebelum kau tinggalkan rumah
dua tahun mengumpulkan coretan-coretanmu
lelah redam di dinding, hangat pelukan rumah
tak ada kursi ruang tamu: hanya halaman buku
yang singgah yang lewat, dalam catatan rumah
39 mujair dan nila mengecupi lumut dan waktu
pertunjukan rindu di kolam kecil halaman rumah
tak putus berbunga 2 rumpun pisang helikonia
warna itu: lagu mewujud dalam nyanyian rumah
wahai Jiwaku, hijaukan rimbunkan tumbuhmu
dalam kasih menghumusi & disuburkan rumah
Sunday, January 8, 2006
[Ruang Renung # 130] Petualang dan Peta Kata
KAMUS adalah peta kata. Penyair adalah penjelajah handal yang tak pernah takut tersesat. Jadi, perlukah penyair berpedoman pada kamus saja? Tidak perlu, karena petualangan tidak akan mengasyikkan. Tetapi menyair bukan seperti penjelajahan yang sengaja menyesat-nyesatkan diri.
Penyair adalah petualang yang menguasai seluruh lembar peta. Karena itu dia pun tahu kapan harus membuka jalan pintas, memotong jalur, menyeberangi sungai, bahkan membangun titian, yang tidak ada dalam peta kata, yang justru kelak akan dipetakan oleh orang lain.
Dan peta bukan kitab suci. Penyair boleh saja merobek-robek peta. Lalu menyusunnya lagi seperti permainan gambar acak. Tidak harus sama dengan sususan peta yang semula. Mungkin dari peta baru itu penyair bisa menemukan petualangan baru yang jauh lebih asyik.
Maka kuasailah peta, dan masukkan saja peta itu ke dalam ranselmu ketika kau berangkat menyair, berpetualang. Atau robekkan saja dan susunulang sesukamu.[hah]
Penyair adalah petualang yang menguasai seluruh lembar peta. Karena itu dia pun tahu kapan harus membuka jalan pintas, memotong jalur, menyeberangi sungai, bahkan membangun titian, yang tidak ada dalam peta kata, yang justru kelak akan dipetakan oleh orang lain.
Dan peta bukan kitab suci. Penyair boleh saja merobek-robek peta. Lalu menyusunnya lagi seperti permainan gambar acak. Tidak harus sama dengan sususan peta yang semula. Mungkin dari peta baru itu penyair bisa menemukan petualangan baru yang jauh lebih asyik.
Maka kuasailah peta, dan masukkan saja peta itu ke dalam ranselmu ketika kau berangkat menyair, berpetualang. Atau robekkan saja dan susunulang sesukamu.[hah]
Kamus Empat Kata Berhuruf Awal K, 3
kerencang: dengarkah, dentang rantai bersentuh dengan subuh,
     dari penjara yang tak jauh, kau menebak-nebak berapa tebal
     dinding dan waktu yang harus ditunaikan dengan sebuah tubuh.
kerengkam: seperti laut menanam lumut di tiang-tiang pelabuhan,
     ada yang menggulma: masygul dan gema - geram yang lama.
     Seperti laut menanam lumut di lambung-lambung kapal, ada
     yang diam-diam tumbuh di balik tubuh: daftar dosa-dosa.
kerinjang: lalu kau pun mesti belajar lagi melangkah-langkahkan kaki,
     menjejak-jejakkan hati, di setapak jalan, di setepak perasaan.
     Kau ingat, di gerbang itu dulu ada yang menyesatkan isyarat,
     di jalan itu dulu ada yang mengubah arah rambu-rambu.
kerkak: dengarkah, derak tulang dikerkah, dari tubuh yang tak jauh,
     mungkin tubuhmu, mungkin tubuhku.Lihatlah, lunglai untai rantai
     yang terbantai, pada lehermu, pada dua tanganku. Ingatlah,
     kata yang kian enggan kau sebut, itu namaku, juga namamu.
     dari penjara yang tak jauh, kau menebak-nebak berapa tebal
     dinding dan waktu yang harus ditunaikan dengan sebuah tubuh.
kerengkam: seperti laut menanam lumut di tiang-tiang pelabuhan,
     ada yang menggulma: masygul dan gema - geram yang lama.
     Seperti laut menanam lumut di lambung-lambung kapal, ada
     yang diam-diam tumbuh di balik tubuh: daftar dosa-dosa.
kerinjang: lalu kau pun mesti belajar lagi melangkah-langkahkan kaki,
     menjejak-jejakkan hati, di setapak jalan, di setepak perasaan.
     Kau ingat, di gerbang itu dulu ada yang menyesatkan isyarat,
     di jalan itu dulu ada yang mengubah arah rambu-rambu.
kerkak: dengarkah, derak tulang dikerkah, dari tubuh yang tak jauh,
     mungkin tubuhmu, mungkin tubuhku.Lihatlah, lunglai untai rantai
     yang terbantai, pada lehermu, pada dua tanganku. Ingatlah,
     kata yang kian enggan kau sebut, itu namaku, juga namamu.
Thursday, January 5, 2006
[KUTIPAN] Lukisan bukan Teka Teki Silang
KALAU membacanya seperti membaca teka-teki silang memang susah, tetapi kalau kita menikmatinya saja tidak susah. Seperti kita menikmati lukisan, kalau kita terka-terka malah susah, tapi kalau kita nikmati pasti mudah.
* Goenawan Mohammad, dalam diskusi membahas puisi-puisinya di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 2000.
* Goenawan Mohammad, dalam diskusi membahas puisi-puisinya di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 2000.
Wednesday, January 4, 2006
It's a Crystal Clear
Saya temukan bentuk puisi yang lumayan komplit dari sajak ini di mana hampir semua fasilitas puitik dimanfaatkan dengan baik.
Oleh Sony de Bono*
Dibawah ini saya dapati puisi yang menarik karya Hasan Aspahani dari milis penyair : Bibirku Bersujud di Bibirmu. Berikut sebagai apresiasi sebagai bagian refleksi yang sangat-sangat subyektif atas Pembacaan 'saya!' terhadap puisi Bung Hasan; di mana saya temukan bentuk puisi yang lumayan komplit dari sajak ini di mana hampir semua fasilitas puitik dimanfaatkan dengan baik.
Pertama-tama tentu saya amati dari pembacaan sekilas saya adalah tipografi yang nampaknya biasa-biasa saja dan tidak terlalu mentradisi, tapi disusun dengan koheren dimana penekanan dilakukan disitu kata-kata disortir dengan ekonomis, atau dengan gampangnya bila bisa cukup diungkap dengan satu baris kenapa repot harus menjadikannya empat. Seperti contoh berikut dimana satu kata itu memberikan efek ekonomis namun bernas-penekanan retoris yang kuat:
     `Tanpa sujud, bagaimana menyebut ini sebuah tahajud.'
Disamping itu tipografi yang dramatis bisa ditemukan pada pengulangan pada `gelombang' yang sangat intens itu, pada skala tertentu seakan mencerminkan visualisasi-atau barangkali tepatnya sensasi-dari riak-riak yang berulang dan semakin menjauh dan mengecil.
Kemudian struktur penceritaan sajak yang dipilih dalam pendapat saya mampu memberikan kedekatan psikologis dengan pembacanya, di mana persona yang secara ideologis mengenal dengan baik tata cara beribadah dalam Islam sepertinya dengan sendirinya mampu mengidentifikasikan diri dengan si tokoh aku liris ini. Hingga efek dari pilihan diksi macam: Rakaat, sujud, rukuk, lafaz, zikir dan tahajud, subuh. Dan pilihan penceritaan yang berbentuk dialog dimana terjadi semacam penyampaian pengalaman kepada pihak tertentu, bisa disimpulkan dengan dominannya ciri seperti: aku, kita dan kau.
Hal lain yang membuat saya tertarik kepada puisi ini adalah fakta bahwa nuansa bebunyian: rima, dan efoni yang terasa magis- bagi saya serupa doa/mantra dimana tradisi bebunyian puitis -rima- dimanfaatkan dengan baik, dan rapi. Hal ini bisa dirasakan hampir di sepanjang tubuh puisi. Di samping konsistensi menjaga aliterasi dan asonansi pada struktur yang lebih kecil, baris salah satu yang paling
menonjol :
     `Tanpa sujud, bagaimana menyebut ini sebuah tahajud.'
Pula terletak pada bagian yang saya anggap seperti sebuah resolusi pada akhir puisi:
     Bibirku bersujud di bibirmu, lalu kita lafazkan zikir pasir.
     Bibirku bersujud di bibirmu, hampar mulut yang pesisir.
     Bibirku bersujud di bibirmu, pagut sebutir pungut sebutir.
Permainan bunyi puitik yang rapi tersebut tentunya bukan satu-satunya penentu, saya dapati pula bahwa seleksi diksi yang sangat tipikal seperti saya sebutkan di atas: Rakaat, sujud, rukuk, lafaz, zikir, sajadah dan tahajud, subuh, bernuansa Islami. Disebabkan saya sebagai muslim mampu mengidentifikasi dengan ungkapan tersebut, dimana ungkapan-ungkapan yang pertama adalah bentuk, cara, alat dan gerakan
dalam peribadatan Islam. Dimana imagery yang disampaikan sanggup menuntun penegasan inderaan kita, karena gerakan yang bersifat motoris tersebut dalam pendapat saya mampu memberikan rasa yang dalam. Bagaimana rasa sujud, rukuk, ataupun bau sajadah yang dalam kadar tertentu dapat dirasakan kedalamnannya jauh melebihi kata-kata.
Sedang diksi yang berkonotasi kepada waktu-waktu yang sakral, personal dan intens macam Tahajud dan Subuh, tentu pilihan ini bukan tanpa alasan; bagaimana kata-kata tersebut bermakna sangat lebih, bau sembab tanah basah, embun, dan tentu malam sepi yang menusuk menjelang pagi. Hal ini mampu memberi kesan magis, mistis akan
pengalaman spiritual yang kuat.
Meski dalam kerangka tertentu memang harus diakui mungkin akan menimbulkan gangguan identifikasi bagi mereka yang non-muslim, namun tentunya dalam hal ini bisa diatasi oleh bentuk metafora-metafora dan imagery yang universal lainnya yang tentunya sangat sering dipakai dan digunakan sebagai kendarann puitik oleh penyair lain: Pantai, ombak dan laut macam: Abdul Hadi (Ombak Itulah), GM ( Pada Sebuah Pantai: Interlude), ataupun Wordsworth target = "blank"(The Tide Rise, The Tide Fall). Memang laut sangat puitik dimana dipertemukannya dua dunia pada pantai-pantai. Dan tekanan atau `teror' yang terkuat saya dapati pada baris dimana `gelombang' yang berturut-turut dan intens sekali frekwensinya, seakan memberikan gambaran yang memperkuat rangkaian, gulungan, riak-riak yang bagi saya –mungkin ini berlebihan- efeknya seakan sanggup mengguncang –guncang, saat kita didalam perahu atau di bibir pantai.
Dan sekali lagi pada akhirnya sebuah usaha apresiasi sepertinya harus sampai pada pemaknaan, di mana hal ini sebenarnya coba saya hindari. Bagi saya panorama yang disuguhkan oleh puisi ini malah hendak mengalahkan keinginan saya untuk merebut makna terdalamnya. Karena terus terang saya lebih terbius pada keseimbangan dan konsistensi puisi ini pada tradisi puitik daripada harus merebut maknanya. Di mana
saya bisa tersesat jalan kepada labirin subyektifisme saya yang sangat personal. It's a crystal clear.
Namun bila hal ini tidak terlalu mengusik, maka meski beresiko tinggi untuk menyesatkan, saya akan coba merefleksikan sedikit dan singkat saja hasil perenungan personal saya terhadap puisi ini yang saya dapati pada resolusi diakhir puisi maupun judul: Sebuah aksi ritual ungkapan cinta antara si aku liris dengan seseorang atau sesuatu dimana terjadi suatu penyatuan dan kerjasama yang sangat mendalam.
     Bibirku bersujud di bibirmu, lalu kita lafazkan zikir pasir.
     Bibirku bersujud di bibirmu, hampar mulut yang pesisir.
     Bibirku bersujud di bibirmu, pagut sebutir pungut sebutir.
Demikian adanya sedikit yang bisa saya ungkapkan dari refleksi subyektif pembacaan terhadap puisi yang akan dibacakan oleh Bung Hasan ini. Barangkali apresiasi ini lebih lengkap bila dikuti dengan menyimak pembacaannya oleh empunya puisi pada tanggal 29-Januari mendatang di TIM.***
* Tulisan ini diposting di milis apresiasi-sastra dan penyair.
Oleh Sony de Bono*
Dibawah ini saya dapati puisi yang menarik karya Hasan Aspahani dari milis penyair : Bibirku Bersujud di Bibirmu. Berikut sebagai apresiasi sebagai bagian refleksi yang sangat-sangat subyektif atas Pembacaan 'saya!' terhadap puisi Bung Hasan; di mana saya temukan bentuk puisi yang lumayan komplit dari sajak ini di mana hampir semua fasilitas puitik dimanfaatkan dengan baik.
Pertama-tama tentu saya amati dari pembacaan sekilas saya adalah tipografi yang nampaknya biasa-biasa saja dan tidak terlalu mentradisi, tapi disusun dengan koheren dimana penekanan dilakukan disitu kata-kata disortir dengan ekonomis, atau dengan gampangnya bila bisa cukup diungkap dengan satu baris kenapa repot harus menjadikannya empat. Seperti contoh berikut dimana satu kata itu memberikan efek ekonomis namun bernas-penekanan retoris yang kuat:
     `Tanpa sujud, bagaimana menyebut ini sebuah tahajud.'
Disamping itu tipografi yang dramatis bisa ditemukan pada pengulangan pada `gelombang' yang sangat intens itu, pada skala tertentu seakan mencerminkan visualisasi-atau barangkali tepatnya sensasi-dari riak-riak yang berulang dan semakin menjauh dan mengecil.
Kemudian struktur penceritaan sajak yang dipilih dalam pendapat saya mampu memberikan kedekatan psikologis dengan pembacanya, di mana persona yang secara ideologis mengenal dengan baik tata cara beribadah dalam Islam sepertinya dengan sendirinya mampu mengidentifikasikan diri dengan si tokoh aku liris ini. Hingga efek dari pilihan diksi macam: Rakaat, sujud, rukuk, lafaz, zikir dan tahajud, subuh. Dan pilihan penceritaan yang berbentuk dialog dimana terjadi semacam penyampaian pengalaman kepada pihak tertentu, bisa disimpulkan dengan dominannya ciri seperti: aku, kita dan kau.
Hal lain yang membuat saya tertarik kepada puisi ini adalah fakta bahwa nuansa bebunyian: rima, dan efoni yang terasa magis- bagi saya serupa doa/mantra dimana tradisi bebunyian puitis -rima- dimanfaatkan dengan baik, dan rapi. Hal ini bisa dirasakan hampir di sepanjang tubuh puisi. Di samping konsistensi menjaga aliterasi dan asonansi pada struktur yang lebih kecil, baris salah satu yang paling
menonjol :
     `Tanpa sujud, bagaimana menyebut ini sebuah tahajud.'
Pula terletak pada bagian yang saya anggap seperti sebuah resolusi pada akhir puisi:
     Bibirku bersujud di bibirmu, lalu kita lafazkan zikir pasir.
     Bibirku bersujud di bibirmu, hampar mulut yang pesisir.
     Bibirku bersujud di bibirmu, pagut sebutir pungut sebutir.
Permainan bunyi puitik yang rapi tersebut tentunya bukan satu-satunya penentu, saya dapati pula bahwa seleksi diksi yang sangat tipikal seperti saya sebutkan di atas: Rakaat, sujud, rukuk, lafaz, zikir, sajadah dan tahajud, subuh, bernuansa Islami. Disebabkan saya sebagai muslim mampu mengidentifikasi dengan ungkapan tersebut, dimana ungkapan-ungkapan yang pertama adalah bentuk, cara, alat dan gerakan
dalam peribadatan Islam. Dimana imagery yang disampaikan sanggup menuntun penegasan inderaan kita, karena gerakan yang bersifat motoris tersebut dalam pendapat saya mampu memberikan rasa yang dalam. Bagaimana rasa sujud, rukuk, ataupun bau sajadah yang dalam kadar tertentu dapat dirasakan kedalamnannya jauh melebihi kata-kata.
Sedang diksi yang berkonotasi kepada waktu-waktu yang sakral, personal dan intens macam Tahajud dan Subuh, tentu pilihan ini bukan tanpa alasan; bagaimana kata-kata tersebut bermakna sangat lebih, bau sembab tanah basah, embun, dan tentu malam sepi yang menusuk menjelang pagi. Hal ini mampu memberi kesan magis, mistis akan
pengalaman spiritual yang kuat.
Meski dalam kerangka tertentu memang harus diakui mungkin akan menimbulkan gangguan identifikasi bagi mereka yang non-muslim, namun tentunya dalam hal ini bisa diatasi oleh bentuk metafora-metafora dan imagery yang universal lainnya yang tentunya sangat sering dipakai dan digunakan sebagai kendarann puitik oleh penyair lain: Pantai, ombak dan laut macam: Abdul Hadi (Ombak Itulah), GM ( Pada Sebuah Pantai: Interlude), ataupun Wordsworth target = "blank"(The Tide Rise, The Tide Fall). Memang laut sangat puitik dimana dipertemukannya dua dunia pada pantai-pantai. Dan tekanan atau `teror' yang terkuat saya dapati pada baris dimana `gelombang' yang berturut-turut dan intens sekali frekwensinya, seakan memberikan gambaran yang memperkuat rangkaian, gulungan, riak-riak yang bagi saya –mungkin ini berlebihan- efeknya seakan sanggup mengguncang –guncang, saat kita didalam perahu atau di bibir pantai.
Dan sekali lagi pada akhirnya sebuah usaha apresiasi sepertinya harus sampai pada pemaknaan, di mana hal ini sebenarnya coba saya hindari. Bagi saya panorama yang disuguhkan oleh puisi ini malah hendak mengalahkan keinginan saya untuk merebut makna terdalamnya. Karena terus terang saya lebih terbius pada keseimbangan dan konsistensi puisi ini pada tradisi puitik daripada harus merebut maknanya. Di mana
saya bisa tersesat jalan kepada labirin subyektifisme saya yang sangat personal. It's a crystal clear.
Namun bila hal ini tidak terlalu mengusik, maka meski beresiko tinggi untuk menyesatkan, saya akan coba merefleksikan sedikit dan singkat saja hasil perenungan personal saya terhadap puisi ini yang saya dapati pada resolusi diakhir puisi maupun judul: Sebuah aksi ritual ungkapan cinta antara si aku liris dengan seseorang atau sesuatu dimana terjadi suatu penyatuan dan kerjasama yang sangat mendalam.
     Bibirku bersujud di bibirmu, lalu kita lafazkan zikir pasir.
     Bibirku bersujud di bibirmu, hampar mulut yang pesisir.
     Bibirku bersujud di bibirmu, pagut sebutir pungut sebutir.
Demikian adanya sedikit yang bisa saya ungkapkan dari refleksi subyektif pembacaan terhadap puisi yang akan dibacakan oleh Bung Hasan ini. Barangkali apresiasi ini lebih lengkap bila dikuti dengan menyimak pembacaannya oleh empunya puisi pada tanggal 29-Januari mendatang di TIM.***
* Tulisan ini diposting di milis apresiasi-sastra dan penyair.
Monday, January 2, 2006
[Ruang Renung 129] Menciptakan Kata
PENYAIR adalah seorang pencinta dan pencipta bahasa. Pencipta kalimat, frasa dan juga kata. Kau harus percaya. Kau bacakah Majalah Tempo edisi khusus 365 setelah tsunami di Aceh? Liputan itu jadi memikat juga karena dimulai dengan satu dua frasa yang dikutip dari penyair besar Chairil Anwar. Dikutip bait sajak ... Kita guyah lemah, sekali tetak tentu rebah . Dikutip juga bait sajak.. kita berkaca, bukan untuk pesta. Ya, majalah itu adalah majalah yang sangat akrab puisi. Bukan sekali itu, Tempo mengutip puisi, bukan cuma Chairil yang dikutip Tempo. Mungkin karena pendirinya adalah seorang Goenawan Mohamad yang juga penyair itu.
Itulah yang saya maksud mencipta bahasa. Bait-bait puisi kita, kelak dipakai untuk keperluan bahasa yang pasti berbeda dengan maksud kita ketika kita menuliskan puisi itu. Tapi kalimat itu syah milik kita. Itu juga menjadi ukuran keberhasilan puisi kita. Kita telah menciptakan kalimat, orang lain mengakui itu sebagai buah cipta kita.
Dalam perjalanan mencipta puisi, kita juga boleh mencipta kata dan frasa. Frasa pangkal akanan, kata Sutardji, adalah frasa yang diciptakan oleh Chairil. Kita mengerti apa maksudnya, kita mengakui si penyairlah yang menemukan bahkan menciptakan frasa itu. Lain tak, yang mengaku-ngaku tentu kita tolak.
Cobalah lacak ke sajak-sajak besar. Cobalah kau mengacapembesari bait-bait puisi para penyair yang sudah menjadi. Kau akan temukan kata-kata yang baru, yang segar. Atau kata-kata usang yang berhasil disegarkan lagi. Itulah tugas kita menyair salah satunya. Mencipta bahasa.
Itulah yang saya maksud mencipta bahasa. Bait-bait puisi kita, kelak dipakai untuk keperluan bahasa yang pasti berbeda dengan maksud kita ketika kita menuliskan puisi itu. Tapi kalimat itu syah milik kita. Itu juga menjadi ukuran keberhasilan puisi kita. Kita telah menciptakan kalimat, orang lain mengakui itu sebagai buah cipta kita.
Dalam perjalanan mencipta puisi, kita juga boleh mencipta kata dan frasa. Frasa pangkal akanan, kata Sutardji, adalah frasa yang diciptakan oleh Chairil. Kita mengerti apa maksudnya, kita mengakui si penyairlah yang menemukan bahkan menciptakan frasa itu. Lain tak, yang mengaku-ngaku tentu kita tolak.
Cobalah lacak ke sajak-sajak besar. Cobalah kau mengacapembesari bait-bait puisi para penyair yang sudah menjadi. Kau akan temukan kata-kata yang baru, yang segar. Atau kata-kata usang yang berhasil disegarkan lagi. Itulah tugas kita menyair salah satunya. Mencipta bahasa.
Bibirku Bersujud di Bibirmu
Wahai, pelayar malam, tiga kapal karam, masam dendam
apa lagi yang kau pendam, sebelum semuanya tenggelam?
Kita pun kehilangan ombak, pasir dan berabad rakaat,
terlelap dalam perangkap, sekejap malam yang cacat.
Tanpa sujud, bagaimana menyebut ini sebuah tahajud.
Aduhai laut yang mengenal semua kapal, kau tahukah?
Pada separuh luruh usia tubuh, ada sepertiga subuh
yang tak pernah hendak menunggu jangkarmu berlabuh.
Dan pada lipatan pantai sajadah yang tak lagi basah
Tajam musimmu makin meranjau: aku kian kemarau
Aku masih sabar menunggu, kau kirim tanda zikir-zikir,
Semakin mendekat gemetar bibir, pada persujudan pasir,
rukuk musafir, sampai mengerti isyarat ombak terakhir.
Kau bertanya: hauskah?
             - Aku jawab: ya, beri aku air
Kau bertanya: haruskah?
             - Aku minta: atau sebaiknya kau usir
Siapa yang menangis di dermaga? Siapa menghangatkan
laut dengan airmata? Siapa yang melambai di atas palka?
Siapa yang menghentak kaki berlari ke surut samudera?
Siapa mengarak riak jadi mahagelombang maharaksasa?
Aku semakin tak sanggup. Dengar. Dendang itu semakin sayup:
kenapa harus gelombang,
          gelombang,
                   gelombang,
                            gelombang,
                   gelombang,
          gelombang,
kenapa harus gelombang,
          gelombang,
                   gelombang,
                            gelombang,
                   gelombang,
          gelombang,
kenapa harus gelombang.
Bibirku bersujud di bibirmu, lalu kita lafazkan zikir pasir.
Bibirku bersujud di bibirmu, hampar mulut yang pesisir.
Bibirku bersujud di bibirmu, pagut sebutir pungut sebutir.
* Puisi ini akan saya bacakan 29 Januari 2006 di Taman Ismail Marzuki.
apa lagi yang kau pendam, sebelum semuanya tenggelam?
Kita pun kehilangan ombak, pasir dan berabad rakaat,
terlelap dalam perangkap, sekejap malam yang cacat.
Tanpa sujud, bagaimana menyebut ini sebuah tahajud.
Aduhai laut yang mengenal semua kapal, kau tahukah?
Pada separuh luruh usia tubuh, ada sepertiga subuh
yang tak pernah hendak menunggu jangkarmu berlabuh.
Dan pada lipatan pantai sajadah yang tak lagi basah
Tajam musimmu makin meranjau: aku kian kemarau
Aku masih sabar menunggu, kau kirim tanda zikir-zikir,
Semakin mendekat gemetar bibir, pada persujudan pasir,
rukuk musafir, sampai mengerti isyarat ombak terakhir.
Kau bertanya: hauskah?
             - Aku jawab: ya, beri aku air
Kau bertanya: haruskah?
             - Aku minta: atau sebaiknya kau usir
Siapa yang menangis di dermaga? Siapa menghangatkan
laut dengan airmata? Siapa yang melambai di atas palka?
Siapa yang menghentak kaki berlari ke surut samudera?
Siapa mengarak riak jadi mahagelombang maharaksasa?
Aku semakin tak sanggup. Dengar. Dendang itu semakin sayup:
kenapa harus gelombang,
          gelombang,
                   gelombang,
                            gelombang,
                   gelombang,
          gelombang,
kenapa harus gelombang,
          gelombang,
                   gelombang,
                            gelombang,
                   gelombang,
          gelombang,
kenapa harus gelombang.
Bibirku bersujud di bibirmu, lalu kita lafazkan zikir pasir.
Bibirku bersujud di bibirmu, hampar mulut yang pesisir.
Bibirku bersujud di bibirmu, pagut sebutir pungut sebutir.
* Puisi ini akan saya bacakan 29 Januari 2006 di Taman Ismail Marzuki.
[KUTIPAN] Bukan Sekadar Puitis
SAYA tak bisa menerima dokrin yang menyebutkan bahwa pada puisi ada bagian yang "boleh tidak bisa dipercaya". Seorang penyair mestinya tak pernah membuat pernyataan yang sederhana hanya karena terdengar puitis dan menarik; penyair juga harus percaya bahwa pernyataan puisinya itu benar.
* W.H. (Wystan Hugh) Auden (1907–1973), penyair Amerika-Inggris.
* W.H. (Wystan Hugh) Auden (1907–1973), penyair Amerika-Inggris.
Sunday, January 1, 2006
[KUTIPAN] Puisi Mencegah Gempa
SAYA sama sekali tidak menempatkan peringkat puisi pada skala intelegensi yang tinggi - ini mungkin tampak seperti semacam rayuan tapi berikut ini adalah opini saya yang sebenar-benarnya. Puisi adalah lava imajinasi yang letusannya mencegah terjadinya gempa bumi.
* George Gordon Noel Byron (1788–1824), penyair Inggris.
* George Gordon Noel Byron (1788–1824), penyair Inggris.
[KUTIPAN] Filsafat dan Puisi
KAU ingin memusnahkan filsafat dan puisi agar tercipta ruang untuk agama dan moralitas yang telah kau salahmengertikan: tapi sesungguhnya kamu hanya mampu memusnahkan dirimu sendiri.
* Friedrich Von Schlegel (1772–1829), German philosopher.
* Friedrich Von Schlegel (1772–1829), German philosopher.
Subscribe to:
Posts (Atom)