TERNYATA saya bisa juga tunak menggarap buku Menapak ke Puncak Sajak ini. Ada ide tambahan untuk subjudul: Jangan Menulis Puisi Sebelum Baca Buku Ini!
INI bab (atau ada istilah lain?) yang paling menarik saya sendiri. Sudah 12 bab yang selesai. Ini bocorannya:
12. Lalu Apakah Sajak?
122. Tukar pikiran denganmu begini ini, memang asyik. Sampai lupa, ada satu pertanyaan yang dari tadi ada di ujung lidah saya. Pertanyaan yang mestinya saya ajukan sejak awal pembicaraan kita. Apa sebenarnya puisi atau sajak atau syair itu?
Apa perlunya itu kamu tanyakan?
123. Nah, ini jawaban yang paling tidak saya harapkan..
Saya bukannya ingin menjawab berbelit-belit. Saya benar-benar ingin tahu apa perlunya kamu mengetahui apa pengertian puisi, sajak, syair. Apakah itu bisa membantu membuatmu lebih asyik menikmati puisi?
124. Ya, katanya kan tak kenal maka tak sayang…
Saya tidak akan pernah memberi kamu definisi puisi itu apa. Saya bukan mahaguru dan kamu bukan mahamurid saya. Ini bukan kuliah sastra, jadi tidak akan ada ujian semesteran.
125. Ya, sudah…
Saya memang tidak bisa dan memang tidak ingin menjawabnya. Sebab puisi sendiri bagi saya adalah serangkaian pertanyaan yang tidak berhasrat memburu jawaban. Puisi bagi saya juga adalah sejumlah pertanyaan yang menggugat jawaban-jawaban yang sudah dianggap selesai. Dalam sebuah jawaban yang tuntas, puisi seperti masuk perangkap. Dia tak bisa kemana-mana lagi. Dia terjepit, tak berdaya dan akhirnya mati. Karena itu puisi bagi saya juga upaya untuk membebaskan jawaban tadi dengan pertanyaan-pertanyaan baru.
Saya bisa dan ingin menjawabnya dengan cara ini: menuliskan terus puisi-puisi. Karena, bagi saya, dengan cara itulah puisi sebaiknya diberi jawaban. Setiap puisi yang selesai ditulis adalah jawaban atas pertanyaan 'apakah puisi?'. Karenanya, saya sendiri tak henti menanyakan itu kepada diri saya sendiri, sebab saya tak ingin berhenti menulis puisi
126. Cara mencintaimu yang beda, atau memang begitukah cara mencintai puisi?
Entah, mungkin ya, mungkin tidak. Ketika pertama kali tertarik dan mulai menulis puisi, saya tak ingin bertanya apakah puisi itu. Saya hanya seperti bertemu sahabat lama dan kami lalu memasang sepatu petualangan. Tiba-tiba, bersama puisi, di depan dada terbentang gunung, langit, laut, sungai, semuanya juga menawarkan penjelajahan yang tak habis-habisnya.
Dan setelah petualangan bertahun-tahun -- petualangan yang belum sampai ke puncak manapun, ke ujung manapun -- tiba-tiba pertanyaan yang paling merisaukan itu datang. "Apakah puisi itu?". Saya terus terang benci dengan pertanyaan itu. Bertahun-tahun saya tidak peduli tak hendak hirau. Dan kami, saya dan puisi -- terus saja memetualangi apa saja. Sesekali pulang ke rumah, sesekali saling menjauh dan kembali lagi bersama dengan petualangan yang lain.
Dalam pengembaraan itu, akhirnya kutemukan juga kalimat yang sebenarnya sama sekali tidak menjawab. Saya jadi tidak merasa bersalah dan tidak terus menerus merasa sebagai sahabat yang bodoh yang tidak tahu sahabatnya sendiri.
127. Apa itu?
Ini dia jawabannya: Sesungguhnya tidak ada definisi bagi puisi -- tepatnya tak ada definisi yang lengkap memuaskan, sungguh-sungguh memberi kejelasan, dan bukan sebuah tautologi, sekadar mengulang-ulang kata tanpa menambah kita jadi mengerti. Nah! Karena itu juga, tidak ada resep atau manual atau petunjuk cara membuat puisi yang baik.
128. Kok cuma itu? Biasanya kamu paling suka mengutip kata-kata penyair-penyair hebat…
Baiklah, ada jawaban lain. Puisi adalah sepotong tulisan pendek yang imajinatif dari pengalaman seseorang yang ditulis dalam bait bait. Itu sebuah jawaban yang umum, bukan?
129. Ya, ini sih bukan definisi yang hebat. Saya juga bisa bikin seperti ini…
Kamu juga bisa membuka kamus, mengecek di ensiklopedi, tapi cukupkah itu untuk mengerti apa itu puisi? Ataukah malah sama-sama mengundang perdebatan?
Sepotong alinea dari sebuah cerita pendek bukan puisi. Karena itu, definisi puisi memang susah ditetapkan. Seperti hanya umumnya hal yang bersentuhan dengan estetika. Mungkin perlu satu tambahan pasal: puisi adalah ikhtiar atau tugas untuk mengertikan dunia dengan peristilahan manusia lewat komposisi sastra. Nah, makin mengundang tanya kan?
130. Ada yang lebih penting dari sekadar definisi, ya, puisi memang bukan ilmu pasti yang segalanya harus pasti dan tak mengundang perdebatan.
Ya, yang lebih penting dari definisi adalah perannya. Puisi itu mengikut atau bahkan menjadi penghulu dari perubahan arus pemikiran dari masa ke masa. Secara umum, banyak diterima pembedaan puisi atas tiga cara pandang. Tetapi, harus buru-buru ditambahkan bahwa ini pun masih asyik buat dibikin debat.
Penganut faham tradisionalis berhujah puisi adalah ekspresi dari sebuah pandangan yang diungkapkan dalam bentuk yang dimengerti dan menyedapkan orang lain, dan mungkin membangkitkan emosi yang sejenis.
Bagi kalangan modernis, puisi adalah sebuah objek yang berdiri sendiri yang bisa saja tidak merupakah penjelmaan dari apa yang ada nyata di alam, diciptakan dalam bahasa yang khas dan dengan jaringan makna dan rujukannya yang kompleks.
Lalu kaum posmodernis melihat puisi sebagai kolase-kolase dari idiom-idiom terkini yang membangkitkan rasa ingin tahu, lalu mengisi maknanya sendiri -- dan puisi memakai, menantang dan atau melecehkan konsep-konsep yang sebelumnya, tetapi juga tidak merujuk ke luar puisi itu sendiri.
131. Tadinya saya mengira kamu mengelak untuk menjawab karena benar-benar tidak punya jawaban.
Ternyata?
132. Saya benar-benar puas dengan jawabanmu. Dan saya juga mengerti apa pentingnya, apa manfaatnya jawaban itu, bukan sekedar untuk mengetahui apa puisi itu.
Ada yang lebih penting daripada itu. Kita bisa membuat puisi baru yang kelak membuat definisi puisi itu berubah, menyesuaikan dengan puisi yang kita temukan itu.
133. Bisa begitu?
Bisa, boleh, silakan lakukan, ayo temukan. Ini puisi. Itulah hebatnya.