Syair Daur Ulang
INI syair daur ulang, kupungut sisa-sisa
kata dari percakapan terbuang. Kekasih
yang saling berbohongi di bangku taman, lalu pergi
berpelukan. Mereka pura-pura bercinta. Selalu saja begitu.
Gadis yang pulang malam, dan merasa berhasil
mengakali ibunya di depan pintu rumah. "Sayang,
aku telah membuang kata itu dari semua ucap
lidahku," kalimat yang diam-diam hendak jujur dikata,
tapi selalu saja tak pernah sempat, sebab kilah
dusta masih saja lebih lincah menyelinap di
kelindan kata-kata. Aku memungutnya. Barangkali saja
ada yang sudi membaca. Syair ini, cuma memungut
sisa-sisa kata. Atau kau sebut saja sebagai
sia-sia?
DALAM sebuah syair daur ulang, barangkali kau akan
bertemu dusta yang pernah amat kau rahasiakan. Mungkin
kau akan melihat cahaya kata yang pernah kau ungsikan ke
gelap ucap. Di luar pagar rumah, di balik pintu kamar
bernomor, di keranjang-keranjang sampah, aku memungut
robekan-robekan kalimat, janji-janji yang tak berumur
panjang, juga tissue kumal meruap uap keringat yang
buru-buru dilap. Mungkin juga juga cecer air yang
tiba-tiba muncrat dari lenguh nikmat. Sesaat. Siasat. Sesat.
Aku memungutnya untuk syair sederhana. Sekedar mengingat.
Mungkin engkaulah kekasih yang di bangku taman itu.
Barangkali, kita kenal gadis yang tiba-tiba gatal dan
merasa bangga dan harus berlaku binal.
Apr 2003