Kata Usang Masih Terbuka
untuk Dibikin Hidup Kembali
Seraya mengucapkan terima kasih kepada mereka yang telah sudi membaca sajak-sajakku, akusempatkan menulis sedikit catatan.
Mengenai puisi "Laki-laki tanpa Celana" (LTC) yang diperbincangkan oleh rekan penyair Hasan Aspahani, perlu saya katakan dulu bahwa ada salah cetak dalam penayangan puisi tersebut dalam antologi "Telepon Genggam." Salah satunya, kutipan (paragraf pertama) puisi Sapardi, "Pada Suatu Pagi Hari" (PSPH), seharusnya dicetak miring semua. Salah cetak bisa dianggap mengganggu, bisa tidak. Bisa dianggap remeh, bisa tidak. Bisa diabaikan, bisa tidak. Tergantung kadarnya. Namun buat orang sesensitif saya, salah cetak tetaplah salah cetak: ia telah menimbulkan perasaan tidak enak. Itulah sebabnya, diperlukan kerja sama yang baik antara penerbit dan pengarang. Sungguh malang nasibmu, pengarang, jika bukumu tidak sempat dicetak ulang entahkarena tidak laku, entah karena apa. Dengan demikian, karya berhiaskan salah cetak yang nampang dalam bukumu akan dianggap sebagai versi yang benar.
Lalu mengapa muncul sajak Sapardi dalam LTC? PSPH adalah salah satu sajakyang sering saya baca ulang dan yang sangat menimbulkan rasa penasaran dalam diri saya sebagai seorang pembaca. Padahal isinya "cuma" lukisan suasana ngelangut dan nelangsa. "Kejahatannya" menorehkan perasaan ngelangut dan nelangsa saja sebenarnya sudah merupakan hadiah yang indah buat saya dan sesungguhnya saya tidak perlu menuntut sesuatu yang lebih dari itu.
Namun torehan luka itu ternyata berbuntut panjang. Saya terhantui oleh nganga sunyi yang saya temukan di tengah PSPH. Tidak ada penjelasan apa pun mengenai ia yang ingin sekali menangis dan mengapa pula ia ingin menangis. Apa boleh buat, nganga sunyi itu selanjutnya menjadi nganga sunyi saya sendiri.
Tersedot ke dalam nganga sunyi itu, terbayanglah tiga sajak Sapardi (yangoleh A. Teeuw disebut sebagai tritunggal tentang waktu : "Saat SebelumBerangkat", "Berjalan di Belakang Jenazah", dan "Sehabis Mengantar Jenazah"(lihat kumpulan puisi pertama Sapardi, dukaMu abadi). Pada saat yang samasaya teringat sebuah tulisan yang mengatakan bahwa "dukaMu abadi" merupakansemacam "nyanyi sunyi" sehabis terjadinya tragedi berdarah G 30 S/PKI yangdiikuti dengan pembantaian begitu banyak orang tak bersalah. Singkat cerita, saya kemudian mencoba mereka-reka (dengan "mengada-ada" tentu) sebuah cerita untuk mengisi nganga sunyi tadi. Maka lahirlah LTC.
Dengan kata lain, LTC bolehlah dianggap sebagai teks ciptaan seorang pembaca yang kejeblos dalam nganga sunyi PSPH. (NB: Saya lebih senang jika cerita tentang proses lahirnya LTC ini diabaikan saja dalam proses pembacaan puisi saya.)
Sebenarnya masih ada satu soal yang menggoda: mengapa ia (tokoh dalam PSPH) ingin menangis lirih saja. Si "lirih" ini sungguh ambigu, namun agar tidak menyita waktu Anda tak perlulah saya berceloteh tentangnya. Saya tambahkan satu hal saja: diam-diam saya "mengakali" gaya bercerita Budi Darma ketika menulis LTC. Mungkin SDD dan BD "sakit hati" dengan saya. Biar saja. Toh "ilmu menulis" mereka kelewat besar untuk hanya "diakali".
Terinspirasi oleh karya dan teknik menulis pengarang lain adalah hal yang wajar-wajar saja sejauh masih sanggup berbuat sesuatu yang lain atas usaha sendiri. Bisa jadi pencapaian karakteristik seorang penyair atau pengarangterjadi secara evolutif. Mula-mula mungkin terpukau pada karya orang lain, lalu jatuh cinta, lalu tergila-gila, lalu "benci" sehingga terdorong untuk mengeksplorasi celah-celah yang masih bisa dirambah dan dijelajahi dengan cara sendiri, syukur-syukur bisa menciptakan keunikan tersendiri.
Dalam berlatih menulis puisi, salah satu hal yang paling mengasyikkan bagi saya justru ketika harus berhadapan dengan kata-kata yang sudah klise, kata-kata atau imaji-imaji yang mungkin sudah banyak digunakan penyair-penyair lain, bahkan kata-kata yang dalam kehidupan sehari-hari pun sudah terasa apak dan mandul. Sebuah kata yang sudah usang masih terbuka untuk dibikin hidup kembali, segar kembali dengan visi yang lain, perspektif yang lain, spirit yang lain, atau kejutan ide yang lain. Sebuah kata atau sebuah imaji dapat saja dipakai oleh beberapa penyair dan masing-masing penyair dapat menjadikannya unik dan segar dalam versi yang berbeda-beda. Saya ambil contoh imaji "alis". Setidaknya saya temukan tiga "alis" yang indah dari tiga penyair. Sitor Situmorang: "Kujelajahi bumi dan aliskekasih", "Berita erjalanan" (1953 ?) Acep Zamzam Noor: "Di lengkung alismatamu sawah-sawah menguning" (Cipasung 1989). Goenawan Mohamad: "Di alismu langit berkabung" ("Untuk Frida Kahlo" 1993-1994). Tiga alis, tiga pukau,tiga unikum.
Oh ya, beberapa tahun lalu saya sempat bertemu dan ngobrol dengan Ignas Kleden. Salah satu obrolannya yang menarik dan yang masih saya ingat adalah ketika dia menunjukkan kemiripan antara baris-baris puisi Goenawan Mohamad dengan baris-baris puisi Emily Dickinson (saya lupa puisinya). Ignas melihat kemiripan tersebut dalam konteks "kekerabatan imajinasi" bukan terutama dalam soal tiru-meniru. Saya lupa persisnya istilah yang ia gunakan, tapi jelas ia menyebut kata "kekerabatan". Malah ia menyebut istilah "gen" segala.
Semogalah catatan kecil ini dapat sekalian menjadi tambahan "penjelasan"buat rekan penyair Hasan Aspahani yang pertanyaan-pertanyaannya tempo hari saya jawab ala kadarnya (maklum lewat sms).
- Joko Pinurbo -