Friday, August 17, 2007

Sajak Boleh Pendek, Tapi Jangan Asal Pendek

Mailbox (Kumpulan Sajak)
Pengarang: Matdon
Penerbit: Mataair, Bandung, 2006
Tebal: 61 halaman.

BANYAK penyair menulis sajak pendek. Beberapa sajak amat berhasil. Beberapa biasa saja. Beberapa gagal. Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, Sitor Situmorang, Meidy Lukito, dan Joko Pinurbo, ada menulis sajak yang pendek.

Kualitas sajak tidak ditentukan panjang pendeknya. Ukuran-ukuran untuk menilai sajak pendek dan sajak panjang sama saja. Dacing untuk menimbang sajak panjang atau sajak pendek sama saja. Sajak pendek bisa saja lebih berat timbangannya daripada sajak panjang. Sajak pendek bisa saja lebih panjang maknanya daripada sajak panjang.

Saya menyukai beberapa sajak pendek. Beberapa sajak amat berhasil. Misalnya, "Malam Lebaran"-nya Sitor Situmorang yang amat terkenal itu. Atau "Luka" dan "Kalian" dua sajak pendek Sutardji itu.

Mari kita bicarakan sajak "Kepada Puisi", sebuah sajak pendek Joko Pinurbo yang amat saya sukai. Sajak itu dibangun utuh dengan lima kata saja.

Kau adalah mata, aku airmatamu.



Siapakah kau dalam sajak itu? Kita rujuk ke judulnya saja. Kau adalah si puisi. Lantas apa artinya apabila si aku menganggap puisi adalah mata, dan si aku sendiri menempatkan dirinya sebagai airmata si mata? Yang saya dapat adalah sebuah permainan logika yang tak melompat dari ranah logika itu sendiri. Bila aku - si penyair- menganggap dia adalah airmata bagi si mata, yaitu si puisi itu, maka si aku hanya akan ada apabila si pemilik mata menangis, apabila si pemilik mata berduka yang amat sangat.

Demikianlah makna saya dapatkan buat saya sendiri dari puisi itu. Joko Pinurbo mungkin hanya mengutak-atik kata memberdayakan diksi, tapi utak-atik itu tidak sia-sia. Utak-atik itu adalah hasil dari pengamatan dan penghayatan atas kehidupan. Manusia memang tidak harus selalu berduka, tidak harus selalu menangis. Tapi, manusia juga bukan harus terus-menerus bergembira. Hidup yang sesederhana apapun pada dasarnya adalah sebuah hidup yang tragis. Ada yang sama pada setiap hidup, yaitu maut yang mutlak itu. Maut yang menghabiskan hidup siapa pun. Bukankah ini sebuah alasan yang amat kuat untuk terus menerus berduka dan menangis?

Si penyair lantas menulis puisi. Penyair ada karena penyair menulis puisi. Pengandaian dimainkan. Aku airmata puisi, kata penyair. Airmata hanya akan ada apabila puisi si mata itu menyadari bahwa ia punya alasan untuk terus menerus menangis. Tangis yang tidak sia-sia. Tangis yang bukan kecengengan menghadapi hidup yang tragis ini.

Matdon penyair Bandung dalam buku "Mailbox" (Mataair, Bandung, 2006) ada banyak menulis sajak pendek. Pembicaraan soal sajak pendek di atas saya maksudkan sebagai pengantar untuk masuk ke sajak-sajaknya. Sayang, sajak-sajak pendek yang ia suguhkan, kurang disertai tawaran untuk memaknai seasyik sajak Joko Pinurbo yang saya contohkan di atas.

Misalnya pada sajak "Potret Hitam Negeriku". Matdon hanya menuliskan tiga kata dalam bait-sebaris.

Bingkainya telah lenyap.


Bagaimana makna bisa diperas dari sajak ini? Saya mencoba mencari hubungan antara potret dan bingkai. Potret yang bernilai, yang berharga, yang pantas dikenanglah yang biasanya diberi bingkai oleh si pemilik potret itu. Potret berbingkai itu lantas dipajang agar bisa sesering mungkin terlihat. Potret di bingkai beda harkatnya dengan potret yang ada di album. Potret di album hanya sesekali dibuka untuk dipandangi dan dipetik kenangan darinya.

Nah, lantas apa yang berharga dikenang dari sebuah potret hitam di negeri si penyair itu? Baiklah, hitam itu mungkin lambang duka. Lambang kekelaman. Mungkin sebuah sejarah gelap. Sejarah yang berharga untuk selalu mengingatkan si aku agar kehitaman itu tidak terulang.

Lantas kenapa bingkainya lenyap? Saya lantas kembali ke hubungan antara bingkai dan potret. Bingkai memberi harga yang lebih pada potret yang dibingkainya. Mungkin si penyair ingin bilang bahwa kita lupa menjaga apa yang bernilai pada sejarah, lupa untuk terus-menerus ingat pada apa yang bisa kita ambil sebagai pelajaran dari sejarah. Ibarat bingkai pada potret hitam yang telah lenyap karena kita tidak menjaganya.

Menurut saya ini adalah sebuah sajak pendek terbaik dari semua sajak pendek yang ada di buku Matdon itu. Selebihnya adalah sajak-sajak yang teramat biasa. Coba bandingkan:

Kalau kau mati
Bagaimana aku dapat hidup

(?, halaman 31)


Pada sajak ini, upaya untuk membangun ironi antara kau mati dan aku hidup, menjadi terlalu biasa. Ya, bagaimana? Saya bisa saja membayangkan bahwa seseorang yang teramat penting bagi orang lain, pasti akan mengundang pertanyaan yang sama, apabila seseorang itu mati dan seseorang lain itu hidup. Pertanyaan umum yang sia-sia dipuisikan.

yang akrab di nganga luka
hanya duka

(SEPI, halaman 12)


Ini juga sebuah permainan kata-kata yang terlalu biasa. Penyair tidak menunjukkan sebuah hasil perenungan yang dalam atas kesepian manusia itu. Ya, luka - sebagai lambang dari kesedihan - memang hanya akrab dengan duka. Lantas apa? Sajak ini ibarat menggapai-gapai minta tolong untuk diberi makna, tapi saya tidak tertarik untuk menolongnya. Beda misalnya dengan sajak "Luka" Sutardji, yang justru begitu kuatnya menarik saya, yang justru menolong saya.

bahkan anginpun
kusangka dirimu

(KANGEN 2, halaman 10)


Ini pun sebuah manifesto dari kangen yang amat biasa. Tidak ada yang istimewa. Saya bisa saja mengganti angin itu dengan batu, jendela, pintu, awan, hujan. Diksi penyair teramat biasa dan saya tidak terdorong untuk memberi harga pada upaya dia memilih kata-kata itu. Juga pada dua sajak kangen lainnya berikut ini:

fahamilah
sepiku

(KANGEN 3, halaman 11)


temui aku
di emailmu

(KANGEN 1, halaman 9)


Penyair pun masih gagap ketika ia berusaha keluar dari dirinya sendiri. Misalnya pada sajak ini:

nasibmu
memar
takdirmu
terpendar

(KUPU-KUPU MALAM, halaman 32)


Pengamatan dan penghayatan pada kehidupan wanita malam yang jamak diibaratkan sebagai kupu-kupu malam teramat dangkal sehingga hanya mengantar penyair untuk bisa menyebutkan "nasibmu memar, takdirmu terpendar", yaitu sebuah rumusan yang sangat umum. Nasib yang memar, akibat benturan-benturan kemalangan, ah umumnya memang begitu yang terpendar dari takdir para kupu-kupu malam itu, bukan? Makna apa yang bisa didapat dari baris-baris itu? Makna yang baru dan segar?

Demikianlah. Sebenarnya, sajak pendek bisa menjadi kekuatan. Asal saja sajak pendek itu tidak dijadikan pelarian dari ketidakmampuan penyair untuk menulis sajak yang panjang, membangun kompleksitas yang mentantang pembaca.

Sajak pendek mempermudah penyair untuk menjaga keutuhan sajaknya, tetapi sajak pendek pencabar penyair untuk membangun kompleksitas. Ini tantangan yang luar biasa. Jika tantangan itu tidak berhasil dijawab, maka yang lahir adalah sajak yang asal pendek, sajak yang teralalu enteng, terlalu terang dan karena itu tidak menarik untuk dijelajahi maknanya.