Monday, September 20, 2004

[Ruang Renung # 87] Menyimak Pinurbo Terbatuk-batuk

Batuk

Sajak Joko Pinurbo



Batuk, beri aku letusan-letusan lembutmu

untuk menggempur limbah waktu

yang membatu di rongga dadaku.



(2004)



SAJAK "Batuk" ini saya temukan di buku terbaru penyair Joko Pinurbo "Kekasihku" (Gramedia, 2004). Karlina Supeli, dosen di Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara yang ditodong memberi pengantar pada buku itu menyebut bagi Joko tampaknya tak ada peristiwa atau benda yang seakan tidak mengandung makna. Pengalaman sederhana membentangkan lipatannya. Ia mencontohkah sajak "Batuk" ini.



KENAPA "Batuk"? Baiklah kita belajar membuka lipatan pada sajak tiga baris itu. Batuk oleh sang penyair diorangkan. Tugas penyair - jika menurut kredo Sutardji - membebaskan kata dari belenggu makna ditunaikan dengan baik oleh Pinurbo. Lihat saja, "batuk" tak lagi terbelenggu pada pengertian sebagai sebuah gangguan tenggorokan. Ia telah menjelma jadi sesuatu atau seseorang. Kepada siapa penyair meminta letusan-letusan lembutnya. "Beri aku...." kata sang penyair. Letusan yang diminta tentu bukan lagi sebuah kejutan sebagaimana letusan yang tidak diminta. Letusan lembut? Ah, betapa kata telah diolah lagi sedemikian intensifnya.



UNTUK apa? "Menggempur limbah waktu..." Ya, batuk jika dikembalikan ke penjara makna umumnya, adalah penyakit. Penanda orang telah jadi tua. Sakit dan tua adalah penanda maut yang semakin dekat. Akhirnya semuanya berujung pada hakikat waktu. Tapi, hakikat itu pula yang paling sering kita lupa. Itulah yang perlu digempur, digedor, diingatkan. Karena keasyikan pada hidup yang menghanyutkan kadang-kadang membuat manusia lupa. Ingatan yang membeku "....membatu di rongga dada."



ITULAH yang oleh penyair mesti diingatkan lagi. Setidaknya untuk dirinya sendiri. Digempur dengan letusan-letusan lembut Sang Batuk.[hah]