Blog ini adalah daerah cagar, suaka bagi sajak-sajak, terjemahan, dan esai-esai Hasan Aspahani. Hal-ihwal yang pernah hilang dan ingin ia hapuskan.
Monday, April 28, 2003
Sunday, April 27, 2003
ADA bukit di teluk teduh telaga, bukit hangat bercahaya,
di dalamnya interior guha, rumah yang megah bagi Adam-Hawa.
Ada sekat dan tiang-tiang batu, ruang kamar, rasa yang samar,
ada ruang keluarga yang kosong membaca diri dan semesta alam.
Ada sungai kecil mengalilr di dasarnya, membasuh lusuh tubuh,
memulih letih rintih, menyamarkan alir air mata. Gemericik musik.
Ada pintu yang tak pernah tertutup, jendela yang tak pernah
terkatup, cahaya tak redup, diluar - didalam: tumbuh semua hidup.
Ada perabot batu ditatah waktu. Yang tak usang tak terganti
yang selalu serasi diri, seperti tumbuh dari tubuh subur bumi.
Ada rumah bagi Adam-Hawa. Rumah yang kelak menjadi
tempat pulang, ketika disergap rindu pada damai surga.
Apr 2003
BERHARI-hari hanya bermuram terdiam,
sejak terjebak sendiri di bumi yang diam,
Hawa akhirnya memetiki pucuk-pucuk
rindunya yang diam, lalu menyeduhnya
bersama hangat air mata yang menggenangkan
basah diam-diam.
ITULAH air mata yang pertama menetesi dunia,
itulah tangis pertama yang menyendukan malam.
LALU ia bergumam, nyaris seperti diam:
"Kusuguh ini kelak hanya padamu, Adam."
Agar kau tahu betapa pahitnya rasa rinduku.
Pahit yang dalam. Pahit yang bertahan diam.
Apr 2003
Friday, April 25, 2003
BULAN MADU Alam Semesta
(Episode Perkasihan Bapa Adam dan Bunda Hawa)
untuk Istriku: Yana.
I
KITA harus menyebutnya sebagai bulan madu
alam semesta. Ketika itu Adam dan Hawa
tak sempat menyadari, mereka berdua dibius
rasa, tenggelam dalam di samudera bahagia.
Ya, dunia tak pernah lagi semesra sesempurna
saat merayakan bulan madu Adam dan Hawa.
II
KITA harus mengenangnya sebagai bulan madu
langit dan bumi. Sebab langit mendandani diri
dengan tujuh selendang pelangi, dengan biru
terindah yang tak pernah terulang lagi. Di timur
matahari mempertahankan pagi, di barat rembulan
menyihir dengan cahaya terlembut yang pernah
ia beri.
DAN bumi tak pernah sedamai saat itu lagi. Laut
bening telanjang, tembus pandang hingga ke palung
yang paling relung. Lihat, dansa ikan udang dan kerang,
di sela terumbu ribuan warna. Makhluk-makhluk yang
bahagia, saling membuahi pasangannya. Dan ombak
tak pernah menghempas di pantai, seakan menyadari
dosa jika merusak khusuk zikir pasir. Atau mungkin karena
ada bekas tubuh Adam dan Hawa yang menjejak di pasir itu,
ombak sungguh tak ingin menghapusnya. Sungguh.
DAN burung-burung menyanyikan konser bersama: orkes
simfoni yang sempurna! Tapi, Adam dan Hawa tak sempat
mengingat merdunya dibius rasa dan tenggelam dalam
suara-suara bahagia dari dalam dada, dari luar dada.
DAN tetumbuhan yang tak berbunga pun tiba-tiba mengubah
warna pucuk-pucuknya, seolah menjadi mahkota yang mekar
serentak bersama riang tari, bersama girang nyanyi, bersama
pukau warna-warni, bersama genang aroma terwangi yang harus
ditukar dengan ketidakmampuan mengulangi menebar wangi dan
pesona yang sama seperti wangi saat Adam dan Hawa saling
melebur diri, saling membagi diri, saling menyatu diri.
III
KITA harus memaknainya sebagai bulan madu
hati dan jiwa. Sebab Tuhan urung menyesali telah mencampakkan
keduanya ke indah dunia. Sebab iblis menahan diri untuk tidak
membisikkan godaan untuk sementara. Untuk sementara.
Wednesday, April 23, 2003
I
INI penantian yang sempurna. Bertahun-tahun Hawa menunggu
di sana. Tanah subur datar berbagi sisi dengan telaga. Ada dua
unggas berenang riang di beningnya. Kelak kita menyebutnya
sebagai sepasang angsa. Sepasang makhluk indah berbahagia.
II
INI kesetiaan yang tiada tara. Hawa teramat yakin, Adam akan
tiba, kembali jua hanya kepadanya. Ada sarang yang hangat
di sela rumput tinggi di tepi telaga. Ada tujuh telur yang selesai
dierami, lalu menjelma tujuh makhluk mungil lembut kuning muda.
HAWA serta merta merasa ada yang hangat dan tumbuh di dalam
rahimnya. Rindu kepada Adamnya tiba-tiba makin mengada. "Aku
terlalu mengada-ada?" Tidak, dihalaunya sendiri keraguannya. Lalu,
segera dipetiknya sehelai daun terlembut, dan menjeratkannya ke
pinggangnya. Menjaga rasa kasih yang pertama. Kelak dari rahim
yang terjaga itu, lahir suku-suku dan bangsa-bangsa.
III
INI pertemuan yang tak terperi indahnya. Sore nyaris saja senja. Langit
tanpa awan, kecuali sepotong yang bergegas lari ke utara. Telaga seperti
beku. Angin enggan menyentuh permukaannya. Dan mekarlah semesta bunga.
MENYAMBUT Adam tiba. Ia tak membawa apa-apa, kecuali setangkai bunga
berduri yang tak sengaja dipetiknya. Itulah mawar yang pertama. Itulah
persembahan yang pertama. Hawa menciumi segar merahnya, tersebab
wangi dan sesak bahagia di dadanya. Lalu keduanya meneduhkan letih
di tempat yang paling terlindung. Waktu seakaan berhenti mengabadikan
pertemuan yang hanya dicatat oleh diam itu.
DAN Tuhan, yang tak bisa menahan bahagia, nyaris saja memutuskan
untuk memerintahkan Adam dan Hawa kembali ke surga. Nyaris saja....
Apr 2003
Tuesday, April 22, 2003
I
INI fajar pertama yang belum diberi tanda, belum
dimaknai apa-apa. Adam bahkan tak tahu pasti, mungkin
saja itu senja. "Tuhan, inikah dunia itu? Inikah
tempat hukumanku itu? Lalu apa bedanya dengan surga?"
Kelak ia akan tahu, sebenarnya ia sudah bisa menduga.
Terlalu banyak tanya. Adam, tak sempat lagi bertanya. Ia
hanya tahu, Tuhan ketika itu tidak sedang mempermainkannya.
II
ADA sinar jatuh menerabas rimbun kanopi hutan, seperti
baru saja ada hujan. Ada buah jatuh, ia tak ragu lalu
memungutnya lalu mengunyahnya hingga tak bersisa. Ada
yang berkelebat di sesak semak - seperti berbaju atau
berbulu? tapi pasti bukan iblis itu. Ada yang seperti
mengawasinya, tapi itu bukan Tuhan. Itu bukan Tuhan.
Lalu lekas dijeratkannya sehelai daun, menutupi malu
yang pertama. Sebenarnya, mungkin ia hanya tak enak
hati pada dirinya sendiri. Pada dirinya yang sendiri?
III
GELAP dan terang sudah berulang bertukar, ini tak
seperti di surga. "Ah, sudahlah. Jangan lagi membandingkan
masa lalu dan sekarang," kata Adam pada dirinya
sendiri. Begitu jelas, ia dengar dirinya sendiri.
Lalu ada letih menyergap. Segera saja ia terlelap.
Kelak di tidur yang pertama itiu, ia didatangi mimpi
yang pertama. Ia bermimpi tentang surga dan Hawa.
Ya, wanita itu siapa lagi, dia pasti Hawa. Hawanya.
Khuldi di tangannya. Ada bekas gigitan mereka berdua.
Masih juga, Hawa menikmati lezat merah dagingnya.
Ketika terbangun oleh subuh yang basah, Adam tiba-tiba
merasa rindu. Teramat rindu. Tapi, kepada Tuhan, ia tak
ingin mengadu. Tuhan, pasti engkau teramat tahu.
Apr 2003
Monday, April 21, 2003
perahu.
saudagar.
berlayar. dari bandar ke bandar. rumah pecah. beribu
kamar. di tengahnya menganga. laut sejarah. luka
berdarah. keduanya tak bisa lagi ditawar. tak bisa
lagi diputar tukar.
perahu.
bandar.
bertolak. berlayar. mencari jangkar. saudagar tak sempat
lagi menghitung dinar. menghitung ringgit. menukar dolar.
berapa beras setakar? kami punya gambir dan rempah.
istana batu di tengah bandar. ke sana datang perahu
saudagar. mana jangkar? mana jangkar? di laut sejarah
bernanah. luka ditukar jadi amarah.
rumah.
pecah.
beribu kamar. kau mengucap salam. aku mengetuk pagar.
berapa harga beras setakar? layar perahu. lapar perahu. tak
sempat disebut di depan pintu. ada jangkar di dinding kamar.
ada tetes air laut menggenang di lantai kamar. ada uap garam
menyesak kamar. menyedak nafas saudagar. sejarah. terbaring
di buncu kamar. ditalak tiga oleh waktu. waktu yang tak bisa
ditawar. tak bisa ditukar. tak lagi pernah terbayar.
saudagar.
laut. layar.
perahu tak bermata angin. laut cuma debur. cuma debar. di paha-
paha pantai. sejarah ditulis jadi kabar. di dada-dada bandar. sejarah
dihapus jadi samar. di pundi-pundi saudagar sejarah diniagakan.
ditukar jadi dolar. jadi ringgit. jadi dinar. berapa harga beras setakar?
jangkar. bertaut di tali kusut. mengapung di laut. pasang tak surut tak.
tak paut ke bandar. di perahu. tolak tak sandar tak. kita bukan saudagar.
melambai siapa di bandar. berapa harga beras setakar? sejarah tak
sampai lagi. setelah diniagakan. istana runtuh di tengah bandar. rubuh. luluh.
perahu belah tenggelam. bersandar di dasar laut. jangkar mengapung di
permukaan. ombak. terombang-ambing. ada bendera berkibar. di bandar.
di bandar.
bendera bergambar dinar. ringgit. dan dolar. kita bukan lagi saudagar.
kita terbungkuk-bungkuk menghormat. di bawah bendera berkibar-kibar.
kita tak punya nilai tukar. tak paut ke jangkar. pun tak punya bandar. tak
punya bendera dikibar. perahu tersuruk di laut paling dasar. ke surut
paling susut. angin kehilangan layar.
berapa harga beras setakar?
berapa.
harga.
beras.
setakar?
Apr 2003
dari sajak DEATH, Rainer Maria Rilke
Ditulis Desember 1926, 2 minggu sebelum kematiannya
pada umur 51 tahun. Inilah sajak yang terakhir ditulis di
buku catatannya.
Pada akhirnya, engkau yang kukenal datang juga,
sakit tak tertanggung di badan, di tiap jengkal molekul,
aku terbakar dalam jiwaku, juga di dalam engkau:
kayu api tak padam, lidah api menjilat tajam
engkau menjaga nyala, aku pun jadi berminyak panas
dan terbakar di dalammu.
Keramah-lembutanku berubah jadi keganasanmu,
bertukar ke amuk neraka yang entah asalnya.
Teramat murni, tak ada rencana hari-hari, kudaki
unggun kayu api pemakaman: penyiksaanku.
maka, tentu saja tak perlu membeli apapun untuk esok lusa,
sebab dalam diam di hati tersimpan cadangan keperluan.
Masih akukah ini? Seluruh yang kutahu dulu terbakar!
Kenangan tak teraih dan tak terbawa pula
Oh hidup! Oh kehidupan! Oh semua di luar!
Dan aku di dalam nyala. Dan di sini tak ada yang tahu aku siapa.
Sunday, April 20, 2003
dari Sajak Nothing But Death
Pablo Neruda
Ada kuburan yang dicekam sepi,
makam-makam penuh: tulang-tulang yang memperparah sunyi,
cuma degup jantung menembus lorong, tanpa bunyi
tambahgelap, makingelap, mahagelap.
Bagai karam kapal, maut tenggelam ke dalam diri sendiri.
Seperti kita terbenam ke dalam jantung sendiri,
Seperti hidup terlepas dari kulit lalu merasuk jiwa sendiri.
Lalu ada mayat-mayat,
dengan kaki berlumur liat, dingin dan lekat
di rapuh tulang, maut menaut.
Seperti suara menyalak, tapi tak ada anjing yang tampak.
Datang dari genta, datang dari makam entah di mana,
tumbuh pada udara lembab pengap: hujan air mata.
Sekali waktu, kujumpa pula
Keranda berlayar sendiri,
Penumpangnya maut yang pucat dan perempuan berambut mati,
dan pengadon roti seputih malaikat,
dan gadis termenung dilamar lelaki pengacara.
Keranda yang berlayar mendaki, sungai maut mengalir meninggi,
sungai yang berwarna ungu gelaptua,
naik mengarus, kibar layar bergetar suara maut,
bergetar suara maut yang cuma bisu sunyi ngelangut.
Maut tiba di sana, di tengah kerumun suara
Seperti detak sepatu melangkah sendiri, seperti baju tanpa ada yang mengenakannya,
datang dan mengetuk-ngetuk dengan cincin tanpa permata, tanpa jemari juga.
datang dan menyeru tanpa mulut menganga, tanpa lidah dan kerongkongan juga.
Demikian, itu langkah kaki terdengar juga,
dan seperti pohon, pakaian itu menjelma hening suara.
Aku tak yakin, aku hanya sedikit mengerti, aku nyaris tak bisa melihat lagi,
tapi ini seperti maut yang berlagu, maut berwarna basah ungu.
Seperti bunga violeta yang berumah di bumi,
karena wajah sang maut itu hijau warnanya,
dan memang wajah sang maut itu tampak hijau warnanya,
Ada daun bunga violeta yang lembab yang menembus-rasuk,
dan warna suram, musim dingin yang sakit menusuk.
Tapi maut juga mengelilingi dunia menjelma seperti sapu,
mengitar lantai, memutar, mencari tubuh-tubuh tak bernyawa,
maut ada di dalam sapu itu,
sapu itu adalah lidah sang maut yang mencari mayat-mayat,
sapu itu adalah lubang jarum sang maut yang mencari helai benang.
Maut ada dalam lipatan kain serbet:
Dia habiskan umur dengan lelap tidur di lembut kasur,
dengan selimut hitam, dan tiba-tiba nafas terhembus,
menyembur juga suara jerit sakit, bergulung menghantam alas tilam,
dan ranjang pun berlayar menujur bandar
di mana maut menunggu, berdiri gagah bagai seorang laksamana.
Saturday, April 19, 2003
Dari Sajak Wanting to Die
Anne Sexton
Sejek engkau bertanya, hampir seluruh hariku lupa.
Tak tertanda dalam tualang, aku melangkah dalam ucap kata.
Lalu kembali, nyaris semua nafsu yang tak berwarna.
Sejak itu pula, tantangan pada hidup tak lagi ada.
Kau sebut tajam jarum yang sangat kutahu sayatnya.
Di bawah matahari, meja kursi sudah kau tata.
Tapi bunuh diri punya sebuah bahasa khas.
Seperti tukang yang hanya bertanya mana perkakas.
dan tak pernah ingin tahu kenapa harus membangun lekas?
Dengan kata sederhana, kuikrarkan diri, bahkan dua kali.
Semua musuh kuasai! Seluruh musuh habisi!
Lalu rampas tangkas dan sihir di tanganya lunglai.
Ini jalanku, berat dan menguras fikir.
Lebih hangat daripada minyak dan air.
Hingga tersandar letih, dari nganga mulut ada yang bergulir.
Aku tak berfikir tubuhku di ujung jarum.
Walau buta kornea, bahkan urine pun tak lagi ada.
Bunuh diri, telah mengkhianati tubuh sendiri.
Kelahiran: masih saja, tubuh tak pernah mati senantiasa,
tapi di pukau pesona, manisnya bius racun tak terlupa.
Kanak-kanak pun akan tersenyum dan menoleh muka.
Tikam segenap yang hidup di bawah lidahmu! --
Semua menjelma sendiri, seluruh gairah menjadi.
Kematian adalah duka tulang-tulang; menyedihkan, katamu.
Dan masih saja, tahun ke tahun, aku dinantinya.
Agar memulih luka-luka lama, sembuh sempurna.
Agar terbebas nafasku, dari buruknya penjara.
Di sini, pada titik temu ini, bunuh diri sewaktu menemu
Merampas lezat buah, bulan memar terpompa,
untuk satu kecupan, tinggal sekerat roti salah pungut.
Ada yang tak sempat diucap, tertinggal pada buku
halaman yang dibaca terburu, pesawat telepon itu
tak terjawab, dan cinta pun tertular sudah, apapun itu.
Thursday, April 17, 2003
Terjamahan dari from Book of Question
Pablo Neruda
III.
Beri aku tahu, apakah mawar itu telanjang
ataukah dia justru gaun yang kembang?
Kenapa pohon-pohon menyembunyikan
akar-akar yang megah menggairahkan?
Siapa yang mendengar sesal
mobil yang dicuri begundal?
Adakah di dunia ini yang lebih menyedihkan
daripada trem tegak sendiri berhujan-hujan?
Tuesday, April 15, 2003
(atau yang tak tertekuk yang tak takluk)
Diterjemahkan untuk Yono Wardito
dari Sajak Invictus
William Ernest Henley (1849-1903)
Di luar malam legam yang mengurungku
Gelap, sehitam sumur menembus dua kutub,
Siapapun tuhan, kuucap saja syukurku
Sebab jiwaku yang tak tertakluk takjub.
Diruntuhi bongkah-bongkah keadaan
Tak ada isakku, tak juga tangis pecah.
Didera-timpa ayun gada kemungkinan
Tak kutunduk kepala walau darah tumpah.
Di sini, di antara amarah dan air mata
Diincar horor bayang yang menghantu,
Dan tahun-tahun penuh marabahaya,
Hadapi aku yang tak tahu takut, hadapi aku!
Bagaimana nyeberang gerbang, tak hirau
Akulah penentu sendiri takdir hidupku.
Ayat-ayat yang mengancam, tak risau.
Bagi jiwa bebasku, akulah nahkodaku.
Monday, April 14, 2003
Terjemahan Sajak
The Black Art
Anne Sexton
Wanita yang menoreh pena, ia dikuasai rasa,
rasuk sukma, isyarat tanda!
Bahkan siklus musim dan kanak-kanak dan pulau-pulau
tak cukup juga; pun duka pelayat dan kabar dusta
dan segar sayur menggoda pun tak pernah cukup juga mengusiknya.
"Aku akan merayu bintang, aku bisa," pikirnya.
Seorang penulis, dengan di tangan pena, adalah seorang mata-mata.
Sayangku, wahai, akulah wanita itu.
Lelaki yang menoreh pena, ia memuja duga
seperti sihir dan pukau mantera
Bahkan ketika ereksi dan debat kongres dan benda-benda
tak pernah bisa cukup; bahkan mesin dan perahu-perahu purba
dan perang pun tak pernah cukup memaling wajahnya.
Dengan perabot kayu bekas, pohon hendak diciptanya.
Seorang penulis, dengan di tangan pena, adalah seorang pendusta
Kekasihku, wahai, engkaulah lelaki itu.
Cinta, tak pernah sunyi sendiri hanya untuk kita,
benci itu bahkan hingga ke sepatu dan topi-topi kita,
kita saling mencinta satu sama lainnya, indahnya, mulianya.
Cahaya teduh dan biru di tangan kita,
Kejujuran sungguh dan penuh di mata kita.
Tapi ketika kita ijabkabulkan perjanjian
kanak-kanak terbiar pada kemuakan.
Terlalu banyak santapan dan tak ada yang membiarkan
melahap habis, kengerian yang melimpah meluap.
The Bed Art
(seni yang di pembaringan)
Yono Wardito
lelaki yang memamah pena, ia tak tahu rasa
busuk gulma, syarat tanda!
bukan siklus musim dan kanakkanak dan pulaupulau
tak kuncup jua; pun duka menyayat dan debar dusta
getar guyur tergoda pun tak pernah cukup juga mengikisnya
"aku akan selaju kumbang, aku bisa" pikirnya
seorang penulis, dengan ditangan pena, adalah seonggok katakata
sayangku, wahai, akulah lelaki itu
wanita yang memamah pena, ia menghujat durga
seperti kilir dan sakau lentera
ketika orgasme dan debat kongres dan bendabenda
tak pernah bisa cukup; bahkan mesin dan perahuperahu durja
perang pun tak pernah cukup mencuri wajahnya
dengan godot kuyu bongkas, pohon tak diciptanya
seorang penulis,diselangkangan pena, adalah seorang pendusta
kekasihku, wahai,engkaulah wanita itu
cinta, pernah mencuri sendiri atas nama kita
benci itu bahkan hingga menjadi benalu puisipuisi kita
kita tak saling mencinta satu sama lainnya, nikmatnya, terkutuknya
cahaya subuh dan kelambu diatas tubuh kita
kebohongan tumbuh dan sungguh dimata kita
ketika kita ijabkabulkan perselingkuhan
katakkatak berhambur pada kenikmatan
terlalu sedikit sarapan dan ada yang menyiarkan
kumuntahkan habis, kenikmatan yang melimpah menguap.
Note: Puisi ini dikopi dari milis penyair (18/4). Dengan tambahancatatan: Sorry, Bro, he he he!
The Bitch Art
(seni melacur)
Randu
lelaki yang memamah malam, merontokkan surga
berkelip di atasnya tak terjamah rasa
meniadakan siklus diri,
melebur bersama kanak-kanak yang melahirkan musim
dari tapak-tapak mereka
perempuan yang menyetubuhi malam, meliuk atas nama surga
liur yang menetes semata selembar keyakinan
hidup adalah butir-butir depresan tuk melupakan luka
tak pena mencatat sejarahnya, tak ada rekam memajang lenguhnya
cinta yang menginjak malam, mengutuk surga
sayap-sayapnya rapuh terlalu lama berterbangan
seperti capung di lingkung tanda
tak ada yang akan turun dari surga, selain hujan
tak ada yang tersisa di surga, selain hujan.
Note: Puisi ini dikopi dari milis penyair (18/4).
Terjemahan Sajak
Music Swim Back To Me
Anne Sexton*
Tunggu, Tuan! Mana rumah? Mana jalan pulang?
Tak ada cahaya, mereka padamkan lampu
berontak gelap meronta di sudut.
Di ruang ini tak ada tinggal tanda,
hanya empat wanita renta, 80 lebih usia,
dibalut lampin tua.
La la la. Ah, mengapung musik mengepungku
kurasakan saja, mereka mainkan nada,
malamku yang tertinggalkan
di ruang sendiri ini, di bukit sunyi ini.
Bayangkan, Tuan. Sebuah radio dihidupkan
dan semua jiwa di sini sudah edan.
Tapi aku suka ini, dan ikut juga menggila -
menari berputar, berdansa melingkar.
Musik tumpah rasa melimpah
lalu dengan gayanya jenaka,
musik menemuku lebih dari aku.
Mengingat lebih dari apa yang dapat kuingat;
Malam, ketika pertama kuterkurung di sini.
Ini November yang dinginnya ketat mendekap;
Di langit, memang ada bintang-bintang mengerjap.
dan bulan itu terangnya berkilap,
menerjang jeruji, aku terperangkap,
dengan nyanyi di kepala menyekap.
Selebihnya tak ada. Kecuali lupa.
Aku terkunci di ini kursi, pukul 8 pagi.
Dan tak ada tanda, tak ada jalan membuka,
hanya radio tadi mendebur dada sendiri
dan lagu yang mengenang kenang,
lebih dari apa yang kukenang. Ah, la la la,
Mengapung musik mengepungku,
menari berputar, berdansa melingkar.
Tak lagi ada jeri gentar.
Nah, Tuan?
Friday, April 11, 2003
KATA hujan, aku sangat ingin menjatuhkan rintik ini perlahan-lahan,
seperti diam yang menguapkanku kembali ke pintu rumah awan.
KATA hujan, di peluk bumi, di dekap akar, di alir sungai, di daun-daun,
di alun hempas gelombang (aku relakan saja, asal tidak dijatuhkan)
KATA hujan, aku sebenarnya letih mengulang siklus amat menjemukan,
dan kau penyair, "yang kau puisikan ini? Hmm, hanya dugaan-dugaan".
KATA hujan, "kenapa pula aku seringkali rindu, pada suara riang bocah,
yang berlari-larian telanjang, main ciprat-cipratan selama aku dicurahkan."
April 2003
Wednesday, April 9, 2003
INI syair daur ulang, kupungut sisa-sisa
kata dari percakapan terbuang. Kekasih
yang saling berbohongi di bangku taman, lalu pergi
berpelukan. Mereka pura-pura bercinta. Selalu saja begitu.
Gadis yang pulang malam, dan merasa berhasil
mengakali ibunya di depan pintu rumah. "Sayang,
aku telah membuang kata itu dari semua ucap
lidahku," kalimat yang diam-diam hendak jujur dikata,
tapi selalu saja tak pernah sempat, sebab kilah
dusta masih saja lebih lincah menyelinap di
kelindan kata-kata. Aku memungutnya. Barangkali saja
ada yang sudi membaca. Syair ini, cuma memungut
sisa-sisa kata. Atau kau sebut saja sebagai
sia-sia?
DALAM sebuah syair daur ulang, barangkali kau akan
bertemu dusta yang pernah amat kau rahasiakan. Mungkin
kau akan melihat cahaya kata yang pernah kau ungsikan ke
gelap ucap. Di luar pagar rumah, di balik pintu kamar
bernomor, di keranjang-keranjang sampah, aku memungut
robekan-robekan kalimat, janji-janji yang tak berumur
panjang, juga tissue kumal meruap uap keringat yang
buru-buru dilap. Mungkin juga juga cecer air yang
tiba-tiba muncrat dari lenguh nikmat. Sesaat. Siasat. Sesat.
Aku memungutnya untuk syair sederhana. Sekedar mengingat.
Mungkin engkaulah kekasih yang di bangku taman itu.
Barangkali, kita kenal gadis yang tiba-tiba gatal dan
merasa bangga dan harus berlaku binal.
Apr 2003
Sunday, April 6, 2003
GAMBAR TELANJANG: Usia
AKU sampai juga, akhirnya
ke tubuh yang paling kaca
kata waktu serenta menua
setakar pasir menukar usia.
Di gelas tubuh, garam dibubuh
air dituang. Nafas-nafas lucut,
sesentuh sehingga ke seluruh
habis dibuang, dijemput kabut.
Seandai ada lambai landai pantai
menebak bijak jejak sepi sepijak
kesana, wahai, bilakah kelak kusampai?
memulang tualang, mengelak usik isak.
April 2003
Friday, April 4, 2003
HUJAN dalam puisi yang sederhana, boleh
kau tuliskan dari gemericik titik rintiknya, atau
dari jerit payung yang kuncup tersandar di
balik pintu depan rumah yang ingin sekali mekar
dan mengembang dan kau berjalan tergesa
memegangi gagangnya. Tapi, saat itu, saat hujan
rimbun itu, kau tak ingin bepergian kemana-mana,
karena ingin menyalin hujan itu ke dalam puisi
yang sederhana. Demikianlah....
Apr 2003
Note: Puisi berikut ini ditulis Asep S Sambodja (judul dari HA). Dengan tambahan catatan, "...ruang untuk pembaca terlalu sempit ya, San!"
YANG KAU PUNGUT & YANG JADI
Asep S Sambodja
kau pungut mawar, jadi damba,
kau pungut duri, jadi hamba,
kau pungut wangi, jadi luka
kau pungut layu, jadi siksa
kau pungut aku, jadi nista,
aku pungut kau jadi mawar
wangi
berduri
di rimba
sepi.
2003
PIJAR bom yang jatuh entah di mana di kota mimpi indah itu
berwarna hijau sesegar seledri menggairahkan. "Wow, lihat
bentang pemandangan yang sangat memukau, bukan?"
LANGIT bergembira, dikepung kepul asap jingga. Di sela-
selanya, percik sinar mortir baja. "Ah, indahnya!" Seperti
ada paduan suara, dentum bersahut dengan gema-gema.
KAPAS dan perban putih mencium bibir-bibir luka, ada
bekas darah di tengahnya. "Hmm, bayangkan cantiknya!"
Mahkota sempurna mawar-mawar, merekah segar mekar.
LALU anakku menunjukkan kertas-kertas itu padaku.
"Abah, kayaknya ada yang salah pada gambar-gambarku..."
(Oh, anakku, bagaimana lagi aku harus membohongimu).
Apr 2003.
Note: Puisi berikut ini diposting oleh TS Pinang di milis penyair 6 April 2003. Matur nuwun, Om Pin. Karena puisi ini, Shiela jadi ingin cepat bisa membaca. Aku tidak akan memaksanya.
LOMBA MENGGAMBAR
TS Pinang
: shiela aspahani
lihatlah Shiela dan meja pikniknya
ada kertas di atas meja itu. Shiela sedang menggambar
Shiela menggambar pohon. daunnya biru. ia tak suka menggambar api.
Shiela suka menggambar matahari kuning oranye. Shiela menggambar
perahu di dalam akuarium, dan putri duyung berwarna ungu. "dia sedang
flu," kata Shiela malu-malu
Shiela menggambar balon warna maron. "warna merahku telah habis, "
kata Shiela. kemarin ia memang menggambar perang. Shiela menggambar
mega. ia tampak ragu mewarnainya
Shiela menggambar petak sudahmanda. merah, kuning, hijau muda.
seorang anak duduk di pinggirnya. "kakinya luka," kata Shiela.
mungkin kena pecahan kaca. Shiela menggambar laut, ada gawang sepak
bola di sana. "lapangannya terbakar bom," Shiela tersenyum simpul
Shiela menggambar langit
senyumnya menguap seketika
april 6, 2003
Note: Ompit Abimanyu meninggalkan puisi berikut ini di buku pesan (Judul dari HA)
KUAS INI KITA KEMASI
Ompit Abimanyu
anakmu menggambar perang di keningku
menjadi asap obat nyamuk menyedak
lubang hidung yang terbuka mencari bau kembang.
malam malam ketika bulan pucat tanpa maskara.
puisi telah disimpan. atau dibuang?
shiela, angin semakin dingin, sayang.
mari kita gambar anak pipit yang
menggigil di ranting sengon.
menyempurnakan garis luka dikening jam.
atau mari, kuas ini kita kemasi.
sebab abah telah menanti. di atas ranjang,
semoga mimpimu penuh bintang atau senyum para
peri melayang. menghapus jejak darah dan
mesiu dari buku buku jemarimu.
shiela. selamat menikmati belai mimpi.
sehangat lengan abah selembut senyum umi.
2003
Wednesday, April 2, 2003
MASIHKAH kau bayangkan tentang tubuh
yang utuh penuh seperti bunda
yang disucikan dari segala dosa
imajinasimu lelaki yang menulis
tentang lendir di kamar mandi*
DEMI imajinasi yang kuwarisi dari
asam amino lelaki juga hormon
feromon yang mengaliri darah
mengajariku ereksi pertama kali
aku akan kembali:
ke kamar mandi
ke peti mati.
April 2003
* dari tamu yang meninggalkan pesan
di situs www.sejuta-puisi.blogspot.com
SHANTI, ku ambil bikini itu,
dari pikiran lelaki? kau
tulis saja kata-kata mengutukku
yang mengendap dekat kisi jendela.*
SARAH, beginilah tubuh yang
diam-diam ku tonton sambil
membayangkan puisi yang bugil
mengangkang tawarkan
imaji kata padaku.**
FEMMY, ku intip bugil tubuhmu
hingga ku muncratkan mani kata
dalam orgasme sajakku.***
BAIKLAH, shanti, sarah, femmy (rachel juga),
mari ke kamar ganti dadaku, ada cermin
pecah di sini, ada casting untuk
puisi yang seksi, di bawah kibaran
bikini.
April 2003
*
**
*** catatan seorang tamu di
www.sejuta-puisi.blogspot.com
DENGAN gelisah yang tak nyenyak, berkelambu
asap dan peluru, aku mencari kata yang tepat
untuk efek suara yang hebat, desing dan dentum,
suara bom. Juga suara tangis, yang bukankah sama
untuk semua bahasa?
AKU sedang merancang sebuah komik perang.
KURUJUK saja buku Superman, juga dongeng Lampu
Aladin yang kudengar pada malam kesekian dari cerita
seribu satu malam. Tak ada lagi cerita raja yang
lupa membunuh istrinya. Cuma bualan entah tentang minyak
entah cadangan dinar dan dolar, lalu dengan itu alasan
pembunuhan pun diberi stempel pengesahan: lakukan!
KOMIK ini kubatalkan saja, daripada cuma sia-sia.
April 2003