PADA Januari 2002, penyair D Zawawi Imron diundang membaca puisi dalam festival Winternachten, festival internasional sastra dan seni musim dingin yang berpusat di Den Haag. Selama mengikut festival itu dia pun berkeliling ke kota-kota lain di Belanda, Tilburg, Leiden, dan Amserdam. Yang patut diteladani dari penyair yang tetap tinggal di Batang-batang - kampung kelahirannya - adalah selama tiga belas hari di sana dia menulis tiga puluh puisi. Lalu sepulang dari festival itupun dia terus menulis puisi yang katanya tak mungkin lahir kalau dia tidak berkunjung ke Belanda.
PUISI-PUISI itu (102 jumlahnya) dapat kita baca dalam satu buku Refrain di Sudut Dam (Bentang, Yogyakarta, 2003). "Menulis sajak-sajak tentang Negeri Belanda saya tidak bermaksud untuk jadi Belanda. Bahkan, saya tak ingin menjadi orang lain yang bukan diri saya," tulis sang penyair dalam pengantar buku dan tentu saja pengantar puisi-puisi dalam buku itu.
KARENA ia bertolak ke Belanda dibiayai orang lain, maka kunjungan itu tidak boleh sia-sia, ujarnya. Harus ada pengalaman yang bermakna. "Yang antara lain ialah dengan menulis. Mengabadikan kesaksian-kesaksian," lanjutnya.
DEMIKIANLAH, pada dasarnya hidup memang perjalanan-perjalanan yang sambung-menyambung, yang tak henti-hentinya. Menulis puisi adalah mengabadikan kesaksian-kesaksian - dan kesia-siaan - di sepanjang perjalanan tersebut. Tetapi, hidup juga perjalanan yang dirudung ragu. Bagi kita yang hendak menulis puisi, ragu itupun bagian dari perjalanan hidup yang harus diberi kesaksian. "Di Den Haag,...saya agak ragu, apa mungkin saya bisa membuat puisi tentang kehidupan Negeri Belanda. Tetapi kadang-kadang saya tidak bisa membendung bayang-bayang ilham dan kata-kata yang menyerbu hati dan angan-angan," ujar Zawawi.
KARENA itu ia pun menulis, tersendat, dan terus menulis. Mungkin begitulah yang harus kita lakukan juga. Begitu banyak kesaksian-kesaksian yang harus kita berikan. Ini bukan sok hebat. Tidak ada yang memaksa kita untuk menulis puisi, bukan? Artinya, kalau kita tidak ingin menulis puisi sebagai bentuk kesaksian itu, ya juga tidak apa-apa. Tetapi, kalau kita memilih puisi, maka kita harus bertanggung jawab padanya. Apalagi kalau kita diserbu kata-kata, dan bayang-bayang ilham. Keterlaluan kalau kita tidak melayani serbuan itu.[hah]