Friday, September 24, 2004

[Ruang Renung # 89] Memberi Ruh Kepada Puisi

Taman Jepang, Honolulu

Sajak Sapardi Djoko Damono



inikah ketentraman? Sebuah hutan kecil:

jalan setapak yang berbelit, matahari

yang berteduh di bawah bunga-bunga, ricik air

yang membuat setiap jawaban tertunda




MARI kita rasakan kehadiran "roh" dalam puisi di atas. Penyair tidak lagi berbicara atas nama dirinya. Dia tidak sekadar melukis sebuah pemandangan. Dia juga tidak lagi bicara soal ketakjubannya sendiri ketika melihat sebuah pemandangan yang menentramkan. Sebuah hutan kecil, matahari, ricik air. Penyair memulainya dengan pertanyaan: inikah ketentraman? Bertanya berarti mencari jawaban. Bertanya berarti tidak yakin dengan apa yang sedang hendak disimpulkan.



Sebagai pembaca kita tentu bernafsu untuk mencari jawab atas pertanyaan itu. Kita pun terus membaca. Lalu, hei, sepertinya penyair memang menyiapkan jawaban dengan menyusun sejumlah imaji yang utuh: sebuah hutan kecil. Jalan kecil yang berbelit. Dan yang paling indah adalah frasa "matahari yang berteduh di bawah bunga-bunga". Saya kira frasa ini hanya bisa tercipta dengan ketajaman intuisi penyair, dan keberhasilan membebaskan imajinasi. Lalu hadir ricik air. Yang membuat setiap jawaban tertunda. Inilah frasa akhir yang membuat puisinya lengkap, sempurna. Ada jata setiap, artinya ada banyak jawaban. Tapi tak penting lagi apakah jawaban itu ya atau tidak, benar atau salah. Semua tertunda. Kita diminta untuk larut saja dalam imaji indah yang sederhana yang disusun penyair untuk menjawab, "inikah ketentraman?" Tak ada jawaban. Dan itulah jawaban.



Ada kekuatan imajis dalam puisi. Ada daya bahasa yang bisa membuat kita bercerita banyak, memaknai banyak pada sebuah puisi. Tak peduli panjangkah atau pendekkah ia. Kekuatan itulah mungkin yang menjadi ruh dalam puisi. Yang membuat puisi bukan sekadar tipu daya atau keterampilan penyair yang bermaksud menyampaikan A tapi bilangnya B, sambil memberitahu pembaca bahwa dia memang hendak bilang A. Ruh itu juga tidak hadir dalam puisi yang hanya berisi jejalan petuah basi, nasihat lapuk, pesan moral klise, atau ajakan posterik untuk memberontak.[hah]