Ciuman Bibirku yang Kelabu
Pengarang: Mardi Luhung
Penerbit: Akar Indonesia, Yogyakarta, 2007
Tebal: 168 halaman.
ADA bocah Belgrad Yugoslavia yang ingin jadi pelukis. Sampai usia sepuluh tahun ia tidak bisa berbahasa Inggris. Bersama ibunya bocah itu bermigrasi ke Paris lalu akhirnya menetap di Amerika. Kelak si bocah menjadi penyair dan tahun 2007 terpilih menjadi Poet Laureatte Amerika. Bocah itu, penyair itu, adalah dia yang bernama bernama Charles Simic.
ADA bocah lain di Gresik. Pada usia lima tahun ia mendapat bacaan komik dari ayahnya. Dari komik-komik itu si bocah mendapat bahan untuk berimajinasi, berkhayal, membayangkan hal-hal yang aneh dan fantastis. Bocah itu kelak menemukan dunia yang sebangun dengan dunia komik yang ia baca itu dalam sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri.
Saya tak tahu, apakah bocah itu tahu bahwa komik superhero berbahasa Inggris dari surat-kabar Singapura pernah memukau Sutardji kecil. Sutardji menengal huruf-huruf itu dan bisa membunyikannya, tapi dia tidak mengerti arti dari bahasa Inggris yang ia baca. Ia hanya terpukau pada bunyi-bunyi yang ia lafalkan. Secara tak sadar agaknya dari situlah awalnya Sutardji mendapat kemampuan memberi perhatian dan memainkan unsur bunyi-bunyi dalam sajaknya.
Bocah Gresik itu kelak kuliah di sebuah Fakultas Sastra Jurusan Sastra Indonesia. Ia mulai menulis puisi setelah meninggalkan kampusnya. Nah, menarik sekali, bahwa penyair ini mengaku kesulitan dengan bahasa Indonesia, bahasa sajak-sajaknya. Ini sedikit biografinya: ayahnya seorang Tionghoa, Ibunya jawa. Di rumah dia berbahasa Indonesia-Jawa. Bahasa Indonesia yang ia gunakan sehari-hari adalah varian yang berbau Bahasa Cina.
Nilai mata pelajaran mata kuliah bahasanya tidak pernah bagus. Dia menganggap bahasa Indonesia yang baik dan benar itu kaku. Apalagi, katanya, kalau berususan dengan titik, koma dan lain-lain. "Aku benar-benar jadi gugup dan berkeringat dingin dibuatnya," kata penyair itu.
Maka, penyair itu lantas menulis puisi tanpa peduli "persoalan kebahasaan". Ia membiarkan dirinya menggunakan bahasa sendiri, bahasa Indonesia yang ia pelajari dari hidupnya, katanya. Ketika ada teman mengatakan bahwa kata-kata dalam puisinya perlu penjelasan, si penyair bilang tak perlu.
Bahasa apapun ternyata bisa menjadi masalah bagi penyair. Kerja pertama seorang penyair mungkin adalah menguasai, atau mengatasi (atau menyikapi?) masalah bahasa itu. Charles Simic, si penyair Amerika itu akhirnya menulis puisi dengan sederhana. Ia menulis hal-hal kecil dan puisinya tetap memikat.
Sementara Mardi Luhung, si penyair kelahiran Gresik yang sekilas kita ceritakan di atas, memilih bahasa yang menurutnya ia dapatkan dari kehidupannya. Penyair ini menyebutkan sajak-sajaknya mendapat pengaruh dari imajinasi dalam dunia komik superhero yang ia baca dan kehidupan serta bahasa Jawa Gresik pesisiran. Kehidupan yang sangat "terbuka". Maka, katanya, sajaknya pun ditulis dengan amat "terbuka", tema besar dan tema kecil yang tumpang tindih, dan awal akhir yang kerap bertukar berbalik arah.
Saya kesulitan masuk ke dalam dunia sajak-sajak Mardi Luhung. Sajak-sajaknya bukan sajak yang "indah" - itu diakuinya sendiri - tapi penyebab saya terkendala masuk ke dalam sajaknya saya kira bukan karena sajaknya tidak indah. Saya bukan seorang yang hanya sajak indah. Lagi pula "keindahan" sajak toh bukan berarti hanya bisa diwujudkan dengan bahasa yang berbunga-bunga. Keindahan sajak bisa dicapai lewat banyak jalan.
Sebelum sampai pada sajak-sajak yang "tumpang tindih" tadi, Mardi Luhung mengaku pernah terpukau pada teori yang ia baca bahwa puisi yang baik adalah puisi yang sampai pada taraf "indah". Karena itu, katanya, dia pernah pada suatu tahap kepenyairannya, menahan seluruh daya khayal yang ada dalam dirinya. Dengan pengakuan ini, dia seakan-akan mengatakan bahwa khayal yang liar adalah musuh dari keindahan sajak. Maka, ia menyebut puisi-puisi awalnya adalah puisi yang "tertahan", beda dengan sajak-sajaknya yang mutakhir, yaitu sajak-sajak yang liar lepas mengikuti kebebasan imajinasinya.
Ya, saya kesulitan masuk untuk sekedar jalan-jalan ke dunia sajak-sajak Mardi Luhung. Saya sering terbentur pada tembok, belokan-belokannya penuh kejutan, di beberapa bagian lorong itu gelap, dan ah saya kerap terantuk dan tersandung. Mari kita masuki salah satu sajaknya. Sajak ini bisa dibaca dalam bukunya "Ciuman Bibirku yang Kelabu" (Akar Indonesia, Yogyakarta, 2007).
JALAN PUISI
Sehabis makan-malam, membaca roman
dan bersanggama, si macan-kumbang
keluar dari tembok-kamar
kukunya tajam, matanya sorot,
pandangannya awas menukik
ke perut-puisi yang kenyal
Ini bait pertama. Saya kira saya tidak salah kalau menganggap bahwa "tokoh utama" dalam bait ini adalah "si macan-kumbang". Si macan itulah yang makan-malam, baca roman, bersanggama, lalu keluar dari tembok-kamar. Si macan digambarkan berkuku tajam, dan matanya yang menyorot nyalang itu menukikkan pandangan ke "perut-puisi" (?) yang kenyal. Saya belum dapat apa-apa dari su macan-kumbang di bait pertama ini. Apa maunya? Mau kemana dia? Tapi baiklah kita teruskan ke bait kedua.
tempat aku menyimpan
senganga-jurang yang aku susun
dan aku ringkas berdikit-dikit
dan di jurang itu, si macan-kumbang
sigap mendenguskan aumannya
serta satu-dua kata yang sengit:
Si aku muncul di bait kedua ini. Perut-puisi yang kenyal tadi ternyata adalah tempat si aku menyimpang sebuah jurang yang menganga. Jurang itu ia susun dan ia ringkas sedikit-sedikit. Di jurang itu, telah ada si macan-kumbang yang mendengus dan mengaum, serta meneriakkan satu-dua kata yang sengit. Kata apa? Tunggu di bait ketiga. Nah, saya ternyata telah salah membaca bait pertama, saya kira tadi yang menukik tajam ke perut puisi (yang ternyata adalah tempat si aku menyimpan jurang) bukan pandangan tajam si macan-kumbang, tetapi si macan itu sendiri. Jurang apakah itu? Siapakah si macan kumbang? Sampai di bait kedua, saya belum punya gambaran apa-apa.
"Puisi, manusia dan jurang, memang
selalu membuat aku gelisah!"
dan hup! Si macan-kumbang melompat
ke nganga-jurang itu,
seperti yang jatuh ke kedalaman, tubuh
dan ekornya beruir-uir
Bait ketiga, bukan hanya membingungkan saya, tetapi juga mengacaukan bangunan pemahaman saya atas dua bait sebelumnya. Lihat, si macan-kumbang yang sudah berada di jurang tadi, yaitu di perut puisi tadi, kini melompat ke jurang itu lagi. Nah ini jurang yang mana? Keterangan "seperti yang jtuh ke kedalaman, tubuh dan ekornya beruir-uir" sama sekali tidak membantu saya. Saya sudah terjerembab karena tersandung upaya untuk memahami "nganga-jurang itu" manakah yang kali ini dilompati oleh si macan-kumbang.
dan kegelapan jurang pun menerkam
keutuhan kulitnya yang hitam: "Pekat!"
seterusnya: "Lorong yang jauh..."
keesokannya: sehabis keramas dan
sehabis menulis satu-bait dari
alur lanskap yang pahit
puisi mengemasi baju dan perkakasnya,
memelukku erat, lalu seperti
cinta-pertama mencium keningku dan berbisik:
"Sayangku, sudah waktunya
aku pergi, jagalah dirimu sendiri!"
dan hup! Puisi pun melompat
Inilah bait keempat. Baris pertama lumayan memukau sebenarnya. Kegelapan jurang menerkam kulitnya - kulit si macan-kumbang yang tadi melompat ke dalam jurang itu. Ya, imaji gelap, pekat, muram berhasil dibangun dengan kalimat yang luar biasa: Gelap menerkam hitam! Tetapi siapakah yang berteriak dalam kalimat langsung itu? Siapakah yang meneriakkan kata "pekat" itu? Siapakah yang berteriak "lorong yang jauh...." itu. Saya tak bisa mengatribusikan kalimat langsung itu ke mana-mana. Akukah? Macan-kumbangkah? Puisikah? Jurangkah? Atau si penyair?
Dan kebingungan saya berlanjut. Siapakah yang keramas keesokan harinya itu? Bila keramas boleh disebut sebagai "mandi wajib" setelah senggama di bait pertama itu, maka si tokoh yang berkeramas itu adalah si macan-kumbang. Tapi kenapa dia menulis satu-bait (puisi?) dari alur lanskap yang pahit? Bukankah si macan-kumbang adalah dia yang gelisah oleh puisi, manusia dan jurang, seperti disebutkan di bait kedua?
Tapi bisa juga yang menulis satu-bait itu adalah si puisi itu sendiri, sebab setelah itu bukankah si puisi itu mengemasi baju dan perkakasnya lantas memeluk si aku dan kemudian melompat pergi juga. Puisi menulis puisi?
ke tembok-kamar bekas tempat ke luar
si macan-kumbang itu, dan hilang dilipat
kerahasiaan semen dan kapur
kerahasiaan yang membersit: "Membersit..."
Ini bait kelimat, bait terakhir. Puisi yang menulis puisi tadi ternyata melompat ke dan menghilang di tembok kamar tempat si macan kumpang itu keluar. Lihat tumpang tindih logikanya. Macan-kumbang melompat ke perut puisi, di puisi itu ada jurang, di jurang itu macam kumbang diterkam gelap, si macan-kumbang adalah dia yang gelisah oleh jurang, puisi dan manusia, lantas si macan-kumbang itu keramas setelah senggama sebelum melompat keluar tembok tadi, lalu ia menulis puisi, puisi lantas memeluk si aku manusia dan kembali ke kamar lewat tembok tempat si macan-kumbang keluar. Di kamar itu, puisi pun jadi rahasia, atau menyembunyikan sesuatu yang tak terpahami.
Inilah "Jalan Puisi" yang ditempuh penyair. Puisi akhirnya berpamitan dengan si aku. Puisi yang perutnya menyimpan jurang tempat si macam kumbang berterkaman dengan gelap itu tidak lagi bersama si aku. Puisi memilih berdiam di balik tembok rahasia semen dan kapur. Rahasia yang membersit. Maka, puisi si penyair pun dibiarkan liar. Si aku tidak bisa menemani puisinya menemui pembaca. Penyair dan puisinya, keduanya mungkin tidak pernah peduli kepada pembaca misalnya dengan memberi penjelasan di luar puisi, seperti diakui sendiri oleh Mardi Luhung. ".... sekali lagi, itu tak perlu," katanya. Kenapa? Karena, "sebenarnya jika kita jujur, apa pun adanya masalah kebahasaan selalu kembali kepada diri masing-masing," katanya.
Soal bahasa, soal puisi, diyakini oleh penyair kembali ke diri masing-masing, kembali ke pengguna bahasa. Dia mungkin mengabaikan bahwa bahasa (langue) dibangun dengan kesepakatan-kesepakatan, di samping parole yang mungkin menjadi wilayah kebebasan penyair. Tapi wilayah parole itu toh tetap saja mengacu, atau bertolak pada langue. Keduanya terlibat dalam tawar-menawar, yang kerap tegang tapi selalu mengasyikkan. Di sinilah menurut saya keunggulan penyair terus-menerus diuji.
Tapi, ah, bukankah Mardi Luhung, penyair kita ini sudah bilang tidak peduli pada bahasa Indonesia yang baik dan benar, yang baku dan yang menggelisahkannya serta membuatnya gugup berkeringat dingin itu?
Karena bahasa adalah sistem bunyi dan makna, maka saya membaca puisi dengan tidak bisa melepaskannya dari logika. Mungkinkah sesuatu yang lain bisa ditemukan dari sajak Mardi Luhung kalau dibaca dengan melepaskan logika? Mungkinkah lebih asyik kalau sajaknya dibaca seperti memasuki sebuah dunia surealistis?