Wednesday, April 13, 2011

[Tadarus Puisi 039] Mempertanyakan Hidup, Mempertanyakan Mati

Ngaben
Sajak Pranita Dewi

1.
Hanya ada nyala, nyala, dan nyala
serta senja yang karam perlahan
di garis laut yang jauh: di sana,
matahari, lentera kekal itu, setia
menunggu abuku

Hidup yang baru saja kuakhiri akan menjadi
seperti mimpi yang selalu terlupakan
di pagi hari.

Kini kubiarkan jasadku bermukim di semesta
dan kutinggalkan semua, wahai kalian kawan
seperjalanan.

2.
Terberkatilah semua yang dikira orang mati!

Lihatlah,
mayat yang terbahak ini
tergeletak serupa batu cadas,
sendiri dan abai, hanya memandang ke atas
dan tak sekalipun mengerdip.

3.
Tulang belulangku, kawan setia semasa hidup dulu,
betapa lega mayat ini menuju keluluhannya
Sebab telah kuterima persembahan tanpa mata dan
telinga: ulat-ulat ulung ini.

kini galilah kenanganku dengan
mantra, wahai engkau yang gemar
hidup, dan katakan
padaku apa masih ada siksaan
bagi jasad muda begini?

4.
Sebab ini kali aku belum akan moksa: api
akan meyakinkan bahwa aku masih fana.

Kini mesti kukembalikan tubuh pinjaman
yang compang-camping ini
kepada abu dan debu.

2010-2011

Sajak yg baik bagi saya kadang adalah sajak yg membuat saya tergerak dengan sangat kuat untuk menulis sajak.  Itu yg saya rasakan saat membaca sajak Pranita Dewi  "Ngaben" di Kompas Minggu (3/4) lalu. Ini sajak yang baik. Sangat baik. 

"Ngaben", sedangkal pengetahuan saya, saya hanya tahu itu sebagai upacara pembakaran mayat. Di sajaknya Pranita memberi makna lain.

Sudut pandangnya unik: aku dalam sajak itu adalah si mayat yg sedang diupacarakan, mayat yang sedang dibakar. Sajak ini membongkar kelaziman konsep umum tentang hidup-mati, fana-baka, tubuh-ruh, suka-duka, pahala-siksa. Membuat kita merenung lagi.

Sajak ini juga bicara soal kesejatian, tanpa memaksakan konsep pribadi si penyairnya. Hidup yang baru saja diakhiri, hanya dikira orang mati, sebab ia belum ingin moksa. Hanya mengembalikan tubuh pinjaman ke abu dan debu.

Ada perumpamaan khas: garis laut yg jauh = horison; ulat-ulat ulung (yg kuduga ini adalah api) yg mengantarkan mayat menuju keluluhannya! Bukankah jika tidak dibakar, mayat dilumat ulat? Ulat-ulat unggul dalam "Ngaben" saya kira memang api. Entah, mungkin penyairnya bermaksud lain.

Kombinasi suasananya maut: senja, api menyala, matahari yg nyaris karam, "setia menunggu abuku".  Artinya? Proses membakar mayat itu sebentar saja: hanya sepenungguan matahari senja! []