/1/
     "AKU turun di simpangan terakhir, nanti."
Mungkin saat itu telah ada senja. Kalau hujan,
ah, alangkah lengkapnya.
     Menghabiskan perjalanan dengan sekian
bait puisi. Untuk sekedar ia baca sendiri. Ada
penginapan tua. Kamar tanpa jendela. Dia tak
ingin sembunyi. Dia lelaki dengan hangat
secangkir kopi.
     Gambar di jendela, dikenangnya sebagai
sketsa, warna tua sepia. Anak-anak berlarian,
bermain bendera. Para pekerja merapikan dasi,
blazer dan rok tersetrika rapi di laundry. Masih
ada, bau asap bom rakitan. Juga noktah darah
di dinding kereta. Ulu senapan dan prajurit yang
lelah, minta diletakkan saja. "Selamat ulang tahun..."
tak bisa lagi ia teriakkan. Kecuali lirih bisikan.
/2/
     STASIUN itu tak ada. Tak punya nama. Tentu
tak ada pula dalam peta, bekal dalam ranselnya.
Tapi, ini kereta satu-satunya. Perjalanan satu-satunya.
Riuh napas, langkah gegas, segala dalam rentak mars.
     "Anda baik-baik saja, Tuan?" tanya perempuan muda,
sejak tadi tak habis dikucupinya eskrim merah muda.
Lalu menawarkan diri sebagai teman perjalanan.
     "Ini cuma sentimentalia revolusia..."
     "Namaku, perlukah kusebutkan?"
     Toh, mereka nanti berpisah tanpa lambai tangan.
     "Kelak kau malah ingin namamu jauh kau
sembunyikan ke dalam bagian kenangan yang
harus dilupakan..."
     "Tuan, apa pendapatmu tentang Indonesia?"
     Pertanyaan itu tak dikutipnya dari tayangan
berita stasiun televisi swasta, siaran langsung
yang tak ada habisnya, Aceh hingga Papua.
     "Karena masih ada yang bertanya. Aku tetap
punya alasan untuk terus bersorak bergembira."
/3/
     KERETA itu terasa mempercepat laju. Angin
di luar terdengar seperti doa. Juga aba-aba. Lelaki
tua menjaga hangat secangkir kopinya dan
perempuan muda eskrim merah muda, masih ingin
bicara tentang negeri berusia 60 tahun, lebih lama.