KAMI bertemu di sebuah piano, di kantin mahasiswa.
Aku suka menyanyi di situ, lagu tentang lamunan, dan
kata semoga. Dia datang dengan mata yang berkata, "lagu
itu tak akan kubiarkan mengalun tanpa denting bunyi."
*
Kami kemudian sering bertemu di situ, di piano itu.
Tiap sebulan aku harus ke sana, menemui ibu petugas
loket pos, menguangkan wesel kiriman dan mengirim
kabar yang baik dalam surat rutin ke kampung halaman.
Dia sepertinya setiap hari ada di sana, membaca
novel berbahasa asing yang tebal sekali halamannya,
yang seakan tak pernah bisa ia tamatkan kisahnya.
*
Di piano itu, aku bernyanyi dan ia adalah denting bunyi
Hatinya yang kosong, sudah terbiasa dipenuhi sunyi
Hatiku yang kosong, tak bisa menolak denting bunyi
Maka, rasanya kami saling kehilangan, ketika kami
sama-sama menghilang: bersama kantin yang digusur,
koperasi mahasiswa yang tak lagi beranggota, kamar-
kamar asrama tua yang kini jadi pusat orang belanja.
*
Kami tak bertemu, di wisuda sarjana yang tak kami hadiri.