MEREKA bertemu lagi dengan tubuh penuh darah,
mata berlinang darah, rambut keramas darah, mulut
meludah darah, hidung beringus darah. Dan dada itu,
tiap detaknya jantung adalah gelegak berbuih-buih darah.
Bahkan ketika kedua tangan mereka saling berjabatan
dari sela-sela jari pun deras mengalir dua darah. Selamat
berdarah, dan Kita ternyata belum kehabisan darah.
Orang mengira mereka habis bertempur habis-habisan.
Ada juga yang mengira, mereka peserta yang terusir dari
pertunjukan kenyataan permainan mengatasi ketakukan.
Tapi dengarlah, mereka segera membantah: Siapa bilang,
sejak lahir, kami memang belum pernah benar-benar
dimandikan. Darah sudah jadi pakaiaan. Darah sudah
seperti perhiasan. Darah sudah lama jadi udara pernafasan.
Tapi, kami hidup di negeri yang pandai mengajari pura-pura
mandi. Berdusta kepada tubuh minimal tiga kali sehari.
Kami harus tangkas dengan cepat menyembunyikan darah.
Menambal sulam luka sejarah di tubuh yang makin penuh
perban menutupi korengan, dan semerbak mabuk serbuk penisilin.
Mereka tidak suka mandi. Biar orang melihat, apa warna
sesungguhnya darah kami. Mereka mencintai luka. Biar
sakit ini membusuk, dan kami belajar menyembuhkan,
dan fasih menangis dan berduka dengan lebih bijaksana.
Mereka lalu berpisah, setelah sama-sama janjian. Nanti,
akan bertemu di sebuah puisi, di tengah danau yang airnya
cukup untuk membasuh wajah dan kaki tiga kali. Seperti
wudhu sebelum menyembahyangkan jenazah sendiri.