Sepi: Oh, ternyata amat tak mudah, mengarti-artikan kata ini.
       Aku mungkin perlu menyayat dua-dua telinga hingga menuli,
       Aku barangkali harus busukkan dua-dua mata hingga membuta.
       Dan engkau hanya buka halaman kamus, menunjuk namaku
       yang sudah kau hapus. "Beginikah kelak padamu kata ini
       memaknai diri sendiri, menerjemah ke panjang hari-hari."
Jauh: Aku pun sejak itu tak bisa berhenti, terus saja pergi,
       singgah menginap di istana tua, mampir minum kopi
       di kedai senja. "Lihat ada rumput liar tumbuh di ujung
       celana, Tuan." Kata perempuan, merayu, agar aku
       lebih lama bertahan. Di tubuh yang ia tawarkan. "Aku,
       harus terus berjalan, maaf. Aku belum bisa melemakan,
       sebuah kata di kamus, yang maknanya ingin kubuktikan.
Jarak: Pal batas kota, makin menua, bagai totem-totem purba.
       Rambu-rambu melarah berkarat: angka kilometer tak larat
       mengukur berapa tebal lembaran kamus memisah kau
       di halaman pertama dan aku yang telah hilang masih juga
       bertahan dalam kata yang tak kau suka, di ribuan halaman lain
       sesudahnya. Aku semakin tahu. "Huruf awal kita memang beda."
Hilang: Dan lengkapkah ensiklopedi perjalanan? Aku menyusun
       ribuan entah-entah. Menjilidkan sebuah kitab pertanyaan.
       Hampir menemukan jawaban, lalu datang pak pos tua,
       mengelu-elu kabar yang tak mau kutahu. "Telah kubakar
       seluruh lembar, kamus yang setiap katanya adalah kisahmu
       tentang aku, tiap hurufnya adalah jejakmu atas jejakku, tiap
       contoh kalimatnya adalah jawabmu setiap kali kutanya."