DI Inggris berkembang sejenis sajak jenaka yang mengaitngaitkan nama tokoh popular. Nama sajak itu "clerihew" merujuk ke Edmund Clerihew Bentley yang sang penemu dan banyak menggubah bentuk sajak tersebut. Bentuknya empat baris, berirama aabb. Isinya nyaris seperti plesetan, olok-olok, bahkan kadang seperti ejekan bagi orang-orang yang namanya terkenal. Efek jenaka timbul dari sudut pandang yang unik atas apa yang secara umum diketahui tentang tokoh terkenal yang disajakkkan.
Sir Karl Popper
Perpetrated a whopper
When he boasted to the world that he and he alone
Had toppled Rudolf Carnap from his Vienna Circle throne.
[clerihew oleh Armand T. Ringer]
Contoh lain:
John Stuart Mill,
By a mighty effort of will,
Overcame his natural bonhomie
And wrote 'Principles of Political Economy'.
Kadang bentuk sajak ini juga mengambil tema lain, tak melibatkan nama orang mahsyur tapi tetap jenaka. Contoh dari Bentley:
The art of Biography
Is different from Geography,
Geography is about maps,
But Biography is about chaps.
Blog ini adalah daerah cagar, suaka bagi sajak-sajak, terjemahan, dan esai-esai Hasan Aspahani. Hal-ihwal yang pernah hilang dan ingin ia hapuskan.
Tuesday, November 30, 2004
Monday, November 29, 2004
[Ruang Renung # 100] Melisankan Puisi Sendiri
HARUSKAH seorang penyair punya "keterampilan" melisankan puisi sendiri? Tadinya saya berpikir tidak harus. Tadinya saya berpikir, "saya tidak berdosa apabila saya tidak pandai membacakan atau melisankan puisi saya sendiri di depan orang lain." Tadinya saya punya alasan kuat, alasan yang saya kutip dari penyair lain, "buat apa saya menuliskan puisi, kalau kemudian saya harus membacakannya untuk orang lain? Mereka kan bisa membaca sendiri?"
Tadinya saya takut, kalau saya berpikir puisi saya kelak dislisankan, maka ketika menulis puisi saya jadi terlalu mematut-matutkan kata untuk tujuan itu. Tadinya saya khawatir wilayah eksplorasi saya menjadi sempit kalau saya hanya membuat puisi untuk ditampilkan. Tadinya begitu.
Tapi sekarang saya punya pikiran lain. Potensi puisi untuk dilisankan menarik juga untuk dijelajahi. Tardji, Rendra, Taufik Ismail adalah mereka yang melaju di jalur itu. Jadi, tak ada bedanya menulislah puisi sebaik-baiknya, apakah untuk dibaca sambil tiduran di kamar, ataukah untuk dilisankan di panggung-panggung pertunjukan.
Tadinya saya takut, kalau saya berpikir puisi saya kelak dislisankan, maka ketika menulis puisi saya jadi terlalu mematut-matutkan kata untuk tujuan itu. Tadinya saya khawatir wilayah eksplorasi saya menjadi sempit kalau saya hanya membuat puisi untuk ditampilkan. Tadinya begitu.
Tapi sekarang saya punya pikiran lain. Potensi puisi untuk dilisankan menarik juga untuk dijelajahi. Tardji, Rendra, Taufik Ismail adalah mereka yang melaju di jalur itu. Jadi, tak ada bedanya menulislah puisi sebaik-baiknya, apakah untuk dibaca sambil tiduran di kamar, ataukah untuk dilisankan di panggung-panggung pertunjukan.
Sunday, November 28, 2004
Aku Bertepuk Tangan
: nizar dan peppy
ada perempuan tubuhnya tarian
ada lelaki hembus nafasnya puisi
di panggung mereka saling menerjemahkan
lahir cahaya: tiga bidadari, dan
entah berapa banyak pukau penafsiran.
di kursi penonton aku berdiri
bertepuk tangan tak ingin berhenti
ada perempuan tubuhnya tarian
ada lelaki hembus nafasnya puisi
di panggung mereka saling menerjemahkan
lahir cahaya: tiga bidadari, dan
entah berapa banyak pukau penafsiran.
di kursi penonton aku berdiri
bertepuk tangan tak ingin berhenti
Friday, November 26, 2004
Sausalito, Singapura
dan Bintan Art Festival
Hasan Aspahani
Ketua I Dewan Kesenian
Kepulauan Riau
SAUSALITO, sebuah kota kecil di negara bagian California, Amerika Serikat bertukar rupa setiap jatuh perayaan Hari Buruh. Seniman dan penikmat seni beradu daya cipta di sana. Kreasi seni dan kerajinan kelas dunia dipamerkan. Perayaan seni bertajuk Sausalito Art Festival yang digelar sejak 1952 itupun telah dikunjungi lebih dari satu juta pengunjung.
Sausalito pun berkembang menjadi kota seni internasional yang mahsyur. Kota yang terletak di utara Jembatan Golden Gate itu terletak di Teluk San Francisco. Pada lansekap kota yang menghala laut berjajar galeri dan kedai seni bersejarah. Kolektor pun berdatangan ke sana.
Membayangkan keindahan kota itu Saya teringat sajak Taufik Ismail “Trem Berkelenengan di Kota San Francisco” …. Percintaan bulan dengan lekuk-lekuk tubuhmu semacam percintan anak-anak muda yang garang kemudian dilukiskan oleh pelukis-pelukis kubistis.
Kesana pula para seniman terbaik Amerika dan dari berbagai belahan dunia membuktikan kepiawaian. Setiap kali festival digelar maka lebih dari 20 ribu karya seni orisinal serta merta meriuhkan kota itu. Festival ini benar-benar sebuah perayaan seni. Dari seni lukis, seni patung, keramik, perhiasan, seni fiber, kristal, cukil kayu, media campuran hingga fotografi.
Dari seni yang fungsional hingga yang surealis. Dari seni yang praktis hingga yang dekoratif. Itulah yang diburu para kolektor yang gila seni dan tahu nilai seni. Jangan harap akan menemukan benda serupa di festival lain. Jangan harap pula seniman yang meramaikan festival itu membuat karya serupa. Kurasi pameran ini tampaknya berstandar ketat.
Sausalito Art Festival menjadi kian unik karena saat itu seniman membuka diri bagi penikmatnya. Ini kesempatan interaksi yang langka. Tak cukup itu sepanjang festival berlangsung ada hiburan yang tak putus digelar di tiga panggung besar plus hidangan paling nikmat dengan sampanye dan anggur pilihan.
Itulah sekilas gambaran tentang Bintan eh maksud saya Sausalito Art Festival (SAF). Menyanding dan menanding Bintan Art Festival (BAF) dengan SAF memang bukan pekerjaan pantas. BAF tahun ini baru yang keempat kali digelar. Sedangkan SAF sudah 52 kali dilaksanakan.
Saya belum pernah berkunjung ke SAF itu. Tapi lihatlah bagaimana mereka mempersiapkan. Untuk acara yang kelak digelar bulan September tahun depan, sudah diluncurkan sebuah situs resmi lengkap dengan jadwal dan siapa saja yang tampil. Sangat terencana, teramat tertata.
***
Tapi biarkanlah saya bermimpi, entah pada pelaksanaan BAF yang keberapa nanti Bintan pun bermandikan cahaya. Beberapa hari, Bintan seperti mandi cahaya. Beberapa hari seni benar-benar dirayakan. Seniman terpilih dengan karya terbaik berbondong-bondong datang. Kolektor seni nasional dan mancanegara merasa tak sah menyebut diri sebagai kolektor jika tak setor batang hidung.
Buku-buku sastra diterbitkan. Puisi-puisi terbaik dibacakan sang penyair. Ada workshop dengan diskusi yang antusias. Ada transaksi jual beli benda-benda seni yang menyumbangkan besar pada penghasilan daerah. Tari-tari gubahan baru digelar. Seni-seni tradisional dibangkitkan, diberi pemaknaan baru, disegarkan lagi.
Biarkan saya terus bermimpi. Penerbangan ke Provinsi Kepri jadi begitu sibuk. Hotel-hotel penuh pengunjung. Angkutan laut pun jadi seperti kekurangan trip keberangkatan. Seperti SAF yang digelar tiap liburan Hari Buruh, BAF pun ditetapkan sebagai "hari libur". Mungkinkah mimpi ini terwujud? Mari kita jawab bersama: kenapa tidak!
Atau biarkan saya bermimpi. Saya ingatkan sebait sajak “Di Tangan Anak-anak” karya Sapardi Djoko Damono, “Tuan jangan kau ganggu permainanku ini.”
***
Sementara itu berita ini bukan lagi mimpi. Negeri jiran terdekat kita Singapura pada bulan Februari hingga April tahun depan menggelar festival seni juga.
Bukan di Singapura tapi di Inggris. Festival itu diberi tajuk "Singapore Season". Apa yang ditampilkan kurang lebih sama, yakni musik, teater dan tari. Singapura berharap pelancongan ke negeri mereka bisa digenjot dengan festival itu. Dan bila sukses, sudah pula dicadangkan acara serupa digelar di India dan Cina.
Tapi ini bukan kerja seketika. Sepuluh tahun terakhir, Singapura sudah menginvestasi dana setara Rp5 triliun lebih khusus untuk membina kemajuan seni di negeri mereka. Pencapaian selama pembinaan sepuluh tahun itulah yang hendak ditampilkan dalam festival di seberang lautan itu. Saya ingat ada gadis muda melintas bergegas di depan sebuah hotel di singapura dengan menenteng biola. Mungkin dia ikut tampil dalam festival itu.
Saya tak berani bermimpi, hanya mencoba menghitung-hitung. Dengan dana sejumlah Rp5 triliun itu berarti per tahun teranggarkan dana Rp500 miliar. Atau Rp41 miliar lebih per bulan. Atau Rp1.4 miliar per hari! Saya tak berani bermimpi karena anggaran BAF tahun ini hanya Rp115 juta.***
dan Bintan Art Festival
Hasan Aspahani
Ketua I Dewan Kesenian
Kepulauan Riau
SAUSALITO, sebuah kota kecil di negara bagian California, Amerika Serikat bertukar rupa setiap jatuh perayaan Hari Buruh. Seniman dan penikmat seni beradu daya cipta di sana. Kreasi seni dan kerajinan kelas dunia dipamerkan. Perayaan seni bertajuk Sausalito Art Festival yang digelar sejak 1952 itupun telah dikunjungi lebih dari satu juta pengunjung.
Sausalito pun berkembang menjadi kota seni internasional yang mahsyur. Kota yang terletak di utara Jembatan Golden Gate itu terletak di Teluk San Francisco. Pada lansekap kota yang menghala laut berjajar galeri dan kedai seni bersejarah. Kolektor pun berdatangan ke sana.
Membayangkan keindahan kota itu Saya teringat sajak Taufik Ismail “Trem Berkelenengan di Kota San Francisco” …. Percintaan bulan dengan lekuk-lekuk tubuhmu semacam percintan anak-anak muda yang garang kemudian dilukiskan oleh pelukis-pelukis kubistis.
Kesana pula para seniman terbaik Amerika dan dari berbagai belahan dunia membuktikan kepiawaian. Setiap kali festival digelar maka lebih dari 20 ribu karya seni orisinal serta merta meriuhkan kota itu. Festival ini benar-benar sebuah perayaan seni. Dari seni lukis, seni patung, keramik, perhiasan, seni fiber, kristal, cukil kayu, media campuran hingga fotografi.
Dari seni yang fungsional hingga yang surealis. Dari seni yang praktis hingga yang dekoratif. Itulah yang diburu para kolektor yang gila seni dan tahu nilai seni. Jangan harap akan menemukan benda serupa di festival lain. Jangan harap pula seniman yang meramaikan festival itu membuat karya serupa. Kurasi pameran ini tampaknya berstandar ketat.
Sausalito Art Festival menjadi kian unik karena saat itu seniman membuka diri bagi penikmatnya. Ini kesempatan interaksi yang langka. Tak cukup itu sepanjang festival berlangsung ada hiburan yang tak putus digelar di tiga panggung besar plus hidangan paling nikmat dengan sampanye dan anggur pilihan.
Itulah sekilas gambaran tentang Bintan eh maksud saya Sausalito Art Festival (SAF). Menyanding dan menanding Bintan Art Festival (BAF) dengan SAF memang bukan pekerjaan pantas. BAF tahun ini baru yang keempat kali digelar. Sedangkan SAF sudah 52 kali dilaksanakan.
Saya belum pernah berkunjung ke SAF itu. Tapi lihatlah bagaimana mereka mempersiapkan. Untuk acara yang kelak digelar bulan September tahun depan, sudah diluncurkan sebuah situs resmi lengkap dengan jadwal dan siapa saja yang tampil. Sangat terencana, teramat tertata.
***
Tapi biarkanlah saya bermimpi, entah pada pelaksanaan BAF yang keberapa nanti Bintan pun bermandikan cahaya. Beberapa hari, Bintan seperti mandi cahaya. Beberapa hari seni benar-benar dirayakan. Seniman terpilih dengan karya terbaik berbondong-bondong datang. Kolektor seni nasional dan mancanegara merasa tak sah menyebut diri sebagai kolektor jika tak setor batang hidung.
Buku-buku sastra diterbitkan. Puisi-puisi terbaik dibacakan sang penyair. Ada workshop dengan diskusi yang antusias. Ada transaksi jual beli benda-benda seni yang menyumbangkan besar pada penghasilan daerah. Tari-tari gubahan baru digelar. Seni-seni tradisional dibangkitkan, diberi pemaknaan baru, disegarkan lagi.
Biarkan saya terus bermimpi. Penerbangan ke Provinsi Kepri jadi begitu sibuk. Hotel-hotel penuh pengunjung. Angkutan laut pun jadi seperti kekurangan trip keberangkatan. Seperti SAF yang digelar tiap liburan Hari Buruh, BAF pun ditetapkan sebagai "hari libur". Mungkinkah mimpi ini terwujud? Mari kita jawab bersama: kenapa tidak!
Atau biarkan saya bermimpi. Saya ingatkan sebait sajak “Di Tangan Anak-anak” karya Sapardi Djoko Damono, “Tuan jangan kau ganggu permainanku ini.”
***
Sementara itu berita ini bukan lagi mimpi. Negeri jiran terdekat kita Singapura pada bulan Februari hingga April tahun depan menggelar festival seni juga.
Bukan di Singapura tapi di Inggris. Festival itu diberi tajuk "Singapore Season". Apa yang ditampilkan kurang lebih sama, yakni musik, teater dan tari. Singapura berharap pelancongan ke negeri mereka bisa digenjot dengan festival itu. Dan bila sukses, sudah pula dicadangkan acara serupa digelar di India dan Cina.
Tapi ini bukan kerja seketika. Sepuluh tahun terakhir, Singapura sudah menginvestasi dana setara Rp5 triliun lebih khusus untuk membina kemajuan seni di negeri mereka. Pencapaian selama pembinaan sepuluh tahun itulah yang hendak ditampilkan dalam festival di seberang lautan itu. Saya ingat ada gadis muda melintas bergegas di depan sebuah hotel di singapura dengan menenteng biola. Mungkin dia ikut tampil dalam festival itu.
Saya tak berani bermimpi, hanya mencoba menghitung-hitung. Dengan dana sejumlah Rp5 triliun itu berarti per tahun teranggarkan dana Rp500 miliar. Atau Rp41 miliar lebih per bulan. Atau Rp1.4 miliar per hari! Saya tak berani bermimpi karena anggaran BAF tahun ini hanya Rp115 juta.***
Sunday, November 21, 2004
Sehalaman Komik Hitam
hingga setengah pertunjukan, kita masih
memainkan adegan tanpa perbincangan.
di balon percakapanmu kau mengatur
sejumlah konsonan. Seperti tak faham,
aku telah lama tak tahu apa mau dikatakan.
lalu halaman cuma hitam. Cahaya karam.
kau tahu, tak? Ada yang terkekeh Membaca,
kita yang terjebak adegan. Tanpa perbincangan.
memainkan adegan tanpa perbincangan.
di balon percakapanmu kau mengatur
sejumlah konsonan. Seperti tak faham,
aku telah lama tak tahu apa mau dikatakan.
lalu halaman cuma hitam. Cahaya karam.
kau tahu, tak? Ada yang terkekeh Membaca,
kita yang terjebak adegan. Tanpa perbincangan.
[Ruang Renung] Ikuti Kemana Kata Menyeretmu
TANYA: Dalam Buku "In Wonderful Words, Silent Truth" Anda sebutkan, ketika mencoba menghadirkan kembali sebuah momentum di atas kertas, bahasa mengambil alih dan saat itu juga kata-kata punya daya pikir sendiri. Bisakah Anda jelaskan bagaimanakah bahasa menjadi sang pengendali dan penyair hanya penerima bahasa?
JAWAB: Ketika kau mulai meletakkan kata-kata di atas halaman-halaman kertas, ada proses asosiatif yang mengambil alih. Dan, semuanya terjadi tiba-tiba, ada banyak kejutan di sana. Ya, segalanya terjadi tiba-tiba, kau jadi ngomong sendiri, "My God, bagaimana ini bisa terlintas di kepalamu? Kenapa ini bisa ada di halaman kertas ini?" Saya begitu girang ketika ini terjadi. Dan saya tak menentang proses itu; Saya hanya mengikuti kemana saya dibawa.
Saya ada contoh. Saya punya sajak yang saya tulis hari ini. SI Tukang Omong dalam sajak itu berjalan-jalan tengah malam di lorong-lorong Manhattan. Jalanan gelap. Nyaris seperti hasrat untuk menyerempet bahaya, ketakutan dalam situasi gelap. Dia menelusuri gang-gang sepi di Manhattan saat itu malam musim dingin. Ketika saya mulai menulis sajak itu, saya memang punya beberapa gagasan apa yang kelak ditemui si tokoh tadi sepanjang perjalanannya. Saya lihat dia lewat di Broadway dan pergi ke Canal Street. Tapi, ketika saya mengerjakan sajak itu, tiba-tiba saja seluruh proses penulisan sajak itu diambil alih oleh kejutan-kejutan. Maksud saya, si tokoh tadi tiba-tiba melewati persimpangan-persimpangan yang tak terduga. Pemandangan yang mengejutkan bertubi-tubi datang dalam pikiran saya. Lalu kata-kata di halaman itu seperti bercumbu; mereka saling memikat satu sama lain.
Tulisan tangan saya juga jelek banget, lho. Kadang-kadang saya salah membaca apa yang telah saya tulis, tapi saya jadi seperti menemukan kata lain. "Oh, inikah yang saya tulis tadi?", lalu saya bilang, "Bukan, bukan itu," tapi yang lain pun datang lagi. Akhirnya, hasilnya sajak itu jadi lebih menarik. Beginilah bagaimana proses penulisan sajak itu terjadi. Ini petualangan yang sesungguhnya, kemana dia menyeretmu, lalu apa yang kelak terjadi.
JAWAB: Ketika kau mulai meletakkan kata-kata di atas halaman-halaman kertas, ada proses asosiatif yang mengambil alih. Dan, semuanya terjadi tiba-tiba, ada banyak kejutan di sana. Ya, segalanya terjadi tiba-tiba, kau jadi ngomong sendiri, "My God, bagaimana ini bisa terlintas di kepalamu? Kenapa ini bisa ada di halaman kertas ini?" Saya begitu girang ketika ini terjadi. Dan saya tak menentang proses itu; Saya hanya mengikuti kemana saya dibawa.
Saya ada contoh. Saya punya sajak yang saya tulis hari ini. SI Tukang Omong dalam sajak itu berjalan-jalan tengah malam di lorong-lorong Manhattan. Jalanan gelap. Nyaris seperti hasrat untuk menyerempet bahaya, ketakutan dalam situasi gelap. Dia menelusuri gang-gang sepi di Manhattan saat itu malam musim dingin. Ketika saya mulai menulis sajak itu, saya memang punya beberapa gagasan apa yang kelak ditemui si tokoh tadi sepanjang perjalanannya. Saya lihat dia lewat di Broadway dan pergi ke Canal Street. Tapi, ketika saya mengerjakan sajak itu, tiba-tiba saja seluruh proses penulisan sajak itu diambil alih oleh kejutan-kejutan. Maksud saya, si tokoh tadi tiba-tiba melewati persimpangan-persimpangan yang tak terduga. Pemandangan yang mengejutkan bertubi-tubi datang dalam pikiran saya. Lalu kata-kata di halaman itu seperti bercumbu; mereka saling memikat satu sama lain.
Tulisan tangan saya juga jelek banget, lho. Kadang-kadang saya salah membaca apa yang telah saya tulis, tapi saya jadi seperti menemukan kata lain. "Oh, inikah yang saya tulis tadi?", lalu saya bilang, "Bukan, bukan itu," tapi yang lain pun datang lagi. Akhirnya, hasilnya sajak itu jadi lebih menarik. Beginilah bagaimana proses penulisan sajak itu terjadi. Ini petualangan yang sesungguhnya, kemana dia menyeretmu, lalu apa yang kelak terjadi.
[Sang Penyair] Charles Simic, dari Belgrade Menaklukkan Amerika
CHARLES Simic lahir di Belgrade, Yugoslavia, 9 Mei 1938. Pada tahun 1953 dia meninggalkan negeri kelahirannya itu bersama ibu dan saudara lelakinya menyusul ayahnya yang lebih dahulu bermigrasi ke Amerika Serikat. Hingga tahun 1958 keluarga itu tinggal di beberapa tempat di Chicago. Tahun 1959 puisi pertamanya dipublikasikan, saat itu usianya 21 tahun. Tahun 1961 dia mengikuti wajib militer, dan tahun 1966 dia meraih gelar sarjana muda dari New York University.
BUKU puisi pertamanya yang terbit adalah WHAT THE GRASS SAYS. Sejak saat itu hingga kini tak kurang dari 60 bukunya terbit di Amerika dan di negeri lain. Di antaranya JACKSTRAWS (Harcourt Brace, 1999), yang mendapat penghargaan dari New York Times sebagai The Notable Book of The Years; WALKING THE BLACK CAT (Harcourt Brace, 1996) yang menjadi finalis National Book Award untuk buku puisi; A WEDDING IN HELL (1994); HOTEL INSOMNIA (1992); THE WORLD DOES'NT END: PROSE POEMS (1990) yang membawakan hadiah Pulitzer Puisi baginya; SELECTED POEMS (1963-1983 (1990); dan UNENDING BLUES (1986).
SIMIC juga menerbitkan sejumlah buku puisi terjemahan dari pengarah Prancis, Serbia, Kroasia, Macedonia, dan Slovenia, serta empat buku esai antara lain WONDERFUL WORDS, SILENT TRUTH dan ORPHAN FACTORY (University of Michigan Press, 1998). Dia juga menjadi editor tamu pada ajang THE BEST AMERICAN POETRY 1992. Dia juga dipilih menjadi Konselor di Academy of American Poet 2000.
DIA sendiri meraih sejumlah penghargaan seperti beasiswa dari Guggenheim Fondation, MacArthur Fondation, dan dari National Endowment for The Arts. Sejak tahun 1973 dia tinggal di New Hampshire, setelah menjadi Profesor Bahasa Inggris di University of New Hampshire.
BUKU puisi pertamanya yang terbit adalah WHAT THE GRASS SAYS. Sejak saat itu hingga kini tak kurang dari 60 bukunya terbit di Amerika dan di negeri lain. Di antaranya JACKSTRAWS (Harcourt Brace, 1999), yang mendapat penghargaan dari New York Times sebagai The Notable Book of The Years; WALKING THE BLACK CAT (Harcourt Brace, 1996) yang menjadi finalis National Book Award untuk buku puisi; A WEDDING IN HELL (1994); HOTEL INSOMNIA (1992); THE WORLD DOES'NT END: PROSE POEMS (1990) yang membawakan hadiah Pulitzer Puisi baginya; SELECTED POEMS (1963-1983 (1990); dan UNENDING BLUES (1986).
SIMIC juga menerbitkan sejumlah buku puisi terjemahan dari pengarah Prancis, Serbia, Kroasia, Macedonia, dan Slovenia, serta empat buku esai antara lain WONDERFUL WORDS, SILENT TRUTH dan ORPHAN FACTORY (University of Michigan Press, 1998). Dia juga menjadi editor tamu pada ajang THE BEST AMERICAN POETRY 1992. Dia juga dipilih menjadi Konselor di Academy of American Poet 2000.
DIA sendiri meraih sejumlah penghargaan seperti beasiswa dari Guggenheim Fondation, MacArthur Fondation, dan dari National Endowment for The Arts. Sejak tahun 1973 dia tinggal di New Hampshire, setelah menjadi Profesor Bahasa Inggris di University of New Hampshire.
Saturday, November 20, 2004
Dari Bumi, Dari Angkasa
Tak ada lagi datang para petani, padahal ini musim
paling tepat menyemai bijih benih. Peladang hati.
Darah selesai diolah: hitam yang subur. Seperti
dipersiapkan untuk sebuah pesta: ritual tandur.
Hanya lelaki, seperti bangkit dari bumi. Menabuh tambur.
Seakan maklumat: bangkitlah, tinggalkan liang kubur.
Dan wanita itu, datang dari angkasa. Menghela gerobak:
penuh tulang tubuh sendiri. "Tuhan belum mati....
Belum mati," kabar baik itu ia kasidahkan. Sebuah nyanyi.
Tinggi. Di balik langit yang lain. Ada yang tetap. Sendiri.
paling tepat menyemai bijih benih. Peladang hati.
Darah selesai diolah: hitam yang subur. Seperti
dipersiapkan untuk sebuah pesta: ritual tandur.
Hanya lelaki, seperti bangkit dari bumi. Menabuh tambur.
Seakan maklumat: bangkitlah, tinggalkan liang kubur.
Dan wanita itu, datang dari angkasa. Menghela gerobak:
penuh tulang tubuh sendiri. "Tuhan belum mati....
Belum mati," kabar baik itu ia kasidahkan. Sebuah nyanyi.
Tinggi. Di balik langit yang lain. Ada yang tetap. Sendiri.
Dongeng Tukang Jahit Selimut
/1/
"Jika ingin mengerti rahasia malam,
jadilah tukang jahit selimut," katanya.
"Jika ingin memahami hakikat dingin,
jadilah tukang jahit selimut," katanya.
/2/
Lelaki itu hidup sendiri. Hanya sendiri.
Terlebih sendiri bila alam sudah berselimut malam.
"Tuhan itu Maha Penjahit. Selimut
malamnya, sedikit pun tak pernah
kusam, sedikit pun tak pernah koyak,"
katanya menyebutkan kearifan yang ia hayati,
setelah bertahun-tahun menjahitkan
beratus-ratus selimut pesanan.
"Tapi siapa yang memesan malam,
Wahai Lelaki Penjahit Selimut?"
dia suka bertanya begitu, ketika
sesekali waktu, sesuatu malam dia
tak bisa memejamkan mata tuanya.
/3/
Lewat selimut dia menghayati apa maunya Tuhan.
"Pak Penjahit Tua. Tolong buatkan selimut untuk
bayi kami, yang sebentar lagi lahir dari rahim
istri saya. Selimut paling istimewa, bersulam
nama kami dan nama yang hendak kami beri
untuknya," ujar seorang lelaki muda yang datang
bersama istrinya yang tengah hamil tua.
Selimut itu akhirnya tak pernah dijemput si
pemesan. Meski ongkos bikinnya sudah
dilunaskan. Konon, anak yang namanya
tersulam di selimut itu, tak pernah sempat
dilahirkan. Hangatnya kematian memeluknya
erat tak terlepaskan. Selimut yang sudah
disiapkan, tak pernah sampai ia perlukan.
/4/
Lewat selimut dia memaklumi misteri manusia.
"Ini selimut yang dulu pernah Anda jahitkan,
utuk malam pertama kami. Selimut Perkawinan,"
kata seorang lelaki padanya. Sambil menyerahkan
sebuah selimut yang tentu saja ia masih ingat,
corak dan pola jahitannya. "Ambillah saja,
Pak Penjahit Tua. Simpankanlah untuk saya.
Saya tak sanggup lagi melihatnya, saya
tak juga tega membuangnya, sejak kutemukan
istriku bersama lelaki lain di balik selimut itu."
/4/
Lewat selimut pula, dia melihat ke balik kematian.
Ketika itu, seorang lelaki seumur dia datang sendirian,
setelah salam diucapkan, lelaki itu menyampaikan niatan.
"Tolong dirombak, selimut putih ini jadi kafan. Saya
ingin memastikan, kelak saya tetap merasa tentram di kuburan.
Soalnya, selimut inilah yang paling setia menjadi teman,
sepanjang hidupku sehingga kini, sehingga aku merasa
sebentar lagi dijemput kematian. Tolong diihtiarkan..."
/5/
Lelaki Tua Penjahit Selimut, wahai, dengan
apakah kau hangatkan dingin tidurmu sendiri?
Selimut kegemarannya adalah sebuah selimut
yang ia jahit dari kain perca. Selimut yang disusun
dari ribuan lembar kain selebar telapak tangan.
"Setiap potongan sisa kain, menyimpan sebuah cerita.
Sebagaimana catatan harian. Seperti jurnal kehidupan,"
ujarnya sambil saling berdekapan
dengan selimut yang ia kasihi.
/6/
Jika ingin memahami hakikat selimut,
cobalah telanjang di tengah dingin malam.
Jika ingin mengerti rahasia kehidupan,
meringkuklah di balik selimut terhangatmu, lalu
bayangkanlah hingga suatu saat ada yang menegurmu,
"Wahai engkau, orang yang berselimut..."
"Jika ingin mengerti rahasia malam,
jadilah tukang jahit selimut," katanya.
"Jika ingin memahami hakikat dingin,
jadilah tukang jahit selimut," katanya.
/2/
Lelaki itu hidup sendiri. Hanya sendiri.
Terlebih sendiri bila alam sudah berselimut malam.
"Tuhan itu Maha Penjahit. Selimut
malamnya, sedikit pun tak pernah
kusam, sedikit pun tak pernah koyak,"
katanya menyebutkan kearifan yang ia hayati,
setelah bertahun-tahun menjahitkan
beratus-ratus selimut pesanan.
"Tapi siapa yang memesan malam,
Wahai Lelaki Penjahit Selimut?"
dia suka bertanya begitu, ketika
sesekali waktu, sesuatu malam dia
tak bisa memejamkan mata tuanya.
/3/
Lewat selimut dia menghayati apa maunya Tuhan.
"Pak Penjahit Tua. Tolong buatkan selimut untuk
bayi kami, yang sebentar lagi lahir dari rahim
istri saya. Selimut paling istimewa, bersulam
nama kami dan nama yang hendak kami beri
untuknya," ujar seorang lelaki muda yang datang
bersama istrinya yang tengah hamil tua.
Selimut itu akhirnya tak pernah dijemput si
pemesan. Meski ongkos bikinnya sudah
dilunaskan. Konon, anak yang namanya
tersulam di selimut itu, tak pernah sempat
dilahirkan. Hangatnya kematian memeluknya
erat tak terlepaskan. Selimut yang sudah
disiapkan, tak pernah sampai ia perlukan.
/4/
Lewat selimut dia memaklumi misteri manusia.
"Ini selimut yang dulu pernah Anda jahitkan,
utuk malam pertama kami. Selimut Perkawinan,"
kata seorang lelaki padanya. Sambil menyerahkan
sebuah selimut yang tentu saja ia masih ingat,
corak dan pola jahitannya. "Ambillah saja,
Pak Penjahit Tua. Simpankanlah untuk saya.
Saya tak sanggup lagi melihatnya, saya
tak juga tega membuangnya, sejak kutemukan
istriku bersama lelaki lain di balik selimut itu."
/4/
Lewat selimut pula, dia melihat ke balik kematian.
Ketika itu, seorang lelaki seumur dia datang sendirian,
setelah salam diucapkan, lelaki itu menyampaikan niatan.
"Tolong dirombak, selimut putih ini jadi kafan. Saya
ingin memastikan, kelak saya tetap merasa tentram di kuburan.
Soalnya, selimut inilah yang paling setia menjadi teman,
sepanjang hidupku sehingga kini, sehingga aku merasa
sebentar lagi dijemput kematian. Tolong diihtiarkan..."
/5/
Lelaki Tua Penjahit Selimut, wahai, dengan
apakah kau hangatkan dingin tidurmu sendiri?
Selimut kegemarannya adalah sebuah selimut
yang ia jahit dari kain perca. Selimut yang disusun
dari ribuan lembar kain selebar telapak tangan.
"Setiap potongan sisa kain, menyimpan sebuah cerita.
Sebagaimana catatan harian. Seperti jurnal kehidupan,"
ujarnya sambil saling berdekapan
dengan selimut yang ia kasihi.
/6/
Jika ingin memahami hakikat selimut,
cobalah telanjang di tengah dingin malam.
Jika ingin mengerti rahasia kehidupan,
meringkuklah di balik selimut terhangatmu, lalu
bayangkanlah hingga suatu saat ada yang menegurmu,
"Wahai engkau, orang yang berselimut..."
Dongeng Tukang Perahu
/1/
"Hidup itu seperti perahu," kata penyair sok tahu,
"Usia dihabiskan dari pelabuhan ke pelabuhan."
"Hidupku adalah perahu," kata tukang perahu,
"Hidupku adalah laut. Kau tahu? Dan pelayaran
dari tambatan ke tambatan. Tak bersudahan."
/2/
Wahai, Tukang Perahu, pernahkah engkau bosan?
"Pernah, ketika itu saya ingin sekali, ada seseorang
yang minta diantarkan ke tempat yang tak berpelabuhan,
ke tempat di mana laut dan perahu tak bisa dipisahkan."
Wahai, Tukang Perahu, pernahkah engkau kelalahan?
"Aku sebenarnya ingin menjadi ikan. Yang tak pernah
letih berenang. Aku sebenarnya ingin seperti ikan. Yang
tubuhnya adalah perahu. Siripnya adalah kayuh dan kemudi.
Aku sebenanya ingin sekuat ikan. Yang tak pernah merisaukan
angin, yang tak pernah mengenal bertambat atau bertolak,
yang tak pernah rindu pada damai pelabuhan.
/3/
Tukang Perahu tua, perahu yang tua.
Di haluan dan buritannya tertinggal kenangan.
Bocah-bocah sekolah yang dulu jadi langganan.
Yang dulu suka duduk di buritan, kabarnya
kini sudah menjadi pegawai pemerintahan.
Yang suka berdiri di haluan, sudah jadi
bandar bahan bakar, jadi seorang juragan.
Yang suka duduk menghadap ke belakang,
konon jadi penyair besar teramat kondang.
/4/
Lalu tibalah, sebuah senja. Seperti saat yang
sudah lama dinantikannya. Datanglah seorang
lelaki setua dirinya, setua Tukang Perahu tua.
"Mau kemana, Saudara? Saya sudah mau pulang,
sudah senja. Sebaiknya kau kuantar besok
pagi saja," katanya seramah ia bisa.
"Justru aku yang ingin mengantarkanmu. Anda tenang
saja. Anda yang jadi penumpang saya. Istirahatkan saja
perahu tua. Istirahatkan saja......"
"Hidup itu seperti perahu," kata penyair sok tahu,
"Usia dihabiskan dari pelabuhan ke pelabuhan."
"Hidupku adalah perahu," kata tukang perahu,
"Hidupku adalah laut. Kau tahu? Dan pelayaran
dari tambatan ke tambatan. Tak bersudahan."
/2/
Wahai, Tukang Perahu, pernahkah engkau bosan?
"Pernah, ketika itu saya ingin sekali, ada seseorang
yang minta diantarkan ke tempat yang tak berpelabuhan,
ke tempat di mana laut dan perahu tak bisa dipisahkan."
Wahai, Tukang Perahu, pernahkah engkau kelalahan?
"Aku sebenarnya ingin menjadi ikan. Yang tak pernah
letih berenang. Aku sebenarnya ingin seperti ikan. Yang
tubuhnya adalah perahu. Siripnya adalah kayuh dan kemudi.
Aku sebenanya ingin sekuat ikan. Yang tak pernah merisaukan
angin, yang tak pernah mengenal bertambat atau bertolak,
yang tak pernah rindu pada damai pelabuhan.
/3/
Tukang Perahu tua, perahu yang tua.
Di haluan dan buritannya tertinggal kenangan.
Bocah-bocah sekolah yang dulu jadi langganan.
Yang dulu suka duduk di buritan, kabarnya
kini sudah menjadi pegawai pemerintahan.
Yang suka berdiri di haluan, sudah jadi
bandar bahan bakar, jadi seorang juragan.
Yang suka duduk menghadap ke belakang,
konon jadi penyair besar teramat kondang.
/4/
Lalu tibalah, sebuah senja. Seperti saat yang
sudah lama dinantikannya. Datanglah seorang
lelaki setua dirinya, setua Tukang Perahu tua.
"Mau kemana, Saudara? Saya sudah mau pulang,
sudah senja. Sebaiknya kau kuantar besok
pagi saja," katanya seramah ia bisa.
"Justru aku yang ingin mengantarkanmu. Anda tenang
saja. Anda yang jadi penumpang saya. Istirahatkan saja
perahu tua. Istirahatkan saja......"
Konser Sunyi, Pantomim Resah
Hanya sebaris ombak yang sampai, selebihnya
laut yang damai. Konser sunyi pun mula dimulai.
Sang Komposer menuding langit: partitur mendung.
Si Pemangku harpa, memetik dawai paling rahasia.
Hanya segaris angin yang lelah, sesudahnya
angkasa serta merta basah. Pantomim resah.
laut yang damai. Konser sunyi pun mula dimulai.
Sang Komposer menuding langit: partitur mendung.
Si Pemangku harpa, memetik dawai paling rahasia.
Hanya segaris angin yang lelah, sesudahnya
angkasa serta merta basah. Pantomim resah.
Sebutir Telur di Liang Kubur
: Palestina dan Yasser Arafat
Seperti Sabda belum diwahyukan. Khutbah
belum usai. Bahkan. Belum juga dimulai.
Kita pun menunggu. Kursi pun menunggu.
Siapa yang duduk berselimut putih itu?
Seperti Ayat belum diturunkan. Kitab-kitab
belum jadi alasan pembantaian. Belum dituliskan.
Di liang itu, kuburmu mengerami sebutir Telur.
Kita pun menunggu: yang kelak menetas disitu.
Seperti Sabda belum diwahyukan. Khutbah
belum usai. Bahkan. Belum juga dimulai.
Kita pun menunggu. Kursi pun menunggu.
Siapa yang duduk berselimut putih itu?
Seperti Ayat belum diturunkan. Kitab-kitab
belum jadi alasan pembantaian. Belum dituliskan.
Di liang itu, kuburmu mengerami sebutir Telur.
Kita pun menunggu: yang kelak menetas disitu.
Bunga dalam Pot
meluruh jua, di pot, mawar putih
telinga bunga merapat ke tanah
bisik rahasia itu, terlalu lirih
bisik itu, bisik akar yang lelah
telinga bunga merapat ke tanah
bisik rahasia itu, terlalu lirih
bisik itu, bisik akar yang lelah
Wednesday, November 10, 2004
Pada Ruang Kosong, Pada Padang Lengang
Pada ruang kosong sajakku, kau akan mendengar
gema-gema suara-Nya. Kau tidak akan tahu kapan
sebenarnya gaung itu ada sebelum terpisah dari
suaramu. "Aku hanya ingat, waktu itu aku penat
berteriak, memanggil-manggil nama-Mu," katamu.
Pada padang lengang sajakku, kau akan bertemu
bayang-bayang sendiri. Kau pasti amat mengenal
: siluet yang tak pernah menyahut seramah
apapun kau menyapa. "Kami juga tak pernah sepakat,
siapa menuntun siapa, berpantomim seperti ini," katamu.
gema-gema suara-Nya. Kau tidak akan tahu kapan
sebenarnya gaung itu ada sebelum terpisah dari
suaramu. "Aku hanya ingat, waktu itu aku penat
berteriak, memanggil-manggil nama-Mu," katamu.
Pada padang lengang sajakku, kau akan bertemu
bayang-bayang sendiri. Kau pasti amat mengenal
: siluet yang tak pernah menyahut seramah
apapun kau menyapa. "Kami juga tak pernah sepakat,
siapa menuntun siapa, berpantomim seperti ini," katamu.
Sunday, November 7, 2004
Kamus Empat Kata Berhuruf Awal K
kimka: Jelas ia bukan untuk membalut luka, padahal tetes
       darah ini terus saja, minta dibebat minta diseka. Ia
       jelas bukan untuk menghapus air mata, padahal tangis
       ini mungkin saja bisa terseka oleh wangi tubuhmu yang
       kubayangkan ada pada halus seratnya yang berbunga-bunga.
kintaka: Akhirnya luka dan airmata itu semakin lengkap semakin
       sempurna. Tersimpan beruturan sejak kemarin, esok dan hari
       depan. Akhirnya luka dan airmata itu tersimpan rapi dalam
       kenang dalam renung. Dalam bayang dalam tenung.
       Dalam senang dan dalam murung. Kau tegas memberi tanda,
       pada tiap lembar halaman-halaman yang selalu kubaca juga.
kirana: Aku hanya berharap ada terang yang datang. Mungkin bukan
       dari sinar tubuhmu, bukan cahaya matamu. Sebab aku tak berharap
       lagi, sejak kelam mataku bisa membaca setiap nestapa dalam
       gelap yang paling hitam, dalam hitam yang paling pekat. Aku
       hanya berharap ada terang yang datang, pecah dalam kelopak,
       ketika kubuka dan kupejamkan mata.
kirah: Tetapi harapan itu katamu, adalah buah mentah yang harus
       ditunggu. Tetapi menunggu itu kataku, adalah satu-satunya
       alasan bagiku untuk tidak beranjak dahulu dari rindang pohon
       yang menawarkan sebuah bangku: aku duduk bersama teduhnya,
       bersama jatuh dedaunannya. Tetapi akulah kelelawar, katamu,
       yang mencuri buah mentah sebelum ia matang dan jatuh
       ke tadah tanganmu. Tetapi, aku memang hanya ingin menunggu,
       kataku, tak peduli apakah kau hewan pengerat atau hantu.
       darah ini terus saja, minta dibebat minta diseka. Ia
       jelas bukan untuk menghapus air mata, padahal tangis
       ini mungkin saja bisa terseka oleh wangi tubuhmu yang
       kubayangkan ada pada halus seratnya yang berbunga-bunga.
kintaka: Akhirnya luka dan airmata itu semakin lengkap semakin
       sempurna. Tersimpan beruturan sejak kemarin, esok dan hari
       depan. Akhirnya luka dan airmata itu tersimpan rapi dalam
       kenang dalam renung. Dalam bayang dalam tenung.
       Dalam senang dan dalam murung. Kau tegas memberi tanda,
       pada tiap lembar halaman-halaman yang selalu kubaca juga.
kirana: Aku hanya berharap ada terang yang datang. Mungkin bukan
       dari sinar tubuhmu, bukan cahaya matamu. Sebab aku tak berharap
       lagi, sejak kelam mataku bisa membaca setiap nestapa dalam
       gelap yang paling hitam, dalam hitam yang paling pekat. Aku
       hanya berharap ada terang yang datang, pecah dalam kelopak,
       ketika kubuka dan kupejamkan mata.
kirah: Tetapi harapan itu katamu, adalah buah mentah yang harus
       ditunggu. Tetapi menunggu itu kataku, adalah satu-satunya
       alasan bagiku untuk tidak beranjak dahulu dari rindang pohon
       yang menawarkan sebuah bangku: aku duduk bersama teduhnya,
       bersama jatuh dedaunannya. Tetapi akulah kelelawar, katamu,
       yang mencuri buah mentah sebelum ia matang dan jatuh
       ke tadah tanganmu. Tetapi, aku memang hanya ingin menunggu,
       kataku, tak peduli apakah kau hewan pengerat atau hantu.
Kamus Empat Kata Berhuruf Awal A
Abimana: Jika semua akhirnya hanya berakhir di sini,
     kenapa kau harus begitu peduli dengan apa yang
     harus kau suapkan pada mulut sendiri? Jika jarak
     antara yang suci dan yang najis hanya sepanjang
     organ pencerna, kenapa harus begitu sibuk dengan
     apa yang harus kau kecap dengan lidah sendiri?
Abar: Ada yang mesti jadi pengingat, agar yang terlalu
     laju tertahan sewajarnya. Ada yang mesti jadi penahan
     agar yang terlalu lekas berlalu sepantasnya.
Abilah: Kita baru merasa diingatkan, ketika ada yang melepuh
     basah, di tubuh dan wajah. Perih saat ia di tengah amuk,
     juga bopeng parut ketika ia telah takluk. Kita seringkali
     hanya bisa diingatkan dengan jalan itu. Jalan serupa itu.
Abyad: Ia hanya sebuah warna, terang yang sewajarnya.
     Tapi kenapa tidak belajar tentang kesucian padanya?
     Agar yang putih tetap tak dicemari noda kekotoran,
     agar yang terang tetap memberi cahaya panduan.
     Memang ia hanya sebuah warna. Tetapi kenapa...
     kenapa kau harus begitu peduli dengan apa yang
     harus kau suapkan pada mulut sendiri? Jika jarak
     antara yang suci dan yang najis hanya sepanjang
     organ pencerna, kenapa harus begitu sibuk dengan
     apa yang harus kau kecap dengan lidah sendiri?
Abar: Ada yang mesti jadi pengingat, agar yang terlalu
     laju tertahan sewajarnya. Ada yang mesti jadi penahan
     agar yang terlalu lekas berlalu sepantasnya.
Abilah: Kita baru merasa diingatkan, ketika ada yang melepuh
     basah, di tubuh dan wajah. Perih saat ia di tengah amuk,
     juga bopeng parut ketika ia telah takluk. Kita seringkali
     hanya bisa diingatkan dengan jalan itu. Jalan serupa itu.
Abyad: Ia hanya sebuah warna, terang yang sewajarnya.
     Tapi kenapa tidak belajar tentang kesucian padanya?
     Agar yang putih tetap tak dicemari noda kekotoran,
     agar yang terang tetap memberi cahaya panduan.
     Memang ia hanya sebuah warna. Tetapi kenapa...
Setiap Hari Kau Bermain Cahaya Semesta
Sajak Pablo Neruda
Setiap hari kau bermain cahaya semesta,
tamu tak tampak mata, kau tiba dalam bunga dan air.
Kau lebih dari kepala putih yang kupegang erat ini
sebagai setangkai buah, setiap hari, di antar dua tangan ini.
Tak ada yang menyamaimu, sejak aku mencintaimu.
Maka biarkan aku bentangkan engkau di antara roncean kuning.
Siapa yang menulis namamu dengan aksara asap di antara bintang di selatan itu?
Oh, biarkan kukenang engkau seperti sebelum ada engkau.
Tiba-tiba angin menderu dan meledak di jendela tak terkuak.
Langit adalah jala digayuti bayang-bayang ikan.
Ke sinilah berangkat angin cepat atau lambat, seluruh angin.
Hujan pun menanggalkan bajunya.
Burung-burung pun beranjak. Menjauh.
Angin itu. Angin itu.
Aku hanya bisa menentang kekuatan manusia.
Badai menghamburkan dedaunan kelam
dan melenyapkan seluruh perahu yang semalam
ditambatkan di angkasa.
Engkau ada di sini. Engkau tak menjauh dari sini.
Kau akan menyahutku hingga tangis penghabisan.
Berpagutan padaku seakan kau dicekam ketakutan.
Meski pada ketika itu ada bayang asing berlari
merusuh di matamu.
Sekarang, juga sekarang, kau yang manis mungil, kau
membawa bunga bermadu,
dan bahkan dadamu pun sewangi aromanya.
Sementara angin nestapa menjagal kupu-kupu
aku jadi mencintaimu, dan rasa bahagiaku menggigit plum pada mulutmu.
Bagaimanakah kau mesti menanggung derita karena mesti
mengertikan aku, menerima kebuasanku, jiwa yang sendiri,
serta namaku yang kukabarkan pada mereka yang berlari.
Teramat kerap kita melihat bintang pagi terbakar, mengecup
mata kita, dan di atas kepala kita cahaya kelabu melawan
arah angin dihembus kipas yang menukar arah putar.
Kata-kataku jatuh sebagai hujan membasahimu, menyambarmu.
Telah sekian lama aku telah jatuh cinta pada tubuhmu
: indung mutiara disempurnakan sinar matahari.
Aku jauh mengembara seakan kau pemilik semesta.
Kelak aku bawakan kau bungah bunga-bunga dari
pegunungan, bunga lonceng biru, buah hazel, dan sekeranjang
kecupan jauh dari pedalaman.
Aku ingin melakukan itu denganmu,
seperti musim semi melayani pohon-pohon ceri.
Every Day You Play
Every day you play with the light of the universe.
Subtle visitor, you arrive in the flower and the water.
You are more than this white head that I hold tightly
as a cluster of fruit, every day, between my hands.
You are like nobody since I love you.
Let me spread you out among yellow garlands.
Who writes your name in letters of smoke among the stars of the south?
Oh let me remember you as you were before you existed.
Suddenly the wind howls and bangs at my shut window.
The sky is a net crammed with shadowy fish.
Here all the winds let go sooner or later, all of them.
The rain takes off her clothes.
The birds go by, fleeing.
The wind. The wind.
I can contend only against the power of men.
The storm whirls dark leaves
and turns loose all the boats that were moored last night to the sky.
You are here. Oh, you do not run away.
You will answer me to the last cry.
Cling to me as though you were frightened.
Even so, at one time a strange shadow ran through your eyes.
Now, now too, little one, you bring me honeysuckle,
and even your breasts smell of it.
While the sad wind goes slaughtering butterflies
I love you, and my happiness bites the plum of your mouth.
How you must have suffered getting accustomed to me,
my savage, solitary soul, my name that sends them all running.
So many times we have seen the morning star burn, kissing our eyes,
and over our heads the gray light unwind in turning fans.
My words rained over you, stroking you.
A long time I have loved the sunned mother-of-pearl of your body.
I go so far as to think that you own the universe.
I will bring you happy flowers from the mountains, bluebells,
dark hazels, and rustic baskets of kisses.
I want to do with you
what spring does with the cherry trees.
Setiap hari kau bermain cahaya semesta,
tamu tak tampak mata, kau tiba dalam bunga dan air.
Kau lebih dari kepala putih yang kupegang erat ini
sebagai setangkai buah, setiap hari, di antar dua tangan ini.
Tak ada yang menyamaimu, sejak aku mencintaimu.
Maka biarkan aku bentangkan engkau di antara roncean kuning.
Siapa yang menulis namamu dengan aksara asap di antara bintang di selatan itu?
Oh, biarkan kukenang engkau seperti sebelum ada engkau.
Tiba-tiba angin menderu dan meledak di jendela tak terkuak.
Langit adalah jala digayuti bayang-bayang ikan.
Ke sinilah berangkat angin cepat atau lambat, seluruh angin.
Hujan pun menanggalkan bajunya.
Burung-burung pun beranjak. Menjauh.
Angin itu. Angin itu.
Aku hanya bisa menentang kekuatan manusia.
Badai menghamburkan dedaunan kelam
dan melenyapkan seluruh perahu yang semalam
ditambatkan di angkasa.
Engkau ada di sini. Engkau tak menjauh dari sini.
Kau akan menyahutku hingga tangis penghabisan.
Berpagutan padaku seakan kau dicekam ketakutan.
Meski pada ketika itu ada bayang asing berlari
merusuh di matamu.
Sekarang, juga sekarang, kau yang manis mungil, kau
membawa bunga bermadu,
dan bahkan dadamu pun sewangi aromanya.
Sementara angin nestapa menjagal kupu-kupu
aku jadi mencintaimu, dan rasa bahagiaku menggigit plum pada mulutmu.
Bagaimanakah kau mesti menanggung derita karena mesti
mengertikan aku, menerima kebuasanku, jiwa yang sendiri,
serta namaku yang kukabarkan pada mereka yang berlari.
Teramat kerap kita melihat bintang pagi terbakar, mengecup
mata kita, dan di atas kepala kita cahaya kelabu melawan
arah angin dihembus kipas yang menukar arah putar.
Kata-kataku jatuh sebagai hujan membasahimu, menyambarmu.
Telah sekian lama aku telah jatuh cinta pada tubuhmu
: indung mutiara disempurnakan sinar matahari.
Aku jauh mengembara seakan kau pemilik semesta.
Kelak aku bawakan kau bungah bunga-bunga dari
pegunungan, bunga lonceng biru, buah hazel, dan sekeranjang
kecupan jauh dari pedalaman.
Aku ingin melakukan itu denganmu,
seperti musim semi melayani pohon-pohon ceri.
Every Day You Play
Every day you play with the light of the universe.
Subtle visitor, you arrive in the flower and the water.
You are more than this white head that I hold tightly
as a cluster of fruit, every day, between my hands.
You are like nobody since I love you.
Let me spread you out among yellow garlands.
Who writes your name in letters of smoke among the stars of the south?
Oh let me remember you as you were before you existed.
Suddenly the wind howls and bangs at my shut window.
The sky is a net crammed with shadowy fish.
Here all the winds let go sooner or later, all of them.
The rain takes off her clothes.
The birds go by, fleeing.
The wind. The wind.
I can contend only against the power of men.
The storm whirls dark leaves
and turns loose all the boats that were moored last night to the sky.
You are here. Oh, you do not run away.
You will answer me to the last cry.
Cling to me as though you were frightened.
Even so, at one time a strange shadow ran through your eyes.
Now, now too, little one, you bring me honeysuckle,
and even your breasts smell of it.
While the sad wind goes slaughtering butterflies
I love you, and my happiness bites the plum of your mouth.
How you must have suffered getting accustomed to me,
my savage, solitary soul, my name that sends them all running.
So many times we have seen the morning star burn, kissing our eyes,
and over our heads the gray light unwind in turning fans.
My words rained over you, stroking you.
A long time I have loved the sunned mother-of-pearl of your body.
I go so far as to think that you own the universe.
I will bring you happy flowers from the mountains, bluebells,
dark hazels, and rustic baskets of kisses.
I want to do with you
what spring does with the cherry trees.
Cahaya yang Mengemasmu
Sajak Pablo Neruda
Cahaya yang mengemasmu dalam kobar kekal.
Si berkabung pucat terkacau, berdiri di jalan itu
menghadang baling-baling tua, waktu yang senja
berputar di seputarmu.
Terdiam kelu, kawanku
sendiri dalam kesendirian saat-saat yang mati ini
dan penuh terisi dengan api yang hidup,
menerima sepenuhnya hari-hari yang runtuh.
Sekeranjang buah jatuh dari matahari pada kelam bajumu.
Akar-akar malam tiba-tiba tumbuh dari jiwamu,
dan segala yang sembunyi di dalammu menghambur lagi
lalu menjelma sesosok yang pucat biru,
kau yang baru terlahir, mengambil menyantap.
Oh, betapa dahsyat, betapa semarak, serentak menarik
lingkaran yang bergerak menukar hitam dan warna kencana:
bangkit, memandu di huluan, menguasai satu ciptaan
begitu kaya hidup, padanya bunga-bunga musnah
dipenuhi duka nestapa.
The Light Wraps You
The light wraps you in its mortal flame.
Abstracted pale mourner, standing that way
against the old propellers of the twilight
that revolves around you.
Speechless, my friend,
alone in the loneliness of this hour of the dead
and filled with the lives of fire,
pure heir of the ruined day.
A bough of fruit falls from the sun on your dark garment.
The great roots of night grow suddenly from your soul,
and the things that hide in you come out again
so that a blue and pallid people,
your newly born, takes nourishment.
Oh magnificent and fecund and magnetic slave
of the circle that moves in turn through black and gold:
rise, lead and possess a creation
so rich in life that its flowers perish
and it is full of sadness.
Cahaya yang mengemasmu dalam kobar kekal.
Si berkabung pucat terkacau, berdiri di jalan itu
menghadang baling-baling tua, waktu yang senja
berputar di seputarmu.
Terdiam kelu, kawanku
sendiri dalam kesendirian saat-saat yang mati ini
dan penuh terisi dengan api yang hidup,
menerima sepenuhnya hari-hari yang runtuh.
Sekeranjang buah jatuh dari matahari pada kelam bajumu.
Akar-akar malam tiba-tiba tumbuh dari jiwamu,
dan segala yang sembunyi di dalammu menghambur lagi
lalu menjelma sesosok yang pucat biru,
kau yang baru terlahir, mengambil menyantap.
Oh, betapa dahsyat, betapa semarak, serentak menarik
lingkaran yang bergerak menukar hitam dan warna kencana:
bangkit, memandu di huluan, menguasai satu ciptaan
begitu kaya hidup, padanya bunga-bunga musnah
dipenuhi duka nestapa.
The Light Wraps You
The light wraps you in its mortal flame.
Abstracted pale mourner, standing that way
against the old propellers of the twilight
that revolves around you.
Speechless, my friend,
alone in the loneliness of this hour of the dead
and filled with the lives of fire,
pure heir of the ruined day.
A bough of fruit falls from the sun on your dark garment.
The great roots of night grow suddenly from your soul,
and the things that hide in you come out again
so that a blue and pallid people,
your newly born, takes nourishment.
Oh magnificent and fecund and magnetic slave
of the circle that moves in turn through black and gold:
rise, lead and possess a creation
so rich in life that its flowers perish
and it is full of sadness.
Friday, November 5, 2004
Inilah Aku yang Mencintaimu
Sajak Pablo Neruda
Inilah aku yang mencintaimu.
Pada pinus hitam angin mengurai kekusutan.
Bulan berpendar seperti fosfor di air tak berhulu-muara.
Hari demi hari, sama saja, saling memburu-mengejar.
Salju tak tergulung dari sosok-sosok berdansa.
Camar berbulu perak tergelincir terbang dari barat.
Sesekali tampak sebuah layar. Tinggi, bintang yang jauh.
O ada silang hitam sebuah kapal.
Bersendiri.
Sesekali aku terbangun diri hari, dan jiwaku basah.
Di kejauhan laut bergemuruh disahut gemuruh.
Inilah pelabuhan itu.
Inilah aku yang mencintaimu.
Inilah aku, ketika cakrawala sia-sia menyembunyikanmu
Aku mencintaimu walau segala membeku mengepung.
Sesekali kecupanku berlayar bersama kapal besar
menyeberangi laut menuju yang tak tersampai.
Aku merasa dicampakkan bagai jangkar tua.
Pelabuhan makin murung ketika petang tertambat di sana.
Hidupku jatuh kian letih, lapar tanpa ada sebabnya.
Aku mencintai apa yang tak bisa kupunyai. Engkau begitu jauh.
Kebencianku tak terebut oleh senja yang lamban.
Tapi malam tiba jua, dan mulai bernyanyi bagiku.
Bulan membalikkan arah jarum jam mimpinya.
Bintang terbesar menatapku dengan matamu.
Dan seperti aku mencintaimu, pinus dan angin
daun yang berjalin ingin melagukan namamu.
Here I Love You
Here I love you.
In the dark pines the wind disentangles itself.
The moon glows like phosphorous on the vagrant waters.
Days, all one kind, go chasing each other.
The snow unfurls in dancing figures.
A silver gull slips down from the west.
Sometimes a sail. High, high stars.
Oh the black cross of a ship.
Alone.
Sometimes I get up early and even my soul is wet.
Far away the sea sounds and resounds.
This is a port.
Here I love you.
Here I love you and the horizon hides you in vain.
I love you still among these cold things.
Sometimes my kisses go on those heavy vessels
that cross the sea towards no arrival.
I see myself forgotten like those old anchors.
The piers sadden when the afternoon moors there.
My life grows tired, hungry to no purpose.
I love what I do not have. You are so far.
My loathing wrestles with the slow twilights.
But night comes and starts to sing to me.
The moon turns its clockwork dream.
The biggest stars look at me with your eyes.
And as I love you, the pines in the wind
want to sing your name with their leaves of wire.
Inilah aku yang mencintaimu.
Pada pinus hitam angin mengurai kekusutan.
Bulan berpendar seperti fosfor di air tak berhulu-muara.
Hari demi hari, sama saja, saling memburu-mengejar.
Salju tak tergulung dari sosok-sosok berdansa.
Camar berbulu perak tergelincir terbang dari barat.
Sesekali tampak sebuah layar. Tinggi, bintang yang jauh.
O ada silang hitam sebuah kapal.
Bersendiri.
Sesekali aku terbangun diri hari, dan jiwaku basah.
Di kejauhan laut bergemuruh disahut gemuruh.
Inilah pelabuhan itu.
Inilah aku yang mencintaimu.
Inilah aku, ketika cakrawala sia-sia menyembunyikanmu
Aku mencintaimu walau segala membeku mengepung.
Sesekali kecupanku berlayar bersama kapal besar
menyeberangi laut menuju yang tak tersampai.
Aku merasa dicampakkan bagai jangkar tua.
Pelabuhan makin murung ketika petang tertambat di sana.
Hidupku jatuh kian letih, lapar tanpa ada sebabnya.
Aku mencintai apa yang tak bisa kupunyai. Engkau begitu jauh.
Kebencianku tak terebut oleh senja yang lamban.
Tapi malam tiba jua, dan mulai bernyanyi bagiku.
Bulan membalikkan arah jarum jam mimpinya.
Bintang terbesar menatapku dengan matamu.
Dan seperti aku mencintaimu, pinus dan angin
daun yang berjalin ingin melagukan namamu.
Here I Love You
Here I love you.
In the dark pines the wind disentangles itself.
The moon glows like phosphorous on the vagrant waters.
Days, all one kind, go chasing each other.
The snow unfurls in dancing figures.
A silver gull slips down from the west.
Sometimes a sail. High, high stars.
Oh the black cross of a ship.
Alone.
Sometimes I get up early and even my soul is wet.
Far away the sea sounds and resounds.
This is a port.
Here I love you.
Here I love you and the horizon hides you in vain.
I love you still among these cold things.
Sometimes my kisses go on those heavy vessels
that cross the sea towards no arrival.
I see myself forgotten like those old anchors.
The piers sadden when the afternoon moors there.
My life grows tired, hungry to no purpose.
I love what I do not have. You are so far.
My loathing wrestles with the slow twilights.
But night comes and starts to sing to me.
The moon turns its clockwork dream.
The biggest stars look at me with your eyes.
And as I love you, the pines in the wind
want to sing your name with their leaves of wire.
Pada Keluasan Belantara Pinus
Sajak Pablo Neruda
Ah luasnya belantara pinus, desiran ombak pecah,
cahaya yang bemain perlahan, lonceng yang sendirian,
senjakala jauh di matamu, boneka mainan,
cangkang bumi, bagi siapa bumi bernyanyi!
Padamu sungan bernyanyi dan jiwamu mengalir padanya
seperti hasratmu, dan kau kirim itu kemana kau ingini.
Haluan harapanmu menuju jalanku
dan dalam hiruk pikuk, hendak kulepas anak panahku.
Dari segala sisi kulihat pinggulmu kabut,
dalam kesunyianmu memburu jam-jam terundung duka;
kecupanku adalah sauh, dan lembabku merindukan sarang
di dalam dirimu, di dalam rengkuh lengan batu beningmu.
Ah, suara misterimu, suara yang mencinta dentang dan
jadi kian gelap dalam gema dan malam yang sekarat!
Maka dalam waktu yang dalam, kulihat, di atas padang,
burung ekor putih berseru di mulut angin.
Ah Vastness of Pines
Ah vastness of pines, murmur of waves breaking,
slow play of lights, solitary bell,
twilight falling in your eyes, toy doll,
earth-shell, inw hom the earth sings!
In you the rivers sing and my soul flees in them
as you desire, and you send it where you will.
Aim my road on your bow of hope
and in a frenzy I will free my flock of arrows.
On all sides I see your waist of fog,
and your silence hunts down my afflicted hours;
my kisses anchor, and my moist desire nests
in you with your arms of transparent stone.
Ah your mysterious voice that love tolls and darkens
in the resonant and dying evening!
Thus in deep hours I have seen, over the fields,
the ears of wheat tolling in the mouth of the wind.
Ah luasnya belantara pinus, desiran ombak pecah,
cahaya yang bemain perlahan, lonceng yang sendirian,
senjakala jauh di matamu, boneka mainan,
cangkang bumi, bagi siapa bumi bernyanyi!
Padamu sungan bernyanyi dan jiwamu mengalir padanya
seperti hasratmu, dan kau kirim itu kemana kau ingini.
Haluan harapanmu menuju jalanku
dan dalam hiruk pikuk, hendak kulepas anak panahku.
Dari segala sisi kulihat pinggulmu kabut,
dalam kesunyianmu memburu jam-jam terundung duka;
kecupanku adalah sauh, dan lembabku merindukan sarang
di dalam dirimu, di dalam rengkuh lengan batu beningmu.
Ah, suara misterimu, suara yang mencinta dentang dan
jadi kian gelap dalam gema dan malam yang sekarat!
Maka dalam waktu yang dalam, kulihat, di atas padang,
burung ekor putih berseru di mulut angin.
Ah Vastness of Pines
Ah vastness of pines, murmur of waves breaking,
slow play of lights, solitary bell,
twilight falling in your eyes, toy doll,
earth-shell, inw hom the earth sings!
In you the rivers sing and my soul flees in them
as you desire, and you send it where you will.
Aim my road on your bow of hope
and in a frenzy I will free my flock of arrows.
On all sides I see your waist of fog,
and your silence hunts down my afflicted hours;
my kisses anchor, and my moist desire nests
in you with your arms of transparent stone.
Ah your mysterious voice that love tolls and darkens
in the resonant and dying evening!
Thus in deep hours I have seen, over the fields,
the ears of wheat tolling in the mouth of the wind.
Telah Kuberi Tanda pada Peta Tubuhmu
Sajak Pablo Neruda
Telah kuberi tanda pada peta di tubuhmu
dengan tanda bersilangan api.
Mulutku memapas melintasi: laba-laba hendak sembunyi.
Padamu, di sebalikmu, sungkanmalu, tersebab haus itu.
Cerita bagimu di pesisir petang, tentang
boneka lembut dan murung, tapi kau jangan bersedih.
Ada angsa, pohon, sesuatu yang jauh tapi bahagia.
Anggur sedang musim, musim panen membanjir buah.
Aku, yang tinggal di pelabuhan dimana aku mencintaimu.
Kesunyian melintas bersama mimpi dan kebisuan.
Terdesak ke sudut di antara laut dan kesedihan.
Mengigau, tanpa suara, di antara dua pendayung bisu.
Di antara bibir da suara sesuatu yang berangkat maut.
Sesuatu bersayap burung, sesuatu duka sesuatu terlupa.
Seperti jala tak bisa menahan air.
Boneka mainanku, hanya beberapa tetes sisa menggigil.
Walau, ada juga sesuatu menyanyikan kata yang diburu ini.
Sesuatu bernyanyi, sesuatu mendaki ke mulutku yang lapar.
Oh betapa inginnya merayakanmu dengan seluruh kata suka cita.
Menyanyi, terbakar, meruah, seperti menara lonceng di tangan si gila.
Kelembutan nestapaku, apa yang menjelangmu sekali tiba?
Ketika telah kuraih yang paling memukau puncak paling beku
hatiku jadi terkatup, bagai bunga malam hari.
I Have Gone Marking
I have gone marking the atlas of your body
with crosses of fire.
My mouth went across: a spider, trying to hide.
In you, behind you, timid, driven by thirst.
Stories to tell you on the shore of evening,
sad and gentle doll, so that you should not be sad.
A swan, a tree, something far away and happy.
The season of grapes, the ripe and fruitful season.
I who lived in a harbor from which I loved you.
The solitude crossed with dream and with silence.
Penned up between the sea and sadness.
Soundless, delirious, between two motionless gondoliers.
Between the lips and the voice something goes dying.
Something with the wings of a bird, something of anguish and oblivion.
The way nets cannot hold water.
My toy doll, only a few drops are left trembling.
Even so, something sings in these fugitive words.
Something sings, something climbs to my ravenous mouth.
Oh to be able to celebrate you with all the words of joy.
Sing, burn, flee, like a belfry at the hands of a madman.
My sad tenderness, what comes over you all at once?
When I have reached the most awesome and the coldest summit
my heart closes like a nocturnal flower.
Telah kuberi tanda pada peta di tubuhmu
dengan tanda bersilangan api.
Mulutku memapas melintasi: laba-laba hendak sembunyi.
Padamu, di sebalikmu, sungkanmalu, tersebab haus itu.
Cerita bagimu di pesisir petang, tentang
boneka lembut dan murung, tapi kau jangan bersedih.
Ada angsa, pohon, sesuatu yang jauh tapi bahagia.
Anggur sedang musim, musim panen membanjir buah.
Aku, yang tinggal di pelabuhan dimana aku mencintaimu.
Kesunyian melintas bersama mimpi dan kebisuan.
Terdesak ke sudut di antara laut dan kesedihan.
Mengigau, tanpa suara, di antara dua pendayung bisu.
Di antara bibir da suara sesuatu yang berangkat maut.
Sesuatu bersayap burung, sesuatu duka sesuatu terlupa.
Seperti jala tak bisa menahan air.
Boneka mainanku, hanya beberapa tetes sisa menggigil.
Walau, ada juga sesuatu menyanyikan kata yang diburu ini.
Sesuatu bernyanyi, sesuatu mendaki ke mulutku yang lapar.
Oh betapa inginnya merayakanmu dengan seluruh kata suka cita.
Menyanyi, terbakar, meruah, seperti menara lonceng di tangan si gila.
Kelembutan nestapaku, apa yang menjelangmu sekali tiba?
Ketika telah kuraih yang paling memukau puncak paling beku
hatiku jadi terkatup, bagai bunga malam hari.
I Have Gone Marking
I have gone marking the atlas of your body
with crosses of fire.
My mouth went across: a spider, trying to hide.
In you, behind you, timid, driven by thirst.
Stories to tell you on the shore of evening,
sad and gentle doll, so that you should not be sad.
A swan, a tree, something far away and happy.
The season of grapes, the ripe and fruitful season.
I who lived in a harbor from which I loved you.
The solitude crossed with dream and with silence.
Penned up between the sea and sadness.
Soundless, delirious, between two motionless gondoliers.
Between the lips and the voice something goes dying.
Something with the wings of a bird, something of anguish and oblivion.
The way nets cannot hold water.
My toy doll, only a few drops are left trembling.
Even so, something sings in these fugitive words.
Something sings, something climbs to my ravenous mouth.
Oh to be able to celebrate you with all the words of joy.
Sing, burn, flee, like a belfry at the hands of a madman.
My sad tenderness, what comes over you all at once?
When I have reached the most awesome and the coldest summit
my heart closes like a nocturnal flower.
Monday, November 1, 2004
Jiwa yang Tercekau
Sajak Pablo Neruda
Bahkan kita pun tersesat di senja kala ini.
Tak ada yang melihat kita berpegang tangan malam ini
malam yang meluruhkan birunya ke dunia.
Aku melihat dari jendela yang terbuka
matahari berpesta, tenggelam di kejauhan puncak gunung.
Sesekali tampak sepotong matahari
terbakar seperti keping uang di antar dua tanganku.
Aku terkenang engkau, hati tercekau
dalam duka itu, dukaku itu, engkau tahu.
Lalu engkau, dimanakah?
Lalu di sana itu, siapakah?
Lalu yang disebutnya, apakah?
Kenapa saat segenap cinta tiba tiba-tiba
saat itu duka meraja dan kurasa engkau jauh disana?
Buku tersia senantiasa tak terbuka saat senja tiba
dan sweater biruku teronggok: simpuh anjing luka.
Selalu, selalu saja engkau menyusut melintasi malam
melewati senja, gelap yang menelan patung-patung.
The Clenched Soul
We have lost event this twilight.
No one saw us this evening hand in hand
while the blue night dropped on the world.
I have seen from my window
the fiesta of sunset int he distant mountaintops.
Sometimes a piece of sun
burned like a coin between my hands.
I remembered you with my soul clenched
in that sadness of mine that you know.
Where were you then?
Who else was there?
Saying what?
Why will the whole of love come on me suddenly
when I am sad and feel you are far away?
The book fell that is always turned to at twilight
and my cape rolled like a hurt dog at my feet.
Always, always you recede through the evenings
towards where the twilight goes erasing statues.
Bahkan kita pun tersesat di senja kala ini.
Tak ada yang melihat kita berpegang tangan malam ini
malam yang meluruhkan birunya ke dunia.
Aku melihat dari jendela yang terbuka
matahari berpesta, tenggelam di kejauhan puncak gunung.
Sesekali tampak sepotong matahari
terbakar seperti keping uang di antar dua tanganku.
Aku terkenang engkau, hati tercekau
dalam duka itu, dukaku itu, engkau tahu.
Lalu engkau, dimanakah?
Lalu di sana itu, siapakah?
Lalu yang disebutnya, apakah?
Kenapa saat segenap cinta tiba tiba-tiba
saat itu duka meraja dan kurasa engkau jauh disana?
Buku tersia senantiasa tak terbuka saat senja tiba
dan sweater biruku teronggok: simpuh anjing luka.
Selalu, selalu saja engkau menyusut melintasi malam
melewati senja, gelap yang menelan patung-patung.
The Clenched Soul
We have lost event this twilight.
No one saw us this evening hand in hand
while the blue night dropped on the world.
I have seen from my window
the fiesta of sunset int he distant mountaintops.
Sometimes a piece of sun
burned like a coin between my hands.
I remembered you with my soul clenched
in that sadness of mine that you know.
Where were you then?
Who else was there?
Saying what?
Why will the whole of love come on me suddenly
when I am sad and feel you are far away?
The book fell that is always turned to at twilight
and my cape rolled like a hurt dog at my feet.
Always, always you recede through the evenings
towards where the twilight goes erasing statues.
Agar Kelak Kau Simak Aku
Sajak Pablo Neruda
Agar kelak kau simak aku
kata-kataku
kadang tumbuh menerawang
seperti jejak-jejak camar di sepanjang pantai.
Kalung, lonceng kerasukan
untuk tanganmu halus, selembut buah anggur.
Dan kusaksikan kata-kataku
Kata-kata yang lebih punyamu daripada milikku.
Kata-kata yang memanjati nestapa lama bagai liana.
Ia juga merambati dinding-dinding kabut.
Kau menanggung kutuk untuk pertarungan kejam ini.
Kata-kata melarikan diri dari jerumun gelapku.
Kau mengisi segalanya, kau mengisi semuanya.
Sebelum engkau, mereka menghuni kesunyian yang kau
tinggali, mereka lebih berguna bagi dukaku daripada kau.
Sekarang aku ingin mereka berkata apa yang ingin kukatakan
padamu, membuat kau mendengar apa yang kuinginkan
kau mendengarnya.
Angin penderitaan masih terkandung seperti biasa.
Sesekali mimpi puting beliung mengetuk juga.
Kau dengar, suara lain di dalam suara nestapaku.
Keluh mulut yang dahulu, darah permohonan dahulu jua.
Cintai aku, kawan. Jangan abaikan. Ikuti aku. Ikuti aku,
kawan, di ombang-ambing gelombang penderitaan ini.
Tapi kata-kataku jandi ternoda oleh cintamu.
Kau mengisi segalanya, kau mengisi semuanya.
Lalu kubuat kata-kataku menjadi kalung tak berujung
untuk tanganmu putih, halus selembut buah anggur.
So That You Will Hear Me
So that you will hear me
my words
sometimes grow thin
as the tracks of the gulls on the beaches.
Necklace, drunken bell
for your hands smooth as grapes.
And I watch my words from a long way off.
They are more yours than mine.
They climb on my old suffering like ivy.
It climbs the same way on damp walls.
You are to blame for this cruel sport.
They are fleeing from my dark lair.
You fill everything, you fill everything.
Before you they peopled the solitude that you occupy,
and they are more used to my sadness than you are.
Now I want them to say what I want to say to you
to make you hear as I want you to hear me.
The wind of anguish still hauls on them as usual.
Sometimes hurricanes of dreams still knock them over.
You listen to other voices in my painful voice.
Lament of old mouths, blood of old supplications.
Love me, companion. Don't forsake me. Follow me.
Follow me, companion, on this wave of anguish.
But my words become stained with your love.
You occupy everything, you occupy everything.
I am making them into an endless necklace
for your white hands, smooth as grapes.
Agar kelak kau simak aku
kata-kataku
kadang tumbuh menerawang
seperti jejak-jejak camar di sepanjang pantai.
Kalung, lonceng kerasukan
untuk tanganmu halus, selembut buah anggur.
Dan kusaksikan kata-kataku
Kata-kata yang lebih punyamu daripada milikku.
Kata-kata yang memanjati nestapa lama bagai liana.
Ia juga merambati dinding-dinding kabut.
Kau menanggung kutuk untuk pertarungan kejam ini.
Kata-kata melarikan diri dari jerumun gelapku.
Kau mengisi segalanya, kau mengisi semuanya.
Sebelum engkau, mereka menghuni kesunyian yang kau
tinggali, mereka lebih berguna bagi dukaku daripada kau.
Sekarang aku ingin mereka berkata apa yang ingin kukatakan
padamu, membuat kau mendengar apa yang kuinginkan
kau mendengarnya.
Angin penderitaan masih terkandung seperti biasa.
Sesekali mimpi puting beliung mengetuk juga.
Kau dengar, suara lain di dalam suara nestapaku.
Keluh mulut yang dahulu, darah permohonan dahulu jua.
Cintai aku, kawan. Jangan abaikan. Ikuti aku. Ikuti aku,
kawan, di ombang-ambing gelombang penderitaan ini.
Tapi kata-kataku jandi ternoda oleh cintamu.
Kau mengisi segalanya, kau mengisi semuanya.
Lalu kubuat kata-kataku menjadi kalung tak berujung
untuk tanganmu putih, halus selembut buah anggur.
So That You Will Hear Me
So that you will hear me
my words
sometimes grow thin
as the tracks of the gulls on the beaches.
Necklace, drunken bell
for your hands smooth as grapes.
And I watch my words from a long way off.
They are more yours than mine.
They climb on my old suffering like ivy.
It climbs the same way on damp walls.
You are to blame for this cruel sport.
They are fleeing from my dark lair.
You fill everything, you fill everything.
Before you they peopled the solitude that you occupy,
and they are more used to my sadness than you are.
Now I want them to say what I want to say to you
to make you hear as I want you to hear me.
The wind of anguish still hauls on them as usual.
Sometimes hurricanes of dreams still knock them over.
You listen to other voices in my painful voice.
Lament of old mouths, blood of old supplications.
Love me, companion. Don't forsake me. Follow me.
Follow me, companion, on this wave of anguish.
But my words become stained with your love.
You occupy everything, you occupy everything.
I am making them into an endless necklace
for your white hands, smooth as grapes.
Bersandar pada Hari Petang
Sajak Pablo Neruda
Bersandar pada hari petang kulempar jala dukaku
ke kedalaman samudera matamu.
Ada bubung lautan api amat tinggi, sepiku memanjang dan terkobar,
lengannya memutar arah seperti ada lelaki terbenam.
Kukirimkan sinyal merah ke seberang matamu yang tak ada
yang bergerak seperti laut di seputar mercusuar.
Yang tetap ada padamu adalah gelap, perempuan jauhku,
dari rasa hormatmu sesekali pantai ketakutan itu menjelma.
Bersandar pada hari petang kuterbangkan jala dukaku
ke laut itu yang mendebar-debar di samudera matamu.
Burung-burung malam mematuki bintang yang pertama
bintang yang berkilat seperti jiwaku kala kucinta engkau.
Malam menderap seperti bayang-bayang kuda betina
biru surainya berguguran menebar di muka bumi.
Leaning into the Afternoons
Leaning into the afternoons I cast my sad nets
towards your oceanic eyes.
There in the highest blaze my solitude lengthens and flames,
its arms turning like a drowning man's.
I send out red signals across your absent eyes
that move like the sea near a lighthouse.
You keep only darkness, my distant female,
from your regard sometimes the coast of dread emerges.
Leaning into the afternoons I fling my sad nets
to that sea that beats on your marine eyes.
The birds of night peck at the first stars
that flash like my soul when I love you.
The night gallops on its shadowy mare
shedding blue tassels over the land.
Bersandar pada hari petang kulempar jala dukaku
ke kedalaman samudera matamu.
Ada bubung lautan api amat tinggi, sepiku memanjang dan terkobar,
lengannya memutar arah seperti ada lelaki terbenam.
Kukirimkan sinyal merah ke seberang matamu yang tak ada
yang bergerak seperti laut di seputar mercusuar.
Yang tetap ada padamu adalah gelap, perempuan jauhku,
dari rasa hormatmu sesekali pantai ketakutan itu menjelma.
Bersandar pada hari petang kuterbangkan jala dukaku
ke laut itu yang mendebar-debar di samudera matamu.
Burung-burung malam mematuki bintang yang pertama
bintang yang berkilat seperti jiwaku kala kucinta engkau.
Malam menderap seperti bayang-bayang kuda betina
biru surainya berguguran menebar di muka bumi.
Leaning into the Afternoons
Leaning into the afternoons I cast my sad nets
towards your oceanic eyes.
There in the highest blaze my solitude lengthens and flames,
its arms turning like a drowning man's.
I send out red signals across your absent eyes
that move like the sea near a lighthouse.
You keep only darkness, my distant female,
from your regard sometimes the coast of dread emerges.
Leaning into the afternoons I fling my sad nets
to that sea that beats on your marine eyes.
The birds of night peck at the first stars
that flash like my soul when I love you.
The night gallops on its shadowy mare
shedding blue tassels over the land.
Aku Mengenangmu Seperti...
Sajak Pablo Neruda
Kukenang kau sebagai kau di musim gugur terakhir.
Dengan baret hijau dan senyap di hati kesunyian.
Di matamu lidah api senja hari bertarung berkobar.
Dan dedaunan berguguran ke muka kedung jiwamu.
Lenganku berangkulan seperti tanaman merambat.
Dalam teduh, dedaunan merangkum suaramu, perlahan.
Pukau unggun api membakar rasa hausku.
Anggun bakung biru, terpintal terjalin di jiwaku.
Seperti matamu mengembara, musim gugur jauh di sana:
baret kelabu, suara burung, hati seperti rumah mendekat
menjadi arah, kemana rindu yang parah berpindah
dan kecupan-kecupanku rubuh, bahagia bagai baraapi.
Langit dari sebuah kapal. Padang dari perbukitan:
Kenanganmu tercipta dari cahaya, kabut, dan kolam diam!
Melampaui matamu, menjauh lagi, malam-malam terbakar.
Dedaunan kering musim gugur menghambur di jiwamu.
I Remember You As You Were
I remember you as you were in the last autumn.
You were the grey beret and the still heart.
In your eyes the flames of the twilight fought on.
And the leaves fell in the water of your soul.
Clasping my arms like a climbing plant
the leaves garnered your voice, that was slow and at peace.
Bonfire of awe in which my thirst was burning.
Sweet blue hyacinth twisted over my soul.
I feel your eyes travelling, and the autumn is far off:
grey beret, voice of a bird, heart like a house
towards which my deep longings migrated
and my kisses fell, happy as embers.
Sky from a ship. Field from the hills:
Your memory is made of light, of smoke, of a still pond!
Beyond your eyes, farther on, the evenings were blazing.
Dry autumn leaves revolved in your soul.
Kukenang kau sebagai kau di musim gugur terakhir.
Dengan baret hijau dan senyap di hati kesunyian.
Di matamu lidah api senja hari bertarung berkobar.
Dan dedaunan berguguran ke muka kedung jiwamu.
Lenganku berangkulan seperti tanaman merambat.
Dalam teduh, dedaunan merangkum suaramu, perlahan.
Pukau unggun api membakar rasa hausku.
Anggun bakung biru, terpintal terjalin di jiwaku.
Seperti matamu mengembara, musim gugur jauh di sana:
baret kelabu, suara burung, hati seperti rumah mendekat
menjadi arah, kemana rindu yang parah berpindah
dan kecupan-kecupanku rubuh, bahagia bagai baraapi.
Langit dari sebuah kapal. Padang dari perbukitan:
Kenanganmu tercipta dari cahaya, kabut, dan kolam diam!
Melampaui matamu, menjauh lagi, malam-malam terbakar.
Dedaunan kering musim gugur menghambur di jiwamu.
I Remember You As You Were
I remember you as you were in the last autumn.
You were the grey beret and the still heart.
In your eyes the flames of the twilight fought on.
And the leaves fell in the water of your soul.
Clasping my arms like a climbing plant
the leaves garnered your voice, that was slow and at peace.
Bonfire of awe in which my thirst was burning.
Sweet blue hyacinth twisted over my soul.
I feel your eyes travelling, and the autumn is far off:
grey beret, voice of a bird, heart like a house
towards which my deep longings migrated
and my kisses fell, happy as embers.
Sky from a ship. Field from the hills:
Your memory is made of light, of smoke, of a still pond!
Beyond your eyes, farther on, the evenings were blazing.
Dry autumn leaves revolved in your soul.
Aku ingin jadi keheningan untukmu
Sajak Pablo Neruda
Aku ingin jadi keheningan untukmu: seakan kau tak ada,
dan kau dengar aku dari jauh, tapi suaraku tak menyentuhmu.
Seperti matamu yang mengalur hingga jauh
seperti ada sebuah kecupan yang mengunci mulutmu.
Seperti segalanya terpenuhi dengan jiwaku
Kau menjelma dari segalanya, memenuhi jiwaku.
Engkau seperti jiwaku, kupu-kupu mimpi,
dan engkau seperti kata Melakoli.
Aku ingin jadi keheningan untukmu: dan kau berjauh jarak.
Suara itu seperti engkau meratap, seperti merpati suara kupu-kupu.
Kau mendengarku dari jauh, suaraku tak mencapaimu:
Biarkan aku datang padamu menjadi hening dalam sunyimu.
Dan biarkan aku bicara denganmu, dengan kesunyianmu
terang seperti lampu, seadanya bagai seutas cincin.
Engkau seperti malam, menyimpan keheningan dan konstelasi.
Sunyimu adalah bintang, memencil jauh dan bersembunyi.
Aku ingin jadi keheningan untukmu: seakan kau tak ada,
jauh jarak itu penuh nestapa itu seakan kau telah mati.
Lalu hanya satu kata, satu senyuman, cukup sudah.
Dan aku bahagia, bahagia karena segala menyaru palsu.
I like For You to be Still
I like for you to be still: it is as though you were absent,
and you hear me from far away and my voice does not touch you.
It seems as though your eyes had flown away
and it seems that a kiss had sealed your mouth.
As all things are filled with my soul
you emerge from the things, filled with my soul.
You are like my soul, a butterfly of dream,
and you are like the word Melancholy.
I like for you to be still, and you seem far away.
It sounds as though you were lamenting, a butterfly cooing like a dove.
And you hear me from far away, and my voice does not reach you:
Let me come to be still in your silence.
And let me talk to you with your silence
that is bright as a lamp, simple as a ring.
You are like the night, with its stillness and constellations.
Your silence is that of a star, as remote and candid.
I like for you to be still: it is as though you were absent,
distant and full of sorrow as though you had died.
One word then, one smile, is enough.
And I am happy, happy that it's not true.
Aku ingin jadi keheningan untukmu: seakan kau tak ada,
dan kau dengar aku dari jauh, tapi suaraku tak menyentuhmu.
Seperti matamu yang mengalur hingga jauh
seperti ada sebuah kecupan yang mengunci mulutmu.
Seperti segalanya terpenuhi dengan jiwaku
Kau menjelma dari segalanya, memenuhi jiwaku.
Engkau seperti jiwaku, kupu-kupu mimpi,
dan engkau seperti kata Melakoli.
Aku ingin jadi keheningan untukmu: dan kau berjauh jarak.
Suara itu seperti engkau meratap, seperti merpati suara kupu-kupu.
Kau mendengarku dari jauh, suaraku tak mencapaimu:
Biarkan aku datang padamu menjadi hening dalam sunyimu.
Dan biarkan aku bicara denganmu, dengan kesunyianmu
terang seperti lampu, seadanya bagai seutas cincin.
Engkau seperti malam, menyimpan keheningan dan konstelasi.
Sunyimu adalah bintang, memencil jauh dan bersembunyi.
Aku ingin jadi keheningan untukmu: seakan kau tak ada,
jauh jarak itu penuh nestapa itu seakan kau telah mati.
Lalu hanya satu kata, satu senyuman, cukup sudah.
Dan aku bahagia, bahagia karena segala menyaru palsu.
I like For You to be Still
I like for you to be still: it is as though you were absent,
and you hear me from far away and my voice does not touch you.
It seems as though your eyes had flown away
and it seems that a kiss had sealed your mouth.
As all things are filled with my soul
you emerge from the things, filled with my soul.
You are like my soul, a butterfly of dream,
and you are like the word Melancholy.
I like for you to be still, and you seem far away.
It sounds as though you were lamenting, a butterfly cooing like a dove.
And you hear me from far away, and my voice does not reach you:
Let me come to be still in your silence.
And let me talk to you with your silence
that is bright as a lamp, simple as a ring.
You are like the night, with its stillness and constellations.
Your silence is that of a star, as remote and candid.
I like for you to be still: it is as though you were absent,
distant and full of sorrow as though you had died.
One word then, one smile, is enough.
And I am happy, happy that it's not true.
Semacam Wudhu yang
Sekian Lama Tertunda
Inikah awal subuh? Atau senja, hari yang lusuh?
Matahari disamarkan kabut. Matahari yang jauh.
Dan danau itu teramat damai. Aku curiga pada angin:
badai apa yang ia persiapkan sejak kemarin?
Inikah awal subuh? Atau senja, hari yang tak terbaca?
Langit gelap pada separuh lansekap. Aku berkaca pada
genangan air dua tangkup tangan. Aku tak lagi begitu
percaya pada bayangan itu: sungguhkah ini wajahku?
Sebenarnya aku hanya ingin membasuh muka:
semacam wudhu yang telah sekian lama tertunda.
7 karung topeng itu, memang harus kutinggalkan segera,
"Selamat tinggal dusta." Kutahu, pada siapa itu kukata.
Sekian Lama Tertunda
Inikah awal subuh? Atau senja, hari yang lusuh?
Matahari disamarkan kabut. Matahari yang jauh.
Dan danau itu teramat damai. Aku curiga pada angin:
badai apa yang ia persiapkan sejak kemarin?
Inikah awal subuh? Atau senja, hari yang tak terbaca?
Langit gelap pada separuh lansekap. Aku berkaca pada
genangan air dua tangkup tangan. Aku tak lagi begitu
percaya pada bayangan itu: sungguhkah ini wajahku?
Sebenarnya aku hanya ingin membasuh muka:
semacam wudhu yang telah sekian lama tertunda.
7 karung topeng itu, memang harus kutinggalkan segera,
"Selamat tinggal dusta." Kutahu, pada siapa itu kukata.
Subscribe to:
Posts (Atom)