Wednesday, April 27, 2011

Sebuah sajak yang belum (tapi pasti akan) selesai

Dongeng-dongeng Kecil untuk Seseorang
yang Menulis Sajak dengan Huruf Kecil   


1. DIA, mungkin seperti Edison yang lain itu, lelaki sangat
penakut pada gelap, penderita rabun senja, insomnia akut,
dan tak pernah bisa merawat tomat. Atas nama ketakutan
dan kegagalan itu, dia bermimpi memuliakan tomat yang
berbuah cahaya, yang kebal hama, dan yang nanti ia tanam
di tiang-tiang yang tinggi di sepanjang jalan di kotanya.

Itu sebabnya dia mencintai lampu jalan dan tomat buah.

2. DIA, mungkin membayangkan dirinya sebagai saudara
ketiga Wright bersaudara, yang menulis dongeng tentang
manusia bersayap, tangan-tangan dan punggung udara,
yang menggendong dan dan ia tunggang. Dengan dongeng itu
ia sudah lebih dahulu terbang, dan pergi tak kembali,
dijemput oleh cuaca yang tak banyak bicara. Ia tak takut
pada rasa takut. Badai berlalu, pastilah itu, dan itu sebabnya
kemana pun badai pergi, ia selalu mengejarnya.

Itu sebabnya dia menyukai cuaca buruk di perjalanan udara.

3. AKU kira, dia menyimpan alamat rahasia Anne Frank, dan
diam-diam menjadi sahabat pena, saling mengirim dan menjawab
surat, lalu menyalinnya ke buku harian, atau sebaliknya.
Penderitaan seperti pandan berduri daunnya, tak akan sia-sia.
Tangan dan lidahmu mewangi ketika luka saat memetik dan
mengunyahnya. Dari tetes darah di luka akan tumbuh serumpun
pandan baru, begitulah selalu, begitulah selama kau percaya.

Itu sebabnya ia suka menulis-membaca puisi dan surat.

4.  DIA membenci cermin dan sangat ingin menggandakan diri,
menjadi seribu orang, lalu ia menjadi komandan pasukan rahasia
para penghancur cermin di seluruh dunia. Nanti diri ganda itu ia
pertahankan yang seorang, agar ada yang mengembari dia,
mengingatkan dia, menegaskan betapa ada dia, dan merapikan
rambut, mengaitkan kancing, dan menegakkan kerah bajunya.
 Dia dan dia, akan jadi penyabar, tak lagi galgal, dan tak lagi
bergantian bertanya, "Yang aku itu kamu atau aku?"


Itu sebabnya, ia tak menyukai sisir dan para pemarah.

5. KALAU ingin melarikan diri, dan itu sungguh perlu kita
lakukan sesekali, secara acak dia akan membeli tiket bioskop,
lalu menonton apa saja, bahkan sinema yang sudah ia saksikan
sebelumnya. Layar gambar, sorot sinar, aksi para pelakon,
adalah suaka yang sempurna karena itu cuma sementara, dan
di dalam gelap deretan kursi penonton itu, dia bisa menyendiri,
tak dikejar oleh sesuatu yang ia bayangkan, atau bayangan
sendiri yang datang dari sisa parunan, di jauh  kenangan.

Itu sebabnya ia menyukai film dan benci game online.

6. DIA menyanyi di mana saja. Hidup seperti adegan dalam
opera. Segala ucapan adalah lagu. Segala gerak jadi tari. Dia
menyanyi kapan saja, kecuali saat berhadap-hadapan dengan
buku: saat-saat ia saling baca, saling menebak dan ditebak,
saling menelanjangi  pikiran masing-masing. Di hadapannya,
apa saja bisa jadi buku, lalu ia sibak halaman-halamannya,
dia baca sampai ia temukan sesuatu tentang siapa dirinya.
Dia tak bisa menahan diri, jika berada di toko buku. Toko buku,
katanya, adalah tempat paling merdu. Setiap buku, seperti
menyanyi, memikat mata, mengikat minatnya untuk  membaca.
Dia paling suka membaca saat tidak mandi di kamar mandi.

Ia merasa boros dan tak biasa menyanyi di kamar mandi.

7.  PASANGAN paling sempurna, demikian selalu dia
bayangkan, adalah lelaki nelayan dan perempuan petani
sayuran. Ada sepetak kebun di sekeliling rumah panggung,
dan perahu di tambatan. Laut adalah halaman, tempat
Tuhan menebar benih ikan dan waktu membesarkannya,
Ia mahir menjalin bilahan bambu, menjadi beragam alat
tangkap. Istrinya terampil mengolah apa pun hewan laut
yang ia tangkap, mengolahnya dengan berbagai sayuran.

Itu sebabnya ia mencintai sayuran dan ikan laut.