KALAU bahasa hendak digunakan untuk mendukung budaya literasi tinggi, demikian sarjana retoris Richard Lanham berhujah, maka bahasa itu sendiri mesti dibuat dari bagian-bagian yang sederhana. Karena itu, karakter-karakter yang menjadi batu penyusun bangunan bahasa mesti mudah dimengerti dan tampil sebagai kaligrafi yang sederhana. Contoh, ketika membaca buku, orang seringkali abai untuk memperhatikan tanda-tanda tinta di kertas. Orang lebih banyak peduli pada gagasan yang ada di bawah permukaan kata-kata.
FILOSOFI tipografikal ini - kesederhanaan, kejernihan, transparansi - telah mendominasi budaya cetak sejak penemuan mesin cetak, ujar Lanham. Tapi abad ke-20 melahirkan sejumlah gerakan senirupa dan puisi yang mempertanyakan filosofi ini, pemakaian tipografi itu sendiri sebagai medium pemaknaan, mencegah orang melihat "melalui" kata-kata dan memaksa pembaca melihat "pada" kata-kata itu.
FUTURIS Italia, contohnya, yang dihela oleh manifesto FT Marinetti 1909, mulai menolak ekspresi tradisional seni dan sastra sebagai "pakaian bekas". Di antara berbagai targetnya adalah buku itu sendiri, yang oleh Marinetti di sebut "apak" dan "sesak", sebuah simbol lama yang oleh para Futuris dilawan dengan karya-karyanya. "Pada budaya literasi," Lanham menulis di The Electronic Word, "konsep pemaknaan kami sendiri ... tergantung pada aksi radikal penyederhanaan tipografikal ini. Tak ada gambar; tak ada warna, urutannya ketat dari kiri ke kanan lalu turun satu baris; tak ada perubahan huruf; tak ada interaksi; tak ada revisi. Dengan konvensi ini, Marinetti melabrak seluruh konsep literasi kemanusiaan". Marinetti mulai bereksperimen dengan tipografi yang tidak biasa, mencipta puisi yang simultan secara tektual dan visual, seperti karyanya yang terbit tahun 1909 "SCRABrrRrraaNNG."
PADA waktu yang nyaris bersamaan, Dada memperoleh kekuatan sebagai gerakan seni di Eropa. Gerakan ini juga memberontak terhadap bentuk-bentuk seni tradisional. Dadais berkonsentrasi pada spontanitas, penulisan otomatis, dan operasi kemungkinan. Kolase menjadi elemen penting baik dalam senirupa maupun puisi, sebagaimana dilakukan dengan tipografi. Dadais Tristan Tzara mendesak penyair untuk menggunting kata-kata dalam kolom surat kabar, sementara seniman Kurt Schwitters merancang puisi dengan huruf-huruf antropomorfis - karakter huruf "B" dengan kaki dan lengan, contohnya. Dadais juga tertarik dengan puisi yang sementara dan bisa dihapus, misalnya puisi yang ditulis di pasir atau papantulis.
KETERTARIKAN puitik kepada tipografi kembali marak pada tahun-tahun 1950-an dan 1960-an dalam bentuk puisi konkret. Puisi-puisi ini menyusun bentuk-bentuk tertentu yang hanya bisa tampak ketika dilihat di halaman buku. Poet Reinhard Döhl, contohnya, menulis puisi konkret dalam bentuk apel yang disusun semuany dari kata "apple" dan tiba-tiba saja ada satu kata "worm" di antaranya. .
Eugen Gomringer pada 1954 menulis puisi "Schweigen," yang terdiri dari pengulangan (iteration) kata "schweigen," sebuah kosakata Jerman yang berkaitan dengan kesunyian, kata-kata itu mengelili sebuah ruang kosong - ruang sunyi di tengah baris ketiga:
schweigen schweigen schweigen
schweigen schweigen schweigen
schweigen                   schweigen
schweigen schweigen schweigen
schweigen schweigen schweigen
RUANG sunyi di baris ketiga adalah bagian penting dari puisi itu, tulis kritikus Roberto Simanowski dalam esai "Concrete Poetry in Digital Media," karena, "langsung mengucapkan, bahwa kesunyian hanya bisa diwujudkan dengan ketidakhadiran kata-kata lain."
PUISI konkret meneruskan eksperimen tipografik yang dimulai oleh para Futurs, menuntut pembaca puisi melihat serentak "pada" dan "melalui" bahasa. Dan, tulis Simanowski, "puisi konkret berususan dengan hubungan antara bentuk yang tampak dan substansi intelektual dari kata-kata. Dia tampak .. karena ia menambah gestur optis dari kata kepada makna semantiknya."
* Diterjemahkan dari Looking At and Looking Through: Futurism, Dada, and Concrete Poetry