Sunday, April 2, 2006

[Ruang Renung # 138] Aku Ingin Mencebur

Anwar Jimpe Rahman kirim sajak padaku: KOLAM DI TEPI SAJAK. Judulnya saja menunjukkan bahwa si penyair ada pengolah bahasa. Pengolahannya memang sepele. Ia mungkin hanya membalik kalimat 'sajak di tepi kolam'. Tapi hasilnya luar biasa. Saya yang memang suka berenang dalam sajak jadi tergoda untuk menceburkan diri ke dalam puisinya itu.

KOLAM DI TEPI SAJAK


ini kali kita bertemu di tepi kolam, setelah sebulan
membakar tumpukan kertas. engkau bilang
wadah bekas untuk sepotong sajak.
sedang aku; demi sebuah naskah lawak.



Maka, terceburlah saya. Basah sejak bait pertama. Ini kali, sudah cukup untuk menggambarkan bahwa aku dan engkau terikat pada sebuah hubungan, setidaknya pada sebuah pernah. Pernah bertemu, pernah berjanji, pernah berkawan. Keduanya aku dan engkau adalah orang yang sibuk. Mereka pekerja tetap, yang dapat gaji bulan-bulan. Isyarat kerja tetap itu bisa pula saya tangkap dari pemakaian kata kertas - metafor yang nyaman untuk budaya kerja mutakhir itu. Aku saya duga sedang memendam semacam ketidakpuasan. Ada ironi yang manis di situ. Engkau bilang kertas yang ia bakar adalah bekas untuk sepotong sajak. Sementara aku mengenang kertas itu sebagai sebuah naskah lawak. Saya kira bait ini pun tak dibuat dengan mudah. Karena penyair memakai kata demi yang membuatnya lolos dari predikat bait yang biasa. Ini bait meamng istimewa jadinya.


pegal rasanya, ujarmu, dikepung kata.
memang ada huruf yang tertinggal
di baju hitammu.
tapi segera kujentik dari pundakmu.


Aku sedang jenuh dengan kata. Tapi ketika duduk berdua dengan engkau, aku masih bersedia mendengar keluh. Mungkin karena itu keluhnya juga. Pegal dikepung kata. Bagaimana meyakinkah keluh itu? Si Penyair cukup menunjukkan huruf yang tertinggal di baju dan segera dijentik oleh si aku. Kenapa engkau ditampilkan dengan baju hitam? Imajinya yang dibangun pun semakin lengkap, semakin muram.

huruf-huruf jatuh ke kolam
membentuk hujan lingkaran
direbuti ikan


Huruf yang dijentik di bait tadi ternyata jatuh ke kolam. Plung! Sejauh ini, penyair berhasil membangun keutuhan tingkat tinggi. Huruf tanda letih, tanda kata yang mengepung aku dan engkau huruf yang berceceran ke baju, itu tak sia-sia. Di kolam ia diperebutkan ikan.

engkau tertawa sebab malu. di pipimu ada awan senja
yang datang dari ufuk sebuah sajak.
kubalas senyum terkulum, seperti anak yang disergap seribu keliru.


Ibarat meniup sebuah balon panjang, gelembung pertama tiupan tadi ada di bait ini. Ini adegan yang dipersiapkan dengan manis. Engkau tertawa. Tapi apa yang membuatnya malu? Ini adalah sajak close up. Aku melihat di pipi engkau ada awan senja yang datang dari ufuk sebuah sajak. Awan senja? Sesuatu yang tak disadari telah ada? Yang datang dari ufuk sebuah sajak? Aku menyadarkan itu. Engkau malu. Malu yang cukup ia tertawakan saja.


tapi sebelum lambai disentak
sebelum engkau berdetak
sebelum aku merambat
kita mesti bertukar sajak
tentang pertemuan di sebuah kemudian; di sebuah ahad
sebelum lupa membuat kita lengkap


[2005-2006]


Penyair memilih menutup sajak ini dengan bait yang datar, dengan ancaman kesibukan yang mengerkah leher baju. Tentang sajak, sesuatu yang sebenarnya mempertemukan aku dan engkau secara rutin, di sebuah ahad. Penyair memilih menutup sajak ini dengan kesadaran bahwa akan ada lupa yang membuat mereka lengkap. Ibarat minum kopi yang diakhiri dengan tegukan air putih. Hambar memang, tapi toh air putih itu harus disajikan sebagai pelengkap. Agar rasa kopi hilang di lidah tapi manisnya dan pahitnya tetap ada dalam kenangan. Dalam ingatan.