: Sadli & Heni
Di layar itu, kau akan temui, lelaki bocah,
dia sudah bisa menyiang papuyu, menyalakan lampu,
memerah kentalnya santan untuk kuah mentah
dan menjaga si bungsu yang masih menyusu.
Bocah itu suka menggambar pada kardus bekas,
dengan pewarna kesumba. Lalu ia pun mencarang,
dari tokoh-tokoh yang ia reka. Wayang kertas
tanpa dalang, semacam teater bayang-bayang.
"Ini kisah tentang datu-datu kita." Dia memula
cerita. Bayangan lelaki tua dengan punggung keriput.
Mengukur dalam rawa, mendepa-depa kelak di mana
pintu air ia teguhkan, menaklukkan garam gambut.
Lalu, di layar, berlalu lelaki bertubuh tinggi.
Parangnya panjang, beralih tebas ke kanan-kiri.
Ia menangkali batang muda, kelapa yang ia jaga
dengan kedua tangannya. Ditariknya handayang tua.
"Engkau masih ingat sungai berair sejuk itu?"
pada tiap anak, ia mengajarkan siasat berenang.
"Engkau masih ingat hutan bakau yang lebat itu?
di lumpurnya anak-anak berburu pergam dan kerang.
Di layar itu, kini berpancaran terang warna-warna.
Anak-anak bernyanyian, bersama cahaya itu, menari.
Si bocah di syair pertama tadi tak tahu dari mana
lampu yang ia nyalakan itu mendapat warna pelangi.