DALAM sebuah bait, kita menempatkan kata-kata kunci pada posisi yang paling maksimal menyumbangkan makna pada bangunan kalimat.
Kata-kata kunci itu harus dipilih sedemikian rupa sehingga jarak makna antarmereka tidak terlalu jauh, tapi juga tidak terlalu dekat sehingga tak berjarak sama sekali.
Makan nasi, misalnya, ini sama sekali tak berjarak. Makan hati? Sudah berjarak, dan dia sudah menjadi idiom yang tak mengejutkan lagi. Cobalah makan rindu. Atau makan makam? Makan kata? Bisa apa saja, tergantung dari hal apa yang ingin kita ucapkan dalam sajak.
Itu namanya memaksimalkan diksi. Itu yang bikin menulis puisi tidak pernah berhenti menawarkan kewasyikan. []