Pengantar: Ini bagian pertama dari proyek saya yang kelak bila dibukukan berjudul "Belajar Jurus Pintar Para Penyair Besar". Isinya semacam imajinasi perbincangan dengan sejumlah penyair. Saya memunguti pendapat mereka dari buku-buku, dari wawancara di surat kabar, dan naskah hasil perburuan di internet.
Chairil Anwar (lahir di Medan, 26 Juli 1922) tampak sedikit gelisah. Sesekali ia menatap wajah jam tangannya. Jam tangan model lama yang tampak antik sekali. Goenawan Mohamad (Batang, 29 Juli 1941) menyentuhkan kepalan longgar tangan kanannya ke mulut, seakan menutup atau hendak mengatur kalimat-kalimat yang hendak ia ucapkan. Sapardi Djoko Damono (Solo, 20 Maret 1943) memperhatikan tingkah Chairil, dan sesekali ia tersenyum sambil membuat catatan pada lembar kosong di buku yang ia pegang, tanpa disadari oleh si orang yang diperhatikan. Sementara Sutardji Calzoum Bachri (Rengat, 24 Juni 1941) menikmati rokok, dan hanya pada rokok itulah seakan-akan konsentrasinya terpusat. Ia seperti menganggap perhatian tiga orang lain di ruang itu sebenarnya terpusat padanya.
Saya berada di antara mereka untuk wawancara penuh canda tawa ini. Sebuah imajinasi wawancara yang tak bisa dan tidak perlu saya sebutkan dimana dan bilamana terjadi. Dan itu sungguh tidak menarik, bukan? Yang menarik adalah apa yang kami bicarakan. Berikut petikannya:
Hasan Aspahani (HA): Baik, saya mulai dengan pertanyaan pertama. Saya kira bagi penyair penting juga menyadari kapan ia mulai merasa menjadi penyair. Nah, pertanyaan untuk Anda berempat kapan Anda semua merasa telah menjadi penyair?
(Tiga penyair itu serentak menatap ke Chairil Anwar. Seakan sebuah permintaan agar dialah yang menjawab lebih dahulu).
Chairil Anwar (CA): Aku?
HA: Ya, Anda mungkin lebih tepat kalau menjawab lebih dahulu.
CA: Kapan aku mulai jadi penyair? Sepertinya sejak lahir aku sudah menjadi penyair. Zaman ketika aku hidup bukanlah zaman yang mudah. Belanda kalah perang, Jepang begitu lekas invasinya di kawasan Asia, lekas pula kejatuhannya. Aku sendiri, kalian tahu, berasal dari keluarga yang kacau. Aku benci ayahku. Dia beristri lagi selain ibuku dan aku hidup bersama nenekku. Kalian baca sajak pertamaku? "Nisan". Ya, itu sajak pertama yang saya anggap telah menjadi sajak. Itu saya tulis pada usia 20 tahun lebih tiga bulan. Aku kira cukup itu untuk menggambarkan betapa dekat aku dengan nenekku, dan tidak pada ayahku. Aku seperti tak punya pilihan selain menjadi penyair. Aku suka bulutangkis, dan aku pemain bulutangkis yang hebat, tapi itu bagiku hanya untuk menyalurkan tenaga mudaku.
Kau tahu, aku memasuki kesenian sepenuh hati. Sedari umur 15 tahum minatku telah tertuju ke satu titik saja: kesenian! Aku sekolah di Mulo dan sebenarnya - meskipun tidak tamat - dengan bekal pendidikan dari sekolah itu cukup bekal bagiku untuk jadi pegawai mapan. Tapi aku bukan orang yang nyaman dalam kungkungan mengalami kantor. Zaman aku itu pendidikan bukan perkara mudah. Pilihan untuk menjadi penyair, begerak di lapangan kesenian, bagiku seperti wujud dari perlawananku pada segala.
HA: Baik, Pak Chairil. Itu cukup untuk menjawab pertanyaan pertama saya. Saya ingin beralih ke Pak GM. Silakan, Pak...
Goenawan Momahad (GM): Saya menulis sajak pada umur delapan belas. Bila dengan sederhana disebut bahwa orang yang menulis sajak dengan sadar sesadar-sadarnya adalah seorang penyair, maka saya kira saat itulah saya merasa telah menjadi penyair. Saya tidak tahu kenapa seorang menjadi penyair. Ihwal ini ada saya tulis di esei panjang saya "Potret Seorang Penyair Muda sebagai Si Malin Kundang". Dan saya sebenarnya tidak tenteram dengan pilihan ini. Saya seperti mulai terperangkap di dalam dunia penciptaan yang gelisah.
Ada saat penting dalam kepenyairan saya, yaitu ketika saya kemudian pindah ke Jakarta. Saya kira penyair Indonesia pada hakikatnya telah berjalan jauh sekali dari sekitarnya, ketika ia sampai pada posisi yang sadar, bahwa ia adalah seorang penyair....
HA: Baik, Pak GM, pembicaraan kita akan sampai tema menarik itu. Maaf saya potong dulu Anda. Sekarang (saya mengarahkan ucapan saya pada Sutardji Calzoum Bachri) Pak Tardji dulu.
SCB: Kapan saya mulai merasa menjadi penyair? Saya kira saya tak tahu kapan pesisnya. Tapi saya bisa bercerita panjang soal awal ketertarikan saya pada sajak. Di Tanjungpinang ketika saya kanak-kanak mudah sekali mendapatkan surat kabar berbahasa Inggris. Kami dekat sekali dengan Singapura. Ya, memang itu hanya koran bekas. Dari koran itu saya suka sekali melihat-lihat komik superhero. Saya tidak mengerti bahasa Inggris. Tapi saya bisa membunyikan tulisan itu. Nah, ini menarik sekali buat saya.
Lantas waktu SMA saya memilih jurusan bahasa. Saya dapat pelajaran Bahasa Inggris, Prancis dan Jerman. Pada masa ini saya juga mulai membangun kepekaan saya pada bahasa. Tetapi ketika kuliah di Bandunglah saya mulai "merendam" diri ke dalam bak besar puisi. Ada kawan saya yang bekerja paroh waktu di perpustakaan, ini memudahkan saya untuk mengakses buku-buku di sana. Kalian tak tahu, saya membaca banyak sekali buku, dan keras sekali melecut diri saya sebelum sampai pada sajak-sajak saya yang ha ha ha ada yang bilang dibuat secara sembarangan itu. Ha ha ha. Lantas saya menghasilkan sajak-sajak yang kalian tak pahami pada mulanya itu. Ha ha ha. Saya sendiri yakin sekali karena segala pengetahuan linguistik saya kuasa. Dan berdasarkan teori-teori linguistik itulah saya menyusun kredo sajak saya banyak kalian salahpahami itu.
HA: Nah, sekarang giliran Pak Sapardi untuk menjawab pertanyaan pertama di topik pertama ini. Silakan, Pak.
Sapardi Djoko Damono (SDD): Saya sudah menulis perihal ini dalam "Permainan Makna". Tulisan saya itu logikanya adalah untuk dibaca, bukan? Seharusnya itu saja sudah cukup untuk dibaca sebagai jawaban.
HA: Ah, masih juga risau dengan tarik menarik antara kelisanan dan keberaksaraan itu ya, Pak?
SDD: Bukan risau, tapi...
HA: Baik, Pak Sapardi. Begini saja, toh pembicaraan ini akan saya tulis. Dan kelak tulisan ini akan dibaca juga, bukan?
SDD: He he he. Baiklah. Saya pernah bilang menjadi penyair itu seperti kutukan buat saya.
SCB: Nah, kalau penyair seperti Mas Sapardi saja merasa terkutuk, bagaimana dengan saya? Bagaimana dengan Chairil? Kutukannya seribu kali lipat ha ha ha.
GM: Saya tidak merasa terkutuk. Saya tersiksa. He he he.
SDD: He he he. Memang menarik sekali membicarakan kapankah seorang penyair itu merasa telah menjadi penyair. Menarik pula bagaimana kemudian si penyair mempertahankan kepenyairannya. Nah, saya sendiri, punya masa kanak-kanak yang sangat biasa. Tidak menarik. Tidak heroik. Dan kalau heroisme masa kanak itu adalah bekal untuk menjadi penyair, maka sungguh saya tidak punya bekal untuk itu. Saya bukan tipe pemberontak seperti Pak Chairil, saya bukan petualang intelektual seperti Mas Goen (sapaan akrab bagi GM), dan saya bukan pendobrak seperti Mas Tardji...
SCB: Sudahlah, Mas Sapardi, kau posisikan dulu dirimu sebagai penyair, bukan sebagai kritikus yang sedang menilai kepenyairan saya, Chairil dan Mas GM, he he he.
SDD: Ya, saya teruskan ya?
HA: Ya, silakan, Pak.
SDD: Nah, dari masa kecil yang terlalu biasa itu saya malah mencurigai ada sesuatu yang tidak biasa di sebaliknya. Sejak SD saya sudah membaca Karl May. Di sekolah saya juga membaca sajak antara lain sajak Chairil Anwar.
CA: Sajakku?
SDD: Ya, sajak Anda. Saya kira Mas GM, Mas Tardji juga, begitu ya? Saya sudah menulis sejak SMP. Karangan pertama saya tulis berdasarkan pengalaman nyata saya. Saya kirim karangan itu ke majalah anak-anak berbahasa Jawa dan ditolak dengan alasan karangan itu dinilai tidak masuk akal. Saya kecewa, pasti kecewa. Tapi itulah saat penting karena itulah pertama kalinya saya diberi tahu bahwa ada kejadian tidak masuk akal yang saya alami. Saya tidak menulis lagi.
Sampai pada usia 17 tahun saya tertarik kembali mengarang, kali ini saya menulis sajak. Kenapa sajak? Karena akhirnya saya berkesimpulan, bahwa sajak boleh tidak masuk akal, tidak seperti cerita saya yang dulu ditolak karena dianggap tidak masuk akal. Saya ingat waktu itu saya kelas dua SMA. Sajak pertama saya dimuat di majalah yang redakturnya HB Jassin. Wah, tidak terbayang juga, mengingat saya waktu itu masih SMA. Waktu itu saya langsung beli majalah yang memuat sajak saya. Lalu sambil naik sepeda saya toleh kiri kanan. Saya heran kok orang-orang diam, tak tahu ya ada seorang penyair besar lewat. Ha ha.
GM: Untung Anda tidak menabrak tiang listrik waktu itu ya.
SDD: Ya. He he. Dan saya yakin dengan kepenyairan saya ketika saya masuk UGM tahun 1959. Waktu itu sajak saya dipakai sebagai sajak wajib Pekan Kesenian Mahasiswa di UGM. Saya kaget sekali. Waktu saya masuk Fakultas Sastra saat itu sudah ada beberapa orang yang mengenal saya sebagai penyair. Ya, kira-kira begitulah!
HA: Baiklah. Saya kira ini cukup untuk topik pertama pembicaraan kita. Terima kasih, dan kita akan berbincang lagi. Terima kasih, Pak Tardji, Pak Goen dan Pak Sapardi. Lho, Pak Chairil mana?
GM: Lho buku saya tadi mana?
SDD: Wah, buku saya juga tidak ada.
SCB: Ha ha ha. Kalau bertemu Chairil jangan suka pamer bukulah. Mana tahan dia diamkan tangannya kalau melihat buku bagus.
HA: Ada yang punya nomor telepon genggam Pak Chairil?
Sapardi, Goenawan dan Tardji lekas-lekas memeriksa ke kantong masing-masing. Mereka tampak lega ketika menemukan telepon genggam mereka masih ada di sana. Kami lantas tertawa bersama.