Dia hanya membolak-balik halaman surat kabar itu.
Dia mencari-cari judul, membaca alinea pertama yang
amburadul. "Reporter tolol!" dia menggerutu dan
mengingat-ingat apa tadi yang dijawabnya ketika ada
yang bertanya, "Anda, memasuki daerah bebas buta
aksara. Apakah Anda bisa membaca? Tapi, ingat
disini Anda dilarang membaca apa-apa, Saudara!"
Dia masih melihat-lihat saja, surat kabar itu juga.
Dia ingin sekali meyakinkan dirinya, "Saya tidak bisa
membaca. Saya tidak kenal dengan kalian, hei
huruf-huruf celaka!" Tapi, he he, tentu saja dia bisa
membaca. Sejak TK sudah dihafalkannya, a, b, c, d
hingga v, w, x, y, dan z akhirnya.
Dia ingin sekali menjadi orang yang buta huruf saja.
Melihat deretan huruf-huruf seperti gambar-gambar tak
bermakna seperti yang dilakukannya dulu sewaktu
masih tak tahu apa-apa.
Dia ingin sekali menebak-nebak saja huruf itu.
Membayangkannya menjelma jadi apa saja yang dia
inginkan: elang terbalik, moncong pesawat penggal, tapal
kuda, garpu patah, bendera robek... dan apa saja.
Dia mengambil spidol, lalu mencoreti surat kabar itu.
Dia lingkari iklan nomor telepon yang menawarkan obat
kuat untuk pria: a home delivery. Dia beri tanda juga pada
nomor telepon bergambar wanita menjepit dada sendiri,
menggoda: premium call namanya. "Ah, masa depan
dunia kata-kata memang ada di tangan para wanita,"
katanya mengangguki kalimatnya sendiri.
Mei 2004