Blog ini adalah daerah cagar, suaka bagi sajak-sajak, terjemahan, dan esai-esai Hasan Aspahani. Hal-ihwal yang pernah hilang dan ingin ia hapuskan.
Wednesday, August 29, 2007
Bagaimana Kau Bisa Menjadi Penyair Lagi?
: Acep Zamzam Noor
BILA suatu ketika saja, padamu aku bertanya
bagaimana kau bisa menjadi penyair lagi?
Aku ingin kau menjawab dengan puisi hanya,
puisi yang pada bait-baitnya aku berjumpa
perempuan resah mengasah ujung alismatanya.
Dan katamu, "Kita adalah lelaki yang menuluskan
dada, agar dia menikamkan tajam itu, dalam-dalam."
*
BILA suatu ketika saja, padamu aku bertanya
bagaimana kau mencintai puisi tak henti-henti?
Aku ingin kau menjawab dengan kisah perjalanan,
ke Cipasung, ke Perugia. Mencari suara kepak angin,
dan jalan ke bunyi yang semakin mendekati sunyi.
Dan katamu, "Kita adalah penyair senantiasa siaga,
terpesona pesona sibak rambut dan ledak payudara!"
Sudah Malam di Yogya
: TS Pinang
SUDAH malam di Yogya, ketika pesawatku tiba.
Kita bersalaman, dua tangan, kiri & kanan,
itu pun belum cukup, sebenarnya, katamu,
"Untuk pertemanan ajaib. 7 tahun yang gaib."
Lalu malam kita serahkan pada sebuah kedai,
pemiliknya suka berkebun buku. "Di sini, tiap
terang bulan, para puisi hidup & para penyair
memastikan, "di dalam kata kita tak ada matinya."
"Di atas itu, ada lapangan bulu tangkis," katamu
dari meja yang tinggal daftar menu. Juru masak
sudah pulang, sejak petang. "Tapi penyair lebih
peka telinga, mendengar angsa-angsa menangis."
Kau pun menyebut yang saut, mengenang situmorang.
*
AH, sudah malam di Yogya, ketika pesawatku tiba.
Syair Wayang Kertas
: Sadli & Heni
Di layar itu, kau akan temui, lelaki bocah,
dia sudah bisa menyiang papuyu, menyalakan lampu,
memerah kentalnya santan untuk kuah mentah
dan menjaga si bungsu yang masih menyusu.
Bocah itu suka menggambar pada kardus bekas,
dengan pewarna kesumba. Lalu ia pun mencarang,
dari tokoh-tokoh yang ia reka. Wayang kertas
tanpa dalang, semacam teater bayang-bayang.
"Ini kisah tentang datu-datu kita." Dia memula
cerita. Bayangan lelaki tua dengan punggung keriput.
Mengukur dalam rawa, mendepa-depa kelak di mana
pintu air ia teguhkan, menaklukkan garam gambut.
Lalu, di layar, berlalu lelaki bertubuh tinggi.
Parangnya panjang, beralih tebas ke kanan-kiri.
Ia menangkali batang muda, kelapa yang ia jaga
dengan kedua tangannya. Ditariknya handayang tua.
"Engkau masih ingat sungai berair sejuk itu?"
pada tiap anak, ia mengajarkan siasat berenang.
"Engkau masih ingat hutan bakau yang lebat itu?
di lumpurnya anak-anak berburu pergam dan kerang.
Di layar itu, kini berpancaran terang warna-warna.
Anak-anak bernyanyian, bersama cahaya itu, menari.
Si bocah di syair pertama tadi tak tahu dari mana
lampu yang ia nyalakan itu mendapat warna pelangi.
Di layar itu, kau akan temui, lelaki bocah,
dia sudah bisa menyiang papuyu, menyalakan lampu,
memerah kentalnya santan untuk kuah mentah
dan menjaga si bungsu yang masih menyusu.
Bocah itu suka menggambar pada kardus bekas,
dengan pewarna kesumba. Lalu ia pun mencarang,
dari tokoh-tokoh yang ia reka. Wayang kertas
tanpa dalang, semacam teater bayang-bayang.
"Ini kisah tentang datu-datu kita." Dia memula
cerita. Bayangan lelaki tua dengan punggung keriput.
Mengukur dalam rawa, mendepa-depa kelak di mana
pintu air ia teguhkan, menaklukkan garam gambut.
Lalu, di layar, berlalu lelaki bertubuh tinggi.
Parangnya panjang, beralih tebas ke kanan-kiri.
Ia menangkali batang muda, kelapa yang ia jaga
dengan kedua tangannya. Ditariknya handayang tua.
"Engkau masih ingat sungai berair sejuk itu?"
pada tiap anak, ia mengajarkan siasat berenang.
"Engkau masih ingat hutan bakau yang lebat itu?
di lumpurnya anak-anak berburu pergam dan kerang.
Di layar itu, kini berpancaran terang warna-warna.
Anak-anak bernyanyian, bersama cahaya itu, menari.
Si bocah di syair pertama tadi tak tahu dari mana
lampu yang ia nyalakan itu mendapat warna pelangi.
Bersamamu & Sejumlah Sajakecilmu
: Joko Pinurbo
/1/
MALAM ini engkau akan dibaca oleh puisimu?
"Puisiku belum bisa membacaku. Sebab aku
belum selesai juga menuliskan matanya itu."
/2/
JALAN ke panggung puisi itu gelap sekali,
waktu kau lewati, telapak kakimu bercahaya.
"Tadi dari rumah, saya ke singgah ke sawah."
Sawahmu sedang indah. Lumpurnya menyala-nyala.
Padimu baru saja ditanam. Airnya berbau harum.
"Dari sawah saya langsung ke sini, tak sempat
mencuci kaki," katamu, lalu kau pun baca puisi.
"Puisi paling duka," katamu, menakuti pemirsa.
Wah, kau sendiri yang menangis. Airmatamu lumpur
menyala-nyala. Orang lain malahan terisak jenaka.
/3/
"BACAKANLAH aku dalam puisimu ya, Penyairku!"
Ada yang berbisik, sebelum ia tiba di panggung.
"Ini sajak untuk engkau yang tadi minta kubaca,"
katanya. Lantas ia pun menangis semerdu-merdunya.
/4/
"APA yang enak diobrolkan bersama para penyair?"
"Bicarakanlah apa saja, kecuali puisi. Buat apa?
Toh, kita sudah penyair," kata penyair paling mahir.
Sebagai penyair gadungan dan palsu, saya gentar
bicara, sebab saya masih sering dikelabuhi puisi.
/5/
SETELAH dikerjai puisi, mereka menggelar tikar
di alun-alun. "Hidangkan kopi-jahe terhangat,
dan gorengan ala prasmanan," kata bos penyair.
"Siap, komandan," kata sang juragan angkringan.
Maka tergelarlah guyonan, diselingi kantuk & batuk.
Tiba-tiba, datang dua perempuan menawarkan rokok
andalan. "Ini harga promosi, merek koboi amerika,
cita rasa baru, asli, produksi dari dalam negeri."
"Kalau dibeli, engkau mau menemani merokok di sini
bersama kami yang ingin berjuang melek sampai pagi?"
Dua perempuan itu berlalu begitu saja, dengan
langkah dan arah yang paling rahasia. "Hati-hati,
banyak penyair berkeliaran," kata sang juragan.
Dan mereka berpandangan, ketika ada dua bungkus
rokok terbuka sempurna di hadapan mereka. "Ayo,
siapa tadi minta ditemani merokok sampai pagi?"
Sunday, August 26, 2007
Hasan Aspahani di FKY, 24 Agustus 2007, foto oleh Kinoe.
Apa yang terjadi, sebelum, saat saya di panggung, dan sesudah itu? Tunggu, pengakuan saya!
Tetapi, Saya Penyair!
: untuk Gus tf
/1/
TETAPI, saya penyair
bukan pengemis cemas
yang tak pernah yakin selalu ada sesuatu
yang bisa disantap di kantong roti.
Saya penyair
yang tahu pasti, di kantong roti itu
selalu ada lapar: penuh dan sangat tawar.
Ya, saya kira
saya tadi bertemu seseorang seperti Diogenes,
menumbuk-numbukkan ujung tongkat
ke kantong rotiku yang kempes,
"Bagikanlah, bagikanlah sekerat lapar itu padaku."
/2/
TETAPI, saya penyair
bukan penyihir mahir
menyimpan mantera di saku mantel
Saya penyair
yang meringkuk
di dalam tong
- bahasa yang sering dicurigai & kerap disesali -
tetapi ke dalam tong itulah saya kembali
meringkuk seperti janin
menendang-nendang dinding rahim.
Saya dengar
ada seseorang berkata, seperti Socrates
filsuf berlidah protes
di depan sebuah syair, sebuah pertanyaan
ia tinggalkan,
"kenapa terlalu banyak kata, berdesakan,
kata yang tidak saya perlukan?"
Sejak itu aku lenyapkan diri
berulang kali, di akhir sajak
menghilangkan jejak, agar bait tak sesak,
mengulangi perpisahan:
aku terus berjalan, ke keberbagaian,
sedang sajak menuju ke kebanyakan,
arah berlain-lainan.
/3/
"TETAPi, saya penyair,"
kataku.
"Benarkah?" katamu,
"bila ya, mari kita melenyap ke lain badan,
mari kita menghancur ke lain sebutan,
karena dengan demikian
kita bisa menghampir pada keabadian,
kita dapat kuat menahan
kita mampu lama bertahan."
* Foto Gus tf oleh Kinoe
Wednesday, August 22, 2007
[002] Minat, Bakat, Semangat, Syarat untuk Jadi Hebat!
Sepeninggal Chairil Anwar kami masih berlima. Saya, Sapardi Djoko Damono (SDD), Goenawan Mohamad (GM), Sutardji Calzoum Bachri (SDD) dan kini kami bersama Subagio Sastrowadoyo (Madiun, 1 Februari 1924). Nama terakhir ini adalah seorang penyair, juga pemerhati sastra serta kritikus yang tajam. Dia misalnya pernah membuat tulisan kritik yang amat bagus yang menganggap penabalan H.B. Jassin atas Angkatan 66 kurang berdalih. Tapi, kami belum akan berbincang ke soal jauh itu. Kami akan bicara soal modal atau syarat untuk menjadi penyair hebat! Sekali lagi, tidak penting saya sebutkan dimana dan kapan perkumpulan ini terselenggara.
HA: Pak Tardji setahu saya sering mengatakan soal bakat. Penyair yang menghasilkan sajak buruk sering Anda sebut memang tidak berbakat besar.
SCB: Saya kira begini. Perpuisian kita akan tumbuh, berkembang, menarik untuk diamati dan diikuti, dan kelak bangsa kita lewat dunia puisi akan disegani apabila para penyair-penyair kita terus mencari, mengerahkan daya kreasi untuk menghasilkan sajak-sajak baru yang unggul. Menjadi penyair hebat itu tidak pokok. Yang lebih penting adalah menghasilkan karya yang hebat. Toh nanti karya hebat itu akan mengangkat sendiri nama penyairnya menjadi penyair hebat.
HA: Nah, apa yang harus dimiliki oleh penyair untuk menghasilkan sajak yang hebat?
SCB: Yang paling penting adalah terus berproses dan bergerak. Yang diperlukan adalah bakat, background ilmu, wawasan dan kontak dengan pemikiran-pemikiran orang lain, banyak pengalaman, kesempatan, minat, dan nasib baik. Dan jangan lupa satu hal: takdir Tuhan! Ini semua panjang sekali kalau kita mau bicarakan.
HA: Kita berfokus pada apa yang berasal dari dalam diri penyair saja dahulu. Saya kira yang diperlukan adalah minat, bakat, dan semangat. Saya ingat Pak Subagio pernah menulis soal bakat alam dan intelektualisme yang diperlukan oleh penyair agar bisa menghasilkan sajak yang hebat.
Subagio Sastrowardoyo (SS): (Sambil membetulkan letak kacamata dan menyamankan duduknya) Menurut saya bakat penting, tapi itu saja tidak cukup. Intelektualisme diperlukan, bahkan sangat diperlukan untuk memberdayakan bakat itu, apalagi untuk menghasilkan sajak yang hebat. Karena apa? Karena sajak adalah buah karya sastera (beginilah SS mengucapkan dan dia minta ditulis seperti itu juga) yang nilai seninya sangat tergantung pada kekuatanekspresinya. Untuk menghasilkan sajak yang baik disamping bobot pikiran, nilainya ditentukan oleh dengan sangat beratnya oleh daya ekspresinya. Nilai puitiknya terletak pada kepelikan pikirannya tentang dunia dan hidup, tetapi tidak kalau beratnya tergantung pada caranya penyair mengucapkan diri.
HA: Maaf, Pak Subagio, saya kira kita belum membahas soal sajak yang baik, tetapi masih pada soal perlunya bakat, dan yang menarik dari Anda adalah soal intelektualisme.
SS: Nah, justru saya sedang mengarah ke sana. Ya, saya kira memang penyair perlu menambah atau mengasah intelektualitasnya. Penyair yang mengandalkan bakat alam saja pasti tenggelam dalam kelupaan karena habis daya untuk memberikan kepada dunia intelektualitas pemikiran yang matang tentang dunia dan kehidupan.
HA: Bisa diberi contoh nama-nama, Pak Subagio?
SS: Tentu saja. Pada berbagai periode sastera selalu timbul nama-nama penyair berbakat. Mereka peka, sangat peka dan menaruh perhatian besar kepada gaya kepenyairannya. Saya akan panjang bicara soal ini...
HA: Ya, teruskan saja, Pak.
SS: Bakat-bakat alam, sebenarnya ini istilah yang saya dengar dalam percakapan dengan H.B. Jassin. Mereka yang memiliki bakat alam ini bisa kita lihat lahir di sekitar tahun 1955. Saya menamakannya "generasi Kisah". Ini sesuai dengan nama majalah yang berperan penting pada masa itu. Saya bisa menyebut nama Rendra, Ajib Rosidi, Mansur Samin dan Kirdjomuljo. Sajak-sajak mereka terbit di majalah Kisah.
Karena umur dan kesempatan pendidikan dan pengalaman hidup yang masih singkat, alam pikiran mereka terbatas kepada yang dapat disimpulkan dari sajak-sajak yang mereka baca dari generasi sastera terdahulu. Mereka membaca Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Toto Sudarto Bachtiar, juga karya asing yang masih dapat mereka peroleh dari terjemahannya misalnya Lorca dan Carl Sandburg.
Mereka kurang menguasai bahasa asing, ini disebabkan oleh kurikulum pendidikan pada masa itu. Ini berbeda dengan Chairil misalnya yang berpendidikan Mulo dan menguasai bahasa Belanda. Nah, bahan sajak-sajak para penyair berbakat alam ini didapat dari peristiwa sederhana yang berlangsung di kota atau di kampung, keakraban dengan alam raya, ataupun kesan kemurungan yang tak menentu yang tak menemukan pemecahan. Maka pada masa itu misalnya, bentuk balada amat disukai karena bentuk itulah yang memungkinkan pemberitaan peristiwa dengan leluasa.
HA: Pak Subagio, bukankah Rendra kemudian ke Amerika dan menghasilkan sajak yang hebat yang berlatar belajang negara itu?
SS: Ya, itulah yang kemudian terjadi. Mereka insyaf bahwa untuk kepentingan menyajak tidak cukup hanya berbekal bakat alam belaka. Mereka kemudian memperdalam pengertian serta pemahaman dalam masalah sosial dan politik. Ajib menjadi wartawan. Mansur Samin ikut demonstrasi mengkritik kebobrokan rezim pemerintah saat itu. Rendra ke Amerika mengambil kuliah sosiologi. Itu artinya apa? Mereka sadar harus menyerap gejolak dalam masyarakatnya dan rmempertajam atau mempertinggi derajat intelektualitas mereka agar bisa melengkapi segi ekspresi kerja persajakan mereka.
HA: Baik, saya kira saya bisa menangkap teladan dari penjelasan Pak Subagio. Pada mulanya adalah bakat alam, penyair harus menyadari dan kemudian memanfaatkan bakat itu, ada minat yang kuat untuk menerjuni dunia puisi. Tapi bakat saja tidak cukup. Diperlukan intelektualitas agar bakat semakin tajam. Hanya mengandalkan bakat, penyair akan tenggelam.
SS: Persis.
HA: Saya ingin dengar pendapat Pak Sapardi soal bakat, minat, dan semangat menggeluti dunia kepenyairan ini.
SDD: Kalau bicara soal itu, saya ingin kita melihat sosok Chairil Anwar. Dia saya kira adalah sosok penyair yang dengan sempurna menunjukkan kombinasi antara bakat yang besar, minat yang menggebu dan terfokus pada sastra, dan semangat yang membara yang dilandasi pada keyakinan bahwa dunia yang ia masuki tidak sia-sia. Kita bisa melihat itu dari karyanya.
Saya pernah bilang, akhirnya memang tidak ada hasil kerja manusia yang sempurna. Tapi beberapa sajak Chairil Anwar yang terbaik menunjukkan bahwa ia telah bergerak begitu cepat ke depan, sehingga bahkan bagi banyak penyair masa kini taraf sajak-sajak tersebut bukan merupakan masa lampai tetapi masa depan, yang hanya bisa dicapai dengan bakat, semangat dan kecerdasan yang tinggi.
SCB: Ya, saya banyak meneladani Chairil. Saya kira, dia memang pantas menjadi teladan kita dalam menyair. Dia orang yang bersungguh-sungguh menyair. Dia penyair serius. Kita semua tahu bagaimana dia sampai berminggu-minggu mencari kata yang tepat untuk satu baris sajaknya.
Baginya menulis sajak harus dirancang, direncanakan dan dipikirkan ketepatan kata-katanya. Chairil menolak improvisasi. Nanti bisa dia jelaskan sendirilah.
Chairil mencontohkan bagaimana seleksi kualitatif dari dirinya sendiri sebagai penyair atas sajak-sajaknya. Dia bukan orang yang menawarkan sebanyak-banyaknya sajak lantas seperti pasang undian, ah siapa tahu nanti ada beberapa yang diakui sebagai sajak yang baik.
HA: Bukankah berpuisi adalah melakukan ekperimen berbahasa, Pak Tardji?
SCB: Ah, kau. Jangan samakan semangat bereksperimen dengan sekadar coba-coba. Justru yang dilakukan oleh Chairil adalah sebuah eksperimen yang ketat. Itulah sebabnya maka pernah saya bilang kenapa sekarang terlalu banyak muncul sajak yang tak bernilai dalam perpuisisan kita. Dan tentu saja ada sebab lain, yang paut dengan pembicaraan kita ini yaitu apa? Bakat yang kurang!
HA: Bagaimana Pak GM? Ada yang ingin dilengkapi?
GM: Ya, bicara soal bakat dan totalitas Chairil memang tak akan pernah pudar daya tariknya. Kita mengenangnya sebagai pemuda berumur 20-an yang biasa bicara angkuh, cerdas, cekatan, kocak dan kadang menohok. Coba baca skenario Sjuman Jaya yang tak sempat difilmkan itu. Tanpa bakat besar dan minat serta keyakinan yang teguh atas pilihannya pada jalan puisi, saya kira Chairil tidak akan menjadi seperti Chairil yang kita kenal. Bayangkanlah masa itu, tahun 1940-an itu, suatu masa ketika pikiran besar dan kecil ramai bergulat. Harapan akan negeri yang bebas mekar. Pemikir dan penyair sibuk, juga asyik. Dan dia menulis puisi begitu segar, dan kurang ajar. Chairil, penyair yang diberkahi bakat besar ini, hadir di tengah masa seperti itu.
Dari sajak-sajaknya kita tahu bagaimana semangat yang ia kobarkan. "Aku suka pada mereka yang berani hidup" katanya, "aku suka pada mereka yang masuk menemu malam?" Nah. Begitulah dia. Jika pada malam itu ada bahaya, dosa, setan atau sifilis sekalipun tak merisaukan dia. Baginya, tak ada sensor, tak ada ketakutan, tak ada sejarah, batas administrasi, doktrin agama, dan segala yang dianggap membatasi.
Tapi, Chairil memanfaatkan kebebasan kreatif itu. Ia bahkan merampas, dan ikut membangun kebebasan itu.
HA: Ya, dia tidak berlindung dibalik kebebasan kreatif, kebebasan penyair untuk menyelamatkan sajak yang buruk? Dia tidak menulis sembarang sajak lantas menyebutnya sajak sembarangan itu berhak dia tulis karena puisi adalah dunia yang bebas?
SCB: Itulah yang saya bilang tadi semangat coba-coba itu, semangat iseng-iseng berhadiah! Ha ha ha!
HA: Nah, kalau pertanyaannya ditujukan pada Anda semua, seberapa besar Anda merasakan bakat itu ada dalam diri Anda.
Sapardi dan Goenawan berpandangan. Sutardji lantas tertawa lepas bersama lepasnya tawa Subagio.
SCB: Besar, sangat besar. Kami adalah penyair yang tahu bahwa bakat kami besar. Minat kami besar. Dan semangat kami untuk perpuisian Indonesia pun sama besarnya.
GM: Terima kasih. Sutardji sudah menjadi juru bicara kami. Juru bicara yang baik.
Tawa yang lebih lepas lantas memenuhi tempat kami berbincang.
HA: Baiklah. Kita lanjutkan lagi. (Saya harus buru-buru akhiri pembicaraan sesi ini, saya takut mereka berbalik menanyakan hal yang sama kepada saya).
SDD: Hei, tunggu, kalau Anda yang ditanya seperti itu, apa jawaban Anda?
(Aduh, Pak Sapardi kok seperti tahu membaca pikiran saya).
HA: Begini, saya kira Pak GM sudah menjadi juru bicara saya juga! Terima kasih, Pak GM. Permisi.
HA: Pak Tardji setahu saya sering mengatakan soal bakat. Penyair yang menghasilkan sajak buruk sering Anda sebut memang tidak berbakat besar.
SCB: Saya kira begini. Perpuisian kita akan tumbuh, berkembang, menarik untuk diamati dan diikuti, dan kelak bangsa kita lewat dunia puisi akan disegani apabila para penyair-penyair kita terus mencari, mengerahkan daya kreasi untuk menghasilkan sajak-sajak baru yang unggul. Menjadi penyair hebat itu tidak pokok. Yang lebih penting adalah menghasilkan karya yang hebat. Toh nanti karya hebat itu akan mengangkat sendiri nama penyairnya menjadi penyair hebat.
HA: Nah, apa yang harus dimiliki oleh penyair untuk menghasilkan sajak yang hebat?
SCB: Yang paling penting adalah terus berproses dan bergerak. Yang diperlukan adalah bakat, background ilmu, wawasan dan kontak dengan pemikiran-pemikiran orang lain, banyak pengalaman, kesempatan, minat, dan nasib baik. Dan jangan lupa satu hal: takdir Tuhan! Ini semua panjang sekali kalau kita mau bicarakan.
HA: Kita berfokus pada apa yang berasal dari dalam diri penyair saja dahulu. Saya kira yang diperlukan adalah minat, bakat, dan semangat. Saya ingat Pak Subagio pernah menulis soal bakat alam dan intelektualisme yang diperlukan oleh penyair agar bisa menghasilkan sajak yang hebat.
Subagio Sastrowardoyo (SS): (Sambil membetulkan letak kacamata dan menyamankan duduknya) Menurut saya bakat penting, tapi itu saja tidak cukup. Intelektualisme diperlukan, bahkan sangat diperlukan untuk memberdayakan bakat itu, apalagi untuk menghasilkan sajak yang hebat. Karena apa? Karena sajak adalah buah karya sastera (beginilah SS mengucapkan dan dia minta ditulis seperti itu juga) yang nilai seninya sangat tergantung pada kekuatanekspresinya. Untuk menghasilkan sajak yang baik disamping bobot pikiran, nilainya ditentukan oleh dengan sangat beratnya oleh daya ekspresinya. Nilai puitiknya terletak pada kepelikan pikirannya tentang dunia dan hidup, tetapi tidak kalau beratnya tergantung pada caranya penyair mengucapkan diri.
HA: Maaf, Pak Subagio, saya kira kita belum membahas soal sajak yang baik, tetapi masih pada soal perlunya bakat, dan yang menarik dari Anda adalah soal intelektualisme.
SS: Nah, justru saya sedang mengarah ke sana. Ya, saya kira memang penyair perlu menambah atau mengasah intelektualitasnya. Penyair yang mengandalkan bakat alam saja pasti tenggelam dalam kelupaan karena habis daya untuk memberikan kepada dunia intelektualitas pemikiran yang matang tentang dunia dan kehidupan.
HA: Bisa diberi contoh nama-nama, Pak Subagio?
SS: Tentu saja. Pada berbagai periode sastera selalu timbul nama-nama penyair berbakat. Mereka peka, sangat peka dan menaruh perhatian besar kepada gaya kepenyairannya. Saya akan panjang bicara soal ini...
HA: Ya, teruskan saja, Pak.
SS: Bakat-bakat alam, sebenarnya ini istilah yang saya dengar dalam percakapan dengan H.B. Jassin. Mereka yang memiliki bakat alam ini bisa kita lihat lahir di sekitar tahun 1955. Saya menamakannya "generasi Kisah". Ini sesuai dengan nama majalah yang berperan penting pada masa itu. Saya bisa menyebut nama Rendra, Ajib Rosidi, Mansur Samin dan Kirdjomuljo. Sajak-sajak mereka terbit di majalah Kisah.
Karena umur dan kesempatan pendidikan dan pengalaman hidup yang masih singkat, alam pikiran mereka terbatas kepada yang dapat disimpulkan dari sajak-sajak yang mereka baca dari generasi sastera terdahulu. Mereka membaca Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Toto Sudarto Bachtiar, juga karya asing yang masih dapat mereka peroleh dari terjemahannya misalnya Lorca dan Carl Sandburg.
Mereka kurang menguasai bahasa asing, ini disebabkan oleh kurikulum pendidikan pada masa itu. Ini berbeda dengan Chairil misalnya yang berpendidikan Mulo dan menguasai bahasa Belanda. Nah, bahan sajak-sajak para penyair berbakat alam ini didapat dari peristiwa sederhana yang berlangsung di kota atau di kampung, keakraban dengan alam raya, ataupun kesan kemurungan yang tak menentu yang tak menemukan pemecahan. Maka pada masa itu misalnya, bentuk balada amat disukai karena bentuk itulah yang memungkinkan pemberitaan peristiwa dengan leluasa.
HA: Pak Subagio, bukankah Rendra kemudian ke Amerika dan menghasilkan sajak yang hebat yang berlatar belajang negara itu?
SS: Ya, itulah yang kemudian terjadi. Mereka insyaf bahwa untuk kepentingan menyajak tidak cukup hanya berbekal bakat alam belaka. Mereka kemudian memperdalam pengertian serta pemahaman dalam masalah sosial dan politik. Ajib menjadi wartawan. Mansur Samin ikut demonstrasi mengkritik kebobrokan rezim pemerintah saat itu. Rendra ke Amerika mengambil kuliah sosiologi. Itu artinya apa? Mereka sadar harus menyerap gejolak dalam masyarakatnya dan rmempertajam atau mempertinggi derajat intelektualitas mereka agar bisa melengkapi segi ekspresi kerja persajakan mereka.
HA: Baik, saya kira saya bisa menangkap teladan dari penjelasan Pak Subagio. Pada mulanya adalah bakat alam, penyair harus menyadari dan kemudian memanfaatkan bakat itu, ada minat yang kuat untuk menerjuni dunia puisi. Tapi bakat saja tidak cukup. Diperlukan intelektualitas agar bakat semakin tajam. Hanya mengandalkan bakat, penyair akan tenggelam.
SS: Persis.
HA: Saya ingin dengar pendapat Pak Sapardi soal bakat, minat, dan semangat menggeluti dunia kepenyairan ini.
SDD: Kalau bicara soal itu, saya ingin kita melihat sosok Chairil Anwar. Dia saya kira adalah sosok penyair yang dengan sempurna menunjukkan kombinasi antara bakat yang besar, minat yang menggebu dan terfokus pada sastra, dan semangat yang membara yang dilandasi pada keyakinan bahwa dunia yang ia masuki tidak sia-sia. Kita bisa melihat itu dari karyanya.
Saya pernah bilang, akhirnya memang tidak ada hasil kerja manusia yang sempurna. Tapi beberapa sajak Chairil Anwar yang terbaik menunjukkan bahwa ia telah bergerak begitu cepat ke depan, sehingga bahkan bagi banyak penyair masa kini taraf sajak-sajak tersebut bukan merupakan masa lampai tetapi masa depan, yang hanya bisa dicapai dengan bakat, semangat dan kecerdasan yang tinggi.
SCB: Ya, saya banyak meneladani Chairil. Saya kira, dia memang pantas menjadi teladan kita dalam menyair. Dia orang yang bersungguh-sungguh menyair. Dia penyair serius. Kita semua tahu bagaimana dia sampai berminggu-minggu mencari kata yang tepat untuk satu baris sajaknya.
Baginya menulis sajak harus dirancang, direncanakan dan dipikirkan ketepatan kata-katanya. Chairil menolak improvisasi. Nanti bisa dia jelaskan sendirilah.
Chairil mencontohkan bagaimana seleksi kualitatif dari dirinya sendiri sebagai penyair atas sajak-sajaknya. Dia bukan orang yang menawarkan sebanyak-banyaknya sajak lantas seperti pasang undian, ah siapa tahu nanti ada beberapa yang diakui sebagai sajak yang baik.
HA: Bukankah berpuisi adalah melakukan ekperimen berbahasa, Pak Tardji?
SCB: Ah, kau. Jangan samakan semangat bereksperimen dengan sekadar coba-coba. Justru yang dilakukan oleh Chairil adalah sebuah eksperimen yang ketat. Itulah sebabnya maka pernah saya bilang kenapa sekarang terlalu banyak muncul sajak yang tak bernilai dalam perpuisisan kita. Dan tentu saja ada sebab lain, yang paut dengan pembicaraan kita ini yaitu apa? Bakat yang kurang!
HA: Bagaimana Pak GM? Ada yang ingin dilengkapi?
GM: Ya, bicara soal bakat dan totalitas Chairil memang tak akan pernah pudar daya tariknya. Kita mengenangnya sebagai pemuda berumur 20-an yang biasa bicara angkuh, cerdas, cekatan, kocak dan kadang menohok. Coba baca skenario Sjuman Jaya yang tak sempat difilmkan itu. Tanpa bakat besar dan minat serta keyakinan yang teguh atas pilihannya pada jalan puisi, saya kira Chairil tidak akan menjadi seperti Chairil yang kita kenal. Bayangkanlah masa itu, tahun 1940-an itu, suatu masa ketika pikiran besar dan kecil ramai bergulat. Harapan akan negeri yang bebas mekar. Pemikir dan penyair sibuk, juga asyik. Dan dia menulis puisi begitu segar, dan kurang ajar. Chairil, penyair yang diberkahi bakat besar ini, hadir di tengah masa seperti itu.
Dari sajak-sajaknya kita tahu bagaimana semangat yang ia kobarkan. "Aku suka pada mereka yang berani hidup" katanya, "aku suka pada mereka yang masuk menemu malam?" Nah. Begitulah dia. Jika pada malam itu ada bahaya, dosa, setan atau sifilis sekalipun tak merisaukan dia. Baginya, tak ada sensor, tak ada ketakutan, tak ada sejarah, batas administrasi, doktrin agama, dan segala yang dianggap membatasi.
Tapi, Chairil memanfaatkan kebebasan kreatif itu. Ia bahkan merampas, dan ikut membangun kebebasan itu.
HA: Ya, dia tidak berlindung dibalik kebebasan kreatif, kebebasan penyair untuk menyelamatkan sajak yang buruk? Dia tidak menulis sembarang sajak lantas menyebutnya sajak sembarangan itu berhak dia tulis karena puisi adalah dunia yang bebas?
SCB: Itulah yang saya bilang tadi semangat coba-coba itu, semangat iseng-iseng berhadiah! Ha ha ha!
HA: Nah, kalau pertanyaannya ditujukan pada Anda semua, seberapa besar Anda merasakan bakat itu ada dalam diri Anda.
Sapardi dan Goenawan berpandangan. Sutardji lantas tertawa lepas bersama lepasnya tawa Subagio.
SCB: Besar, sangat besar. Kami adalah penyair yang tahu bahwa bakat kami besar. Minat kami besar. Dan semangat kami untuk perpuisian Indonesia pun sama besarnya.
GM: Terima kasih. Sutardji sudah menjadi juru bicara kami. Juru bicara yang baik.
Tawa yang lebih lepas lantas memenuhi tempat kami berbincang.
HA: Baiklah. Kita lanjutkan lagi. (Saya harus buru-buru akhiri pembicaraan sesi ini, saya takut mereka berbalik menanyakan hal yang sama kepada saya).
SDD: Hei, tunggu, kalau Anda yang ditanya seperti itu, apa jawaban Anda?
(Aduh, Pak Sapardi kok seperti tahu membaca pikiran saya).
HA: Begini, saya kira Pak GM sudah menjadi juru bicara saya juga! Terima kasih, Pak GM. Permisi.
Monday, August 20, 2007
Kontes Penulisan Puisi Dewan
Kesenian Provinsi Kepulauan Riau
Tema: Tafsir Bebas atas
Gurindam Duabelas
Tafsir atas sebuah karya sajak memperkaya sajak tersebut, kata Profesor Sapardi Djoko Damono. Kita tidak menulis di atas kertas kosong, tapi kita menulis di atas realitas dan diatas tulisan orang lain, kata Sutardji Calzoum Bachri. Kutipan dari dua nama besar di jagad sastra Indonesia itu cukup untuk jadi alasan kita untuk terus menulis kegelisahan kehidupan dalam sajak dengan riang-gembira.
Tantangan bagi tiap-tiap penulis sajak modern adalah menemukan pengucapan yang asli. Tantangan untuk sampai ke penemuan pengucapan itu bukan berarti melupakan karya sastra yang sudah menjadi klasik. Pengucapan yang khas, yang berbeda, pasti juga bisa ditemukan
ketika kita menafsir atas karya-karya klasik. Apalagi karya itu adalah Gurindam Duabelas, karya besar dari pujangga besar Raja Ali Haji.
Karena jejak sastra Indonesia juga ada bermula dari karya itu, Dewan Kesenian Provinsi Kepulauan Riau (DKPKR) mengajak dan menantang penyair di tanah air untuk menelusuri lagi jejak itu. Penelurusan yang diinginkan bukan sekadar pengulangan atau napak tilas.
Penelurusan itu akan berarti, bagi kehidupan kini dengan tantangan-tantangan yang sudah sangat berbeda, apabila bisa menafsirkan dengan gagasan segar, baru dan dengan pengucapan yang khas.
Tema
Tantangan itu bentuk nyatanya adalah kegiatan bernama Kontes Penulisan Puisi dalam Rangka Bintan Arts Festival (BAF) 2007. Dengan tema: Tafsir Bebas Atas Gurindam Duabelas.
Ketentuan Kontes:
1. Peserta adalah masyarakat umum tanpa batasan umur. Warga Negara Indonesia yang dibuktikan dengan menyertakan fotokopi KTP atau identitas sah lainnya.
2. Puisi yang diikut sertakan dalam kontes ini adalah karya asli perorangan, bukan terjemahan atau saduran. Keaslian adalah butir utama penilaian. Penulis puisi adalah peserta kontes atas nama dirinya sendiri.
3. Tiap peserta boleh mengirimkan paling banyak 3 (tiga) puisi. Setiap puisi dikirim rangkap 5 (lima). Karya dikirim melalui pos ke alamat Sekretariat Dewan Kesenian Provinsi Riau (DKPKR) Jalan Arif Rahmah Hakim Blok A1 No 1, Tanjungpinang 29124. Paling lambat tanggal 1 September 2007. Peserta menyertakan nama, alamat lengkap, alamat email, nomor telepon aktif di lembar terpisah dari naskah puisi.
4. Nama-nama pemenang akan diumumkan pada bulan Oktober, langsung kepada pemenang, dan media massa.
5. Pemenang berhak atas hadiah piagam Juara I Rp 5.000.000, Juara II, Rp 3.500.000, Juara III Rp 2.000.000, Tiga pemenang harapan masing-masing Rp 1.000.000.
6. Majelis juri terdiri atas tiga nama yang bekerja independen dan tidak melayani komunikasi apapun dengan peserta yang dapat mempengaruhi proses penjurian.
7. Bersama karya pemenang, sejumlah karya yang dinilai pantas akan ikut disertakan dalam buku antologi yang akan diterbitkan kemudian. Pengirim karya untuk lomba dianggap setuju karya sajaknya disertakan dalam penerbitan antologi tersebut.
NB: Mohon disebarluaskan!
Kesenian Provinsi Kepulauan Riau
Tema: Tafsir Bebas atas
Gurindam Duabelas
Tafsir atas sebuah karya sajak memperkaya sajak tersebut, kata Profesor Sapardi Djoko Damono. Kita tidak menulis di atas kertas kosong, tapi kita menulis di atas realitas dan diatas tulisan orang lain, kata Sutardji Calzoum Bachri. Kutipan dari dua nama besar di jagad sastra Indonesia itu cukup untuk jadi alasan kita untuk terus menulis kegelisahan kehidupan dalam sajak dengan riang-gembira.
Tantangan bagi tiap-tiap penulis sajak modern adalah menemukan pengucapan yang asli. Tantangan untuk sampai ke penemuan pengucapan itu bukan berarti melupakan karya sastra yang sudah menjadi klasik. Pengucapan yang khas, yang berbeda, pasti juga bisa ditemukan
ketika kita menafsir atas karya-karya klasik. Apalagi karya itu adalah Gurindam Duabelas, karya besar dari pujangga besar Raja Ali Haji.
Karena jejak sastra Indonesia juga ada bermula dari karya itu, Dewan Kesenian Provinsi Kepulauan Riau (DKPKR) mengajak dan menantang penyair di tanah air untuk menelusuri lagi jejak itu. Penelurusan yang diinginkan bukan sekadar pengulangan atau napak tilas.
Penelurusan itu akan berarti, bagi kehidupan kini dengan tantangan-tantangan yang sudah sangat berbeda, apabila bisa menafsirkan dengan gagasan segar, baru dan dengan pengucapan yang khas.
Tema
Tantangan itu bentuk nyatanya adalah kegiatan bernama Kontes Penulisan Puisi dalam Rangka Bintan Arts Festival (BAF) 2007. Dengan tema: Tafsir Bebas Atas Gurindam Duabelas.
Ketentuan Kontes:
1. Peserta adalah masyarakat umum tanpa batasan umur. Warga Negara Indonesia yang dibuktikan dengan menyertakan fotokopi KTP atau identitas sah lainnya.
2. Puisi yang diikut sertakan dalam kontes ini adalah karya asli perorangan, bukan terjemahan atau saduran. Keaslian adalah butir utama penilaian. Penulis puisi adalah peserta kontes atas nama dirinya sendiri.
3. Tiap peserta boleh mengirimkan paling banyak 3 (tiga) puisi. Setiap puisi dikirim rangkap 5 (lima). Karya dikirim melalui pos ke alamat Sekretariat Dewan Kesenian Provinsi Riau (DKPKR) Jalan Arif Rahmah Hakim Blok A1 No 1, Tanjungpinang 29124. Paling lambat tanggal 1 September 2007. Peserta menyertakan nama, alamat lengkap, alamat email, nomor telepon aktif di lembar terpisah dari naskah puisi.
4. Nama-nama pemenang akan diumumkan pada bulan Oktober, langsung kepada pemenang, dan media massa.
5. Pemenang berhak atas hadiah piagam Juara I Rp 5.000.000, Juara II, Rp 3.500.000, Juara III Rp 2.000.000, Tiga pemenang harapan masing-masing Rp 1.000.000.
6. Majelis juri terdiri atas tiga nama yang bekerja independen dan tidak melayani komunikasi apapun dengan peserta yang dapat mempengaruhi proses penjurian.
7. Bersama karya pemenang, sejumlah karya yang dinilai pantas akan ikut disertakan dalam buku antologi yang akan diterbitkan kemudian. Pengirim karya untuk lomba dianggap setuju karya sajaknya disertakan dalam penerbitan antologi tersebut.
NB: Mohon disebarluaskan!
[001] Ketika Para Penyair Mulai Menyadari Kepenyairannya
Pengantar: Ini bagian pertama dari proyek saya yang kelak bila dibukukan berjudul "Belajar Jurus Pintar Para Penyair Besar". Isinya semacam imajinasi perbincangan dengan sejumlah penyair. Saya memunguti pendapat mereka dari buku-buku, dari wawancara di surat kabar, dan naskah hasil perburuan di internet.
Chairil Anwar (lahir di Medan, 26 Juli 1922) tampak sedikit gelisah. Sesekali ia menatap wajah jam tangannya. Jam tangan model lama yang tampak antik sekali. Goenawan Mohamad (Batang, 29 Juli 1941) menyentuhkan kepalan longgar tangan kanannya ke mulut, seakan menutup atau hendak mengatur kalimat-kalimat yang hendak ia ucapkan. Sapardi Djoko Damono (Solo, 20 Maret 1943) memperhatikan tingkah Chairil, dan sesekali ia tersenyum sambil membuat catatan pada lembar kosong di buku yang ia pegang, tanpa disadari oleh si orang yang diperhatikan. Sementara Sutardji Calzoum Bachri (Rengat, 24 Juni 1941) menikmati rokok, dan hanya pada rokok itulah seakan-akan konsentrasinya terpusat. Ia seperti menganggap perhatian tiga orang lain di ruang itu sebenarnya terpusat padanya.
Saya berada di antara mereka untuk wawancara penuh canda tawa ini. Sebuah imajinasi wawancara yang tak bisa dan tidak perlu saya sebutkan dimana dan bilamana terjadi. Dan itu sungguh tidak menarik, bukan? Yang menarik adalah apa yang kami bicarakan. Berikut petikannya:
Hasan Aspahani (HA): Baik, saya mulai dengan pertanyaan pertama. Saya kira bagi penyair penting juga menyadari kapan ia mulai merasa menjadi penyair. Nah, pertanyaan untuk Anda berempat kapan Anda semua merasa telah menjadi penyair?
(Tiga penyair itu serentak menatap ke Chairil Anwar. Seakan sebuah permintaan agar dialah yang menjawab lebih dahulu).
Chairil Anwar (CA): Aku?
HA: Ya, Anda mungkin lebih tepat kalau menjawab lebih dahulu.
CA: Kapan aku mulai jadi penyair? Sepertinya sejak lahir aku sudah menjadi penyair. Zaman ketika aku hidup bukanlah zaman yang mudah. Belanda kalah perang, Jepang begitu lekas invasinya di kawasan Asia, lekas pula kejatuhannya. Aku sendiri, kalian tahu, berasal dari keluarga yang kacau. Aku benci ayahku. Dia beristri lagi selain ibuku dan aku hidup bersama nenekku. Kalian baca sajak pertamaku? "Nisan". Ya, itu sajak pertama yang saya anggap telah menjadi sajak. Itu saya tulis pada usia 20 tahun lebih tiga bulan. Aku kira cukup itu untuk menggambarkan betapa dekat aku dengan nenekku, dan tidak pada ayahku. Aku seperti tak punya pilihan selain menjadi penyair. Aku suka bulutangkis, dan aku pemain bulutangkis yang hebat, tapi itu bagiku hanya untuk menyalurkan tenaga mudaku.
Kau tahu, aku memasuki kesenian sepenuh hati. Sedari umur 15 tahum minatku telah tertuju ke satu titik saja: kesenian! Aku sekolah di Mulo dan sebenarnya - meskipun tidak tamat - dengan bekal pendidikan dari sekolah itu cukup bekal bagiku untuk jadi pegawai mapan. Tapi aku bukan orang yang nyaman dalam kungkungan mengalami kantor. Zaman aku itu pendidikan bukan perkara mudah. Pilihan untuk menjadi penyair, begerak di lapangan kesenian, bagiku seperti wujud dari perlawananku pada segala.
HA: Baik, Pak Chairil. Itu cukup untuk menjawab pertanyaan pertama saya. Saya ingin beralih ke Pak GM. Silakan, Pak...
Goenawan Momahad (GM): Saya menulis sajak pada umur delapan belas. Bila dengan sederhana disebut bahwa orang yang menulis sajak dengan sadar sesadar-sadarnya adalah seorang penyair, maka saya kira saat itulah saya merasa telah menjadi penyair. Saya tidak tahu kenapa seorang menjadi penyair. Ihwal ini ada saya tulis di esei panjang saya "Potret Seorang Penyair Muda sebagai Si Malin Kundang". Dan saya sebenarnya tidak tenteram dengan pilihan ini. Saya seperti mulai terperangkap di dalam dunia penciptaan yang gelisah.
Ada saat penting dalam kepenyairan saya, yaitu ketika saya kemudian pindah ke Jakarta. Saya kira penyair Indonesia pada hakikatnya telah berjalan jauh sekali dari sekitarnya, ketika ia sampai pada posisi yang sadar, bahwa ia adalah seorang penyair....
HA: Baik, Pak GM, pembicaraan kita akan sampai tema menarik itu. Maaf saya potong dulu Anda. Sekarang (saya mengarahkan ucapan saya pada Sutardji Calzoum Bachri) Pak Tardji dulu.
SCB: Kapan saya mulai merasa menjadi penyair? Saya kira saya tak tahu kapan pesisnya. Tapi saya bisa bercerita panjang soal awal ketertarikan saya pada sajak. Di Tanjungpinang ketika saya kanak-kanak mudah sekali mendapatkan surat kabar berbahasa Inggris. Kami dekat sekali dengan Singapura. Ya, memang itu hanya koran bekas. Dari koran itu saya suka sekali melihat-lihat komik superhero. Saya tidak mengerti bahasa Inggris. Tapi saya bisa membunyikan tulisan itu. Nah, ini menarik sekali buat saya.
Lantas waktu SMA saya memilih jurusan bahasa. Saya dapat pelajaran Bahasa Inggris, Prancis dan Jerman. Pada masa ini saya juga mulai membangun kepekaan saya pada bahasa. Tetapi ketika kuliah di Bandunglah saya mulai "merendam" diri ke dalam bak besar puisi. Ada kawan saya yang bekerja paroh waktu di perpustakaan, ini memudahkan saya untuk mengakses buku-buku di sana. Kalian tak tahu, saya membaca banyak sekali buku, dan keras sekali melecut diri saya sebelum sampai pada sajak-sajak saya yang ha ha ha ada yang bilang dibuat secara sembarangan itu. Ha ha ha. Lantas saya menghasilkan sajak-sajak yang kalian tak pahami pada mulanya itu. Ha ha ha. Saya sendiri yakin sekali karena segala pengetahuan linguistik saya kuasa. Dan berdasarkan teori-teori linguistik itulah saya menyusun kredo sajak saya banyak kalian salahpahami itu.
HA: Nah, sekarang giliran Pak Sapardi untuk menjawab pertanyaan pertama di topik pertama ini. Silakan, Pak.
Sapardi Djoko Damono (SDD): Saya sudah menulis perihal ini dalam "Permainan Makna". Tulisan saya itu logikanya adalah untuk dibaca, bukan? Seharusnya itu saja sudah cukup untuk dibaca sebagai jawaban.
HA: Ah, masih juga risau dengan tarik menarik antara kelisanan dan keberaksaraan itu ya, Pak?
SDD: Bukan risau, tapi...
HA: Baik, Pak Sapardi. Begini saja, toh pembicaraan ini akan saya tulis. Dan kelak tulisan ini akan dibaca juga, bukan?
SDD: He he he. Baiklah. Saya pernah bilang menjadi penyair itu seperti kutukan buat saya.
SCB: Nah, kalau penyair seperti Mas Sapardi saja merasa terkutuk, bagaimana dengan saya? Bagaimana dengan Chairil? Kutukannya seribu kali lipat ha ha ha.
GM: Saya tidak merasa terkutuk. Saya tersiksa. He he he.
SDD: He he he. Memang menarik sekali membicarakan kapankah seorang penyair itu merasa telah menjadi penyair. Menarik pula bagaimana kemudian si penyair mempertahankan kepenyairannya. Nah, saya sendiri, punya masa kanak-kanak yang sangat biasa. Tidak menarik. Tidak heroik. Dan kalau heroisme masa kanak itu adalah bekal untuk menjadi penyair, maka sungguh saya tidak punya bekal untuk itu. Saya bukan tipe pemberontak seperti Pak Chairil, saya bukan petualang intelektual seperti Mas Goen (sapaan akrab bagi GM), dan saya bukan pendobrak seperti Mas Tardji...
SCB: Sudahlah, Mas Sapardi, kau posisikan dulu dirimu sebagai penyair, bukan sebagai kritikus yang sedang menilai kepenyairan saya, Chairil dan Mas GM, he he he.
SDD: Ya, saya teruskan ya?
HA: Ya, silakan, Pak.
SDD: Nah, dari masa kecil yang terlalu biasa itu saya malah mencurigai ada sesuatu yang tidak biasa di sebaliknya. Sejak SD saya sudah membaca Karl May. Di sekolah saya juga membaca sajak antara lain sajak Chairil Anwar.
CA: Sajakku?
SDD: Ya, sajak Anda. Saya kira Mas GM, Mas Tardji juga, begitu ya? Saya sudah menulis sejak SMP. Karangan pertama saya tulis berdasarkan pengalaman nyata saya. Saya kirim karangan itu ke majalah anak-anak berbahasa Jawa dan ditolak dengan alasan karangan itu dinilai tidak masuk akal. Saya kecewa, pasti kecewa. Tapi itulah saat penting karena itulah pertama kalinya saya diberi tahu bahwa ada kejadian tidak masuk akal yang saya alami. Saya tidak menulis lagi.
Sampai pada usia 17 tahun saya tertarik kembali mengarang, kali ini saya menulis sajak. Kenapa sajak? Karena akhirnya saya berkesimpulan, bahwa sajak boleh tidak masuk akal, tidak seperti cerita saya yang dulu ditolak karena dianggap tidak masuk akal. Saya ingat waktu itu saya kelas dua SMA. Sajak pertama saya dimuat di majalah yang redakturnya HB Jassin. Wah, tidak terbayang juga, mengingat saya waktu itu masih SMA. Waktu itu saya langsung beli majalah yang memuat sajak saya. Lalu sambil naik sepeda saya toleh kiri kanan. Saya heran kok orang-orang diam, tak tahu ya ada seorang penyair besar lewat. Ha ha.
GM: Untung Anda tidak menabrak tiang listrik waktu itu ya.
SDD: Ya. He he. Dan saya yakin dengan kepenyairan saya ketika saya masuk UGM tahun 1959. Waktu itu sajak saya dipakai sebagai sajak wajib Pekan Kesenian Mahasiswa di UGM. Saya kaget sekali. Waktu saya masuk Fakultas Sastra saat itu sudah ada beberapa orang yang mengenal saya sebagai penyair. Ya, kira-kira begitulah!
HA: Baiklah. Saya kira ini cukup untuk topik pertama pembicaraan kita. Terima kasih, dan kita akan berbincang lagi. Terima kasih, Pak Tardji, Pak Goen dan Pak Sapardi. Lho, Pak Chairil mana?
GM: Lho buku saya tadi mana?
SDD: Wah, buku saya juga tidak ada.
SCB: Ha ha ha. Kalau bertemu Chairil jangan suka pamer bukulah. Mana tahan dia diamkan tangannya kalau melihat buku bagus.
HA: Ada yang punya nomor telepon genggam Pak Chairil?
Sapardi, Goenawan dan Tardji lekas-lekas memeriksa ke kantong masing-masing. Mereka tampak lega ketika menemukan telepon genggam mereka masih ada di sana. Kami lantas tertawa bersama.
Chairil Anwar (lahir di Medan, 26 Juli 1922) tampak sedikit gelisah. Sesekali ia menatap wajah jam tangannya. Jam tangan model lama yang tampak antik sekali. Goenawan Mohamad (Batang, 29 Juli 1941) menyentuhkan kepalan longgar tangan kanannya ke mulut, seakan menutup atau hendak mengatur kalimat-kalimat yang hendak ia ucapkan. Sapardi Djoko Damono (Solo, 20 Maret 1943) memperhatikan tingkah Chairil, dan sesekali ia tersenyum sambil membuat catatan pada lembar kosong di buku yang ia pegang, tanpa disadari oleh si orang yang diperhatikan. Sementara Sutardji Calzoum Bachri (Rengat, 24 Juni 1941) menikmati rokok, dan hanya pada rokok itulah seakan-akan konsentrasinya terpusat. Ia seperti menganggap perhatian tiga orang lain di ruang itu sebenarnya terpusat padanya.
Saya berada di antara mereka untuk wawancara penuh canda tawa ini. Sebuah imajinasi wawancara yang tak bisa dan tidak perlu saya sebutkan dimana dan bilamana terjadi. Dan itu sungguh tidak menarik, bukan? Yang menarik adalah apa yang kami bicarakan. Berikut petikannya:
Hasan Aspahani (HA): Baik, saya mulai dengan pertanyaan pertama. Saya kira bagi penyair penting juga menyadari kapan ia mulai merasa menjadi penyair. Nah, pertanyaan untuk Anda berempat kapan Anda semua merasa telah menjadi penyair?
(Tiga penyair itu serentak menatap ke Chairil Anwar. Seakan sebuah permintaan agar dialah yang menjawab lebih dahulu).
Chairil Anwar (CA): Aku?
HA: Ya, Anda mungkin lebih tepat kalau menjawab lebih dahulu.
CA: Kapan aku mulai jadi penyair? Sepertinya sejak lahir aku sudah menjadi penyair. Zaman ketika aku hidup bukanlah zaman yang mudah. Belanda kalah perang, Jepang begitu lekas invasinya di kawasan Asia, lekas pula kejatuhannya. Aku sendiri, kalian tahu, berasal dari keluarga yang kacau. Aku benci ayahku. Dia beristri lagi selain ibuku dan aku hidup bersama nenekku. Kalian baca sajak pertamaku? "Nisan". Ya, itu sajak pertama yang saya anggap telah menjadi sajak. Itu saya tulis pada usia 20 tahun lebih tiga bulan. Aku kira cukup itu untuk menggambarkan betapa dekat aku dengan nenekku, dan tidak pada ayahku. Aku seperti tak punya pilihan selain menjadi penyair. Aku suka bulutangkis, dan aku pemain bulutangkis yang hebat, tapi itu bagiku hanya untuk menyalurkan tenaga mudaku.
Kau tahu, aku memasuki kesenian sepenuh hati. Sedari umur 15 tahum minatku telah tertuju ke satu titik saja: kesenian! Aku sekolah di Mulo dan sebenarnya - meskipun tidak tamat - dengan bekal pendidikan dari sekolah itu cukup bekal bagiku untuk jadi pegawai mapan. Tapi aku bukan orang yang nyaman dalam kungkungan mengalami kantor. Zaman aku itu pendidikan bukan perkara mudah. Pilihan untuk menjadi penyair, begerak di lapangan kesenian, bagiku seperti wujud dari perlawananku pada segala.
HA: Baik, Pak Chairil. Itu cukup untuk menjawab pertanyaan pertama saya. Saya ingin beralih ke Pak GM. Silakan, Pak...
Goenawan Momahad (GM): Saya menulis sajak pada umur delapan belas. Bila dengan sederhana disebut bahwa orang yang menulis sajak dengan sadar sesadar-sadarnya adalah seorang penyair, maka saya kira saat itulah saya merasa telah menjadi penyair. Saya tidak tahu kenapa seorang menjadi penyair. Ihwal ini ada saya tulis di esei panjang saya "Potret Seorang Penyair Muda sebagai Si Malin Kundang". Dan saya sebenarnya tidak tenteram dengan pilihan ini. Saya seperti mulai terperangkap di dalam dunia penciptaan yang gelisah.
Ada saat penting dalam kepenyairan saya, yaitu ketika saya kemudian pindah ke Jakarta. Saya kira penyair Indonesia pada hakikatnya telah berjalan jauh sekali dari sekitarnya, ketika ia sampai pada posisi yang sadar, bahwa ia adalah seorang penyair....
HA: Baik, Pak GM, pembicaraan kita akan sampai tema menarik itu. Maaf saya potong dulu Anda. Sekarang (saya mengarahkan ucapan saya pada Sutardji Calzoum Bachri) Pak Tardji dulu.
SCB: Kapan saya mulai merasa menjadi penyair? Saya kira saya tak tahu kapan pesisnya. Tapi saya bisa bercerita panjang soal awal ketertarikan saya pada sajak. Di Tanjungpinang ketika saya kanak-kanak mudah sekali mendapatkan surat kabar berbahasa Inggris. Kami dekat sekali dengan Singapura. Ya, memang itu hanya koran bekas. Dari koran itu saya suka sekali melihat-lihat komik superhero. Saya tidak mengerti bahasa Inggris. Tapi saya bisa membunyikan tulisan itu. Nah, ini menarik sekali buat saya.
Lantas waktu SMA saya memilih jurusan bahasa. Saya dapat pelajaran Bahasa Inggris, Prancis dan Jerman. Pada masa ini saya juga mulai membangun kepekaan saya pada bahasa. Tetapi ketika kuliah di Bandunglah saya mulai "merendam" diri ke dalam bak besar puisi. Ada kawan saya yang bekerja paroh waktu di perpustakaan, ini memudahkan saya untuk mengakses buku-buku di sana. Kalian tak tahu, saya membaca banyak sekali buku, dan keras sekali melecut diri saya sebelum sampai pada sajak-sajak saya yang ha ha ha ada yang bilang dibuat secara sembarangan itu. Ha ha ha. Lantas saya menghasilkan sajak-sajak yang kalian tak pahami pada mulanya itu. Ha ha ha. Saya sendiri yakin sekali karena segala pengetahuan linguistik saya kuasa. Dan berdasarkan teori-teori linguistik itulah saya menyusun kredo sajak saya banyak kalian salahpahami itu.
HA: Nah, sekarang giliran Pak Sapardi untuk menjawab pertanyaan pertama di topik pertama ini. Silakan, Pak.
Sapardi Djoko Damono (SDD): Saya sudah menulis perihal ini dalam "Permainan Makna". Tulisan saya itu logikanya adalah untuk dibaca, bukan? Seharusnya itu saja sudah cukup untuk dibaca sebagai jawaban.
HA: Ah, masih juga risau dengan tarik menarik antara kelisanan dan keberaksaraan itu ya, Pak?
SDD: Bukan risau, tapi...
HA: Baik, Pak Sapardi. Begini saja, toh pembicaraan ini akan saya tulis. Dan kelak tulisan ini akan dibaca juga, bukan?
SDD: He he he. Baiklah. Saya pernah bilang menjadi penyair itu seperti kutukan buat saya.
SCB: Nah, kalau penyair seperti Mas Sapardi saja merasa terkutuk, bagaimana dengan saya? Bagaimana dengan Chairil? Kutukannya seribu kali lipat ha ha ha.
GM: Saya tidak merasa terkutuk. Saya tersiksa. He he he.
SDD: He he he. Memang menarik sekali membicarakan kapankah seorang penyair itu merasa telah menjadi penyair. Menarik pula bagaimana kemudian si penyair mempertahankan kepenyairannya. Nah, saya sendiri, punya masa kanak-kanak yang sangat biasa. Tidak menarik. Tidak heroik. Dan kalau heroisme masa kanak itu adalah bekal untuk menjadi penyair, maka sungguh saya tidak punya bekal untuk itu. Saya bukan tipe pemberontak seperti Pak Chairil, saya bukan petualang intelektual seperti Mas Goen (sapaan akrab bagi GM), dan saya bukan pendobrak seperti Mas Tardji...
SCB: Sudahlah, Mas Sapardi, kau posisikan dulu dirimu sebagai penyair, bukan sebagai kritikus yang sedang menilai kepenyairan saya, Chairil dan Mas GM, he he he.
SDD: Ya, saya teruskan ya?
HA: Ya, silakan, Pak.
SDD: Nah, dari masa kecil yang terlalu biasa itu saya malah mencurigai ada sesuatu yang tidak biasa di sebaliknya. Sejak SD saya sudah membaca Karl May. Di sekolah saya juga membaca sajak antara lain sajak Chairil Anwar.
CA: Sajakku?
SDD: Ya, sajak Anda. Saya kira Mas GM, Mas Tardji juga, begitu ya? Saya sudah menulis sejak SMP. Karangan pertama saya tulis berdasarkan pengalaman nyata saya. Saya kirim karangan itu ke majalah anak-anak berbahasa Jawa dan ditolak dengan alasan karangan itu dinilai tidak masuk akal. Saya kecewa, pasti kecewa. Tapi itulah saat penting karena itulah pertama kalinya saya diberi tahu bahwa ada kejadian tidak masuk akal yang saya alami. Saya tidak menulis lagi.
Sampai pada usia 17 tahun saya tertarik kembali mengarang, kali ini saya menulis sajak. Kenapa sajak? Karena akhirnya saya berkesimpulan, bahwa sajak boleh tidak masuk akal, tidak seperti cerita saya yang dulu ditolak karena dianggap tidak masuk akal. Saya ingat waktu itu saya kelas dua SMA. Sajak pertama saya dimuat di majalah yang redakturnya HB Jassin. Wah, tidak terbayang juga, mengingat saya waktu itu masih SMA. Waktu itu saya langsung beli majalah yang memuat sajak saya. Lalu sambil naik sepeda saya toleh kiri kanan. Saya heran kok orang-orang diam, tak tahu ya ada seorang penyair besar lewat. Ha ha.
GM: Untung Anda tidak menabrak tiang listrik waktu itu ya.
SDD: Ya. He he. Dan saya yakin dengan kepenyairan saya ketika saya masuk UGM tahun 1959. Waktu itu sajak saya dipakai sebagai sajak wajib Pekan Kesenian Mahasiswa di UGM. Saya kaget sekali. Waktu saya masuk Fakultas Sastra saat itu sudah ada beberapa orang yang mengenal saya sebagai penyair. Ya, kira-kira begitulah!
HA: Baiklah. Saya kira ini cukup untuk topik pertama pembicaraan kita. Terima kasih, dan kita akan berbincang lagi. Terima kasih, Pak Tardji, Pak Goen dan Pak Sapardi. Lho, Pak Chairil mana?
GM: Lho buku saya tadi mana?
SDD: Wah, buku saya juga tidak ada.
SCB: Ha ha ha. Kalau bertemu Chairil jangan suka pamer bukulah. Mana tahan dia diamkan tangannya kalau melihat buku bagus.
HA: Ada yang punya nomor telepon genggam Pak Chairil?
Sapardi, Goenawan dan Tardji lekas-lekas memeriksa ke kantong masing-masing. Mereka tampak lega ketika menemukan telepon genggam mereka masih ada di sana. Kami lantas tertawa bersama.
[Ruang Renung # 226] Bagaimana Sebaiknya Menyajakkan Malaikat?
YA, bagaimana sebaiknya memanfaatkan kata "malaikat" - beserta segenap pengertian, imaji sosok dan perannya, kepercayaan atas keberadaannya - di dalam sajak, tanpa harus terjerumus pada anggapan pelecehan pada keimanan? Bagaimana memanfaatkan kata "malaikat" dan memberi makna baru pada kata itu? Membangun imaji-imaji baru dengan kata itu tanpa harus jatuh pada tuduhan hanya sekedar bergenit-genit dan kelak ketika bermasalah lantas berlindung pada dalih "ajaib" kebebebasan berekspresi?
Saya kagum dan ambil banyak pelajaran dari sajak Goenawan Mohamad "Seorang Malaikat Berdiri di Atas Loko". Saya ambil kutipan selengkapnya dari buku "Sajak Lengkap 1961-2001", halaman 199:
Pelajaran apa yang bisa saya ambil dari sajak ini? Begilah kira-kira:
1. Kebebasan berimajinasi langsung ditunjukkan sejak dari judul. Adakah yang pernah menyaksikan seorang malaikat berdiri di atas lokomotif? Berdiri di atas kereta api malam yang kosong dan berjalan pelan? Ini sepenuhnya imajinasi penyair. Penyair membutuhkan imajinasi itu untuk mengantar pesan apa yang ingin ia sampaikan.
2. Penyair membancuh dengan bebas imajinasinya dengan kenyataan. Ia menyebut sebuah nama jalan atau nama sebuah wilayah: Latuharhari. Penyair mungkin saja memberangkatkan imajinasinya dari kenyataan yang terhampar di depan matanya: sebuah ketertegunan.
3. Malaikat itu "Seperti seorang yang sesat tapi kau kenal". Nah, bisakah dibenarkan kalimat ini? Bisakah dibenarkan menganggap ada seorang malaikat tersesat dan pernahkah malaikat itu mengenal engkau? Siapakah engkau? Siapakah kita? Bukankah malaikat itu hanya bertemu dengan nabi-nabi?
4. Dan malaikat itu tertegun melihat kilau rel - sebuah pemandangan biasa sebenarnya. Tapi, menjadi luar biasa di mata malaikat, ia - malaikat itu - juga tertegun melihat lampu-lampu (ini juga pemandangan biasa sebenarnya, bukan?) yang di matanya seperti sederet bulan bertengger. Dan malaikat itu merasakan sesuatu yang mirip kesedihan. Sedih itu bukankah milik manusia? Dan, ah saya disadarkan, bahwa ini sajak. Sebuah karya rekaan, karena tiba-tiba saja si penyair dengan cerdas menyebut bahwa dia ingat film Wim Wender. Saya tak tahu itu film apa. Saya ingin tahu. Kalau saya tahu, pasti sajak ini akan lebih nikmat terasa.
5. Bait atau paragraf kedua, melengkapi sajak ini. Si aku dalam sajak itu meyakinkan dirinya bahwa dia melihat malaikat itu dan kini si malaikat ada di antara tujuh perempuan yang menunggu. Siapakah mereka? Menunggu apa? Mereka menunggu di tepi besi hitam. Ini berkorespondensi dengan loko dan kereta api malam. Besi hitam itu adalah rel. Perempuan apakah yang pada malam hari menunggu di tepi rel?
6. "Deret gerbong itu menjauh" tulis penyair. Ini bagian yang paling menyentuh saya, seakan memberi semua jawaban pada pertanyaan saya. Menguatkan kemalangan nasib tujuh perempuan yang menunggu itu. Yang ditunggu tidak singgah. Dan malaikat itu tak lagi berdiri di antara mereka - para pelacur itu. Aduhai malangnya nasib manusia. "Bahkan dosa kita tak akan diterima," kata pelacur itu.
7. Malaikat, dalam sajak ini telah dimanfaatkan, dipergunakan, diberdayakan untuk menjadi saksi kehidupan manusia. Kehadirannya memberi sudut pandang lain pada kemalangan manusia yang sebenarnya telah jamak diketahui, sehingga menjadi lebih menyentuh dan ibarat suara tanpa diteriakkan pun ia bisa bergaung panjang.
Saya kagum dan ambil banyak pelajaran dari sajak Goenawan Mohamad "Seorang Malaikat Berdiri di Atas Loko". Saya ambil kutipan selengkapnya dari buku "Sajak Lengkap 1961-2001", halaman 199:
Seorang Malaikat Berdiri di Atas Loko
Sajak Goenawan Mohamad
Seorang malaikat berdiri di atas loko, seorang malaikat berdiri di kereta
api malam yang kosong dan berjalan pelan, di sepanjang Latuharhari.
Seperti seorang yang sesat tapi kau kenal. Seorang malaikat yang
tertegun pada kilau rel, seorang malaikat yang melihat lampu-lampu
seperti ia pertama kali melihat sederet bulan bertengger, dan
merasakan sesuatu yang mirip kesedihan (tapi mungkin juga bukan
kesedihan). Ah, pasti aku ingat film Wim Wender, kataku dalam
hati, dan aku seakan mendengar ujarnya, dengan suara rendah,
menyebut sesuatu. "Kebahagiaan"? "Ketiadaan"?
Bagaimanapun aku melihat seorang malaikat berdiri di antara tujuh
perempuan yang menunggu, di tepi besi hitam. Tapi deret gerbong
itu menjauh, dan pelacur itu berkata, "Bahkan dosa kita tak akan
diterima."
2001
Pelajaran apa yang bisa saya ambil dari sajak ini? Begilah kira-kira:
1. Kebebasan berimajinasi langsung ditunjukkan sejak dari judul. Adakah yang pernah menyaksikan seorang malaikat berdiri di atas lokomotif? Berdiri di atas kereta api malam yang kosong dan berjalan pelan? Ini sepenuhnya imajinasi penyair. Penyair membutuhkan imajinasi itu untuk mengantar pesan apa yang ingin ia sampaikan.
2. Penyair membancuh dengan bebas imajinasinya dengan kenyataan. Ia menyebut sebuah nama jalan atau nama sebuah wilayah: Latuharhari. Penyair mungkin saja memberangkatkan imajinasinya dari kenyataan yang terhampar di depan matanya: sebuah ketertegunan.
3. Malaikat itu "Seperti seorang yang sesat tapi kau kenal". Nah, bisakah dibenarkan kalimat ini? Bisakah dibenarkan menganggap ada seorang malaikat tersesat dan pernahkah malaikat itu mengenal engkau? Siapakah engkau? Siapakah kita? Bukankah malaikat itu hanya bertemu dengan nabi-nabi?
4. Dan malaikat itu tertegun melihat kilau rel - sebuah pemandangan biasa sebenarnya. Tapi, menjadi luar biasa di mata malaikat, ia - malaikat itu - juga tertegun melihat lampu-lampu (ini juga pemandangan biasa sebenarnya, bukan?) yang di matanya seperti sederet bulan bertengger. Dan malaikat itu merasakan sesuatu yang mirip kesedihan. Sedih itu bukankah milik manusia? Dan, ah saya disadarkan, bahwa ini sajak. Sebuah karya rekaan, karena tiba-tiba saja si penyair dengan cerdas menyebut bahwa dia ingat film Wim Wender. Saya tak tahu itu film apa. Saya ingin tahu. Kalau saya tahu, pasti sajak ini akan lebih nikmat terasa.
5. Bait atau paragraf kedua, melengkapi sajak ini. Si aku dalam sajak itu meyakinkan dirinya bahwa dia melihat malaikat itu dan kini si malaikat ada di antara tujuh perempuan yang menunggu. Siapakah mereka? Menunggu apa? Mereka menunggu di tepi besi hitam. Ini berkorespondensi dengan loko dan kereta api malam. Besi hitam itu adalah rel. Perempuan apakah yang pada malam hari menunggu di tepi rel?
6. "Deret gerbong itu menjauh" tulis penyair. Ini bagian yang paling menyentuh saya, seakan memberi semua jawaban pada pertanyaan saya. Menguatkan kemalangan nasib tujuh perempuan yang menunggu itu. Yang ditunggu tidak singgah. Dan malaikat itu tak lagi berdiri di antara mereka - para pelacur itu. Aduhai malangnya nasib manusia. "Bahkan dosa kita tak akan diterima," kata pelacur itu.
7. Malaikat, dalam sajak ini telah dimanfaatkan, dipergunakan, diberdayakan untuk menjadi saksi kehidupan manusia. Kehadirannya memberi sudut pandang lain pada kemalangan manusia yang sebenarnya telah jamak diketahui, sehingga menjadi lebih menyentuh dan ibarat suara tanpa diteriakkan pun ia bisa bergaung panjang.
[Ruang Renung # 225] Bermain Aman di Wilayah Peka
WILAYAH keimanan bukan daerah yang tabu untuk dimasuki puisi. Tapi, wilayah itu tidak boleh dimasuki dengan petantang-petenteng. Ah, sebenarnya semua wilayah tidak boleh dimasuki seenaknya oleh si penyair, sebab dia harus keluar dari wilayah itu dengan hasil yang maksimal. Sekali lagi, jangan dengan alasan kebebasan berekspresi, penyair lantas sembarangan saja masuk ke sembarang rumah lantas mencuri sesuatu untuk puisinya.
Joko Pinurbo menulis sajak yang menurut saya yang tak mengerti banyak iman Kristiani ini sangat sensitif. Ia seakan bermain-main dengan sebuah peristiwa penting yang dialami Yesus Almasih, yaitu hari Paskah, yaitu hari bangkitnya Yesus setelah disalib.
Betulkah ia tak memakai celana saat itu? Betulkah ia hanya memakai sobekan jubah? Penyair meyakini jawaban dari pertanyaan itu adalah "ya". Yesus dan Maria dalam sajak "Celana Ibu" (Kekasihku, halaman 35), memerankan diri mereka sendiri. Mari kita simak sajaknya:
Satu-satunya metafora di sajak ini adalah "celana". "Celana" dalam sajak ini berperan maksimal. Teks telanjangnya menampilkan celana denotatif yaitu celana, penutup tubuh bagian bawah, tetapi celana konotatif pun tampil sama kuatnya. Celana konotatif dalam sajak itu bisa diartikan sebagai kasih sayang seorang ibu kepada putranya.
Bagian inti dari sajak ini, adalah dialog di bait ketiga itu. "Paskah?" tanya Maria. / "Pas sekali, Bu," jawab Yesus gembira. Ini bagian paling getir, pahir, jenaka sekaligus penuh makna. Dua bagian awal, menurut saya sengaja dibangun untuk mengantar pembaca sampai pada bagian inti ini. Bagian bait berikutnya pun seakan hanya menyempurnakan sajak, sekaligus menguatkan bagian inti itu tadi.
Sajak tidak harus dijejali kata-kata bermakna konotatif. Keindahan sajak justru bisa dicapai maksimal bila racikan antara yang konotatif dan denotatif disajikan dengan pas. Begitulah sajak ini memberi contoh bagaimana kedua makna itu diadon dan jadilah sebuah adonan yang pulen!
Marahkah petinggi agama atau lembaga-lembaga agama karena wilayahnya "dipermainkan" penyair seperti dalam sajak ini? "Malah ada pastor yang membaca sajak ini dalam khotbahnya di gereja," kata Joko Pinurbo, si penyair penggubah sajak ini. Saya kira masalahnya bukan karena petinggi agama itu sangat toleran pada lisensi penyair, atau amat mahfum pada sajak atau lembaga agamanya tidak "militan". Masalanya, si penyair telah berhasil masuk dengan baik ke wilayah peka itu dengan amat santun, memberi makna baru pada peristiwa sakral itu dengan sangat indah tanpa merusak makna hakikinya, dan membuka tafsir baru pada peristiwa itu.
Joko Pinurbo menulis sajak yang menurut saya yang tak mengerti banyak iman Kristiani ini sangat sensitif. Ia seakan bermain-main dengan sebuah peristiwa penting yang dialami Yesus Almasih, yaitu hari Paskah, yaitu hari bangkitnya Yesus setelah disalib.
Betulkah ia tak memakai celana saat itu? Betulkah ia hanya memakai sobekan jubah? Penyair meyakini jawaban dari pertanyaan itu adalah "ya". Yesus dan Maria dalam sajak "Celana Ibu" (Kekasihku, halaman 35), memerankan diri mereka sendiri. Mari kita simak sajaknya:
Celana Ibu
Sajak Joko Pinurbo
Maria sangat sedih menyaksikan anaknya
mati di kayu salip tanpa celana
dan hanya berbalutkan sobekan jubah
yang berlumuran darah.
Ketika tiga hari kemudian Yesus bangkit
dari mati, pagi-pagi sekali Maria datang
ke kubur anaknya itu, membawakan celana
yang dijahitnya sendiri dan meminta
Yesus mencobanya.
"Paskah?" tanya Maria.
"Pas sekali, Bu," jawab Yesus gembira.
Mengenakan celana buatan ibunya,
Yesus naik ke surga.
(2004)
Satu-satunya metafora di sajak ini adalah "celana". "Celana" dalam sajak ini berperan maksimal. Teks telanjangnya menampilkan celana denotatif yaitu celana, penutup tubuh bagian bawah, tetapi celana konotatif pun tampil sama kuatnya. Celana konotatif dalam sajak itu bisa diartikan sebagai kasih sayang seorang ibu kepada putranya.
Bagian inti dari sajak ini, adalah dialog di bait ketiga itu. "Paskah?" tanya Maria. / "Pas sekali, Bu," jawab Yesus gembira. Ini bagian paling getir, pahir, jenaka sekaligus penuh makna. Dua bagian awal, menurut saya sengaja dibangun untuk mengantar pembaca sampai pada bagian inti ini. Bagian bait berikutnya pun seakan hanya menyempurnakan sajak, sekaligus menguatkan bagian inti itu tadi.
Sajak tidak harus dijejali kata-kata bermakna konotatif. Keindahan sajak justru bisa dicapai maksimal bila racikan antara yang konotatif dan denotatif disajikan dengan pas. Begitulah sajak ini memberi contoh bagaimana kedua makna itu diadon dan jadilah sebuah adonan yang pulen!
Marahkah petinggi agama atau lembaga-lembaga agama karena wilayahnya "dipermainkan" penyair seperti dalam sajak ini? "Malah ada pastor yang membaca sajak ini dalam khotbahnya di gereja," kata Joko Pinurbo, si penyair penggubah sajak ini. Saya kira masalahnya bukan karena petinggi agama itu sangat toleran pada lisensi penyair, atau amat mahfum pada sajak atau lembaga agamanya tidak "militan". Masalanya, si penyair telah berhasil masuk dengan baik ke wilayah peka itu dengan amat santun, memberi makna baru pada peristiwa sakral itu dengan sangat indah tanpa merusak makna hakikinya, dan membuka tafsir baru pada peristiwa itu.
Surat Elektronika untuk Shania Saphana
AKU ketikkan namaku lalu namamu,
sepasang ID dan kata sandi yang kita sepakati itu, dengan begitu
kupertahankan harapan bagi datangnya sebuah surat-elektronika.
"Aku pasti kabarkan apa saja dari sana, nanti, potret patung pujangga
yang kau sanjung, restoran bermenu unik, dan ya, tentu potretku juga,
dengan seragam putih panjang, dan kerudung pelindung dari debu gurun,
juga senyum yang kau bilang membuat wajahku seribu kali lebih cantik,
dan karena keindahan itu jadwal musim terik menjadi terbalik-balik!"
TAPI, seperti tengah malam sebelumnya, di inboks itu tak ada apa-apa.
Aku kirimkan lagi pertanyaan yang sama,
ke alamat surat elektronik yang kita sepakati itu,
semacam doa yang terlalu sederhana, "kau tidak apa-apa, ya?"
Ah, betapa ingin aku ke sana, ke lapangan bulutangkis,
terakhir kita saling menepak buluangsa, ketika kau kram otot betis.
Kubatalkan sebuah smes. Kugendong engkau dengan keringat menetes.
"Kita pernah satu regu di Palang Merah Remaja dulu, kenapa ragu,
ini pelajaran pertama P3K. Jadi, kau tenang saja," kataku sambil
mencari urat yang tegang di putih betismu, dan kau mengaduh
kulihat nafas penuh di dadamu pada kaos putih ditembus peluh.
*
TAPI, seperti tengah malam sebelumnya, di inboks itu tak ada apa-apa.
Maka, bukankah sebaiknya aku terjemahkan lagi bait-bait Neruda itu?
"Ah, soneta yang kesebelas, kau pencuri yang tak berbekas, tapi aku tak
akan pernah jadi Matilda Urrutia buatmu, walau kau telah jadi Nerudaku!"
"Pujangga bermuka buruk itu. Apakah di Isla Negra dia telah jadi hantu?"
"Dan kau kerasukan rohnya, setiap kali menyentuh tombol on laptopmu!"
*
DAN, seperti tengah malam sebelumnya, di inboks itu tak ada apa-apa.
Aku pun beranjak ke dapur. Seperti ada yang menebar aroma ketumbar,
di udara pergantian hari yang hambar, semenjak kau tak mengirim kabar.
Susahkah kau dapatkan lele di sana? Aku tahu betapa kau sudah tergila-gila
pada putih-gurih daging ikan air tawar yang dulu katamu menjijikkan itu.
"Adakah ikan yang lebih buruk? Hitam, berlendir, amis dan berkepala remuk!"
"Hei, lidahmu pandai mengutuk. Tunggu sampai ia mengecap paduan sempurna
bawang putih, kunyit, dan belacan, kemiri bakar, kemangi dan ketumbar."
Tengah malam itu, iman lidahmu pun murtad. Tersebab lapar dan restoran itu
hanya menyisakan satu-satunya menu: dua porsi pecel lele, dan sambal ulek
yang kelebihan cabai. "Semoga aku tak muntah di restoran bermenu unik ini,"
katamu, dan kau tak muntah, kau menagih, dan selalu mengajakku singgah.
*
YA, seperti tengah malam sebelumnya, di inboks itu tidak ada apa-apa.
Kau mungkin semakin sibuk dan letih, Shania. "Perang itu masih akan lama?"
Aku hanya takut kau lupa betapa manis senyum lucu di matamu itu.
Aku hanya takut kau kalah pada musim asing, cuaca yang kering.
Kau tahu ada yang tak sempat aku jawab pada malam terakhir itu ketika
kau bertanya, "kenapa kau pilih penyair berwajah buruk? Kenapa bukan
si lelaki paling keren se-Inggris Raya, si penyair-perang Rupert Brook?"
Aku benci senjata, Shania. Perang hanya sibuk membunuh anak-anak muda.
sepasang ID dan kata sandi yang kita sepakati itu, dengan begitu
kupertahankan harapan bagi datangnya sebuah surat-elektronika.
"Aku pasti kabarkan apa saja dari sana, nanti, potret patung pujangga
yang kau sanjung, restoran bermenu unik, dan ya, tentu potretku juga,
dengan seragam putih panjang, dan kerudung pelindung dari debu gurun,
juga senyum yang kau bilang membuat wajahku seribu kali lebih cantik,
dan karena keindahan itu jadwal musim terik menjadi terbalik-balik!"
*
TAPI, seperti tengah malam sebelumnya, di inboks itu tak ada apa-apa.
Aku kirimkan lagi pertanyaan yang sama,
ke alamat surat elektronik yang kita sepakati itu,
semacam doa yang terlalu sederhana, "kau tidak apa-apa, ya?"
Ah, betapa ingin aku ke sana, ke lapangan bulutangkis,
terakhir kita saling menepak buluangsa, ketika kau kram otot betis.
Kubatalkan sebuah smes. Kugendong engkau dengan keringat menetes.
"Kita pernah satu regu di Palang Merah Remaja dulu, kenapa ragu,
ini pelajaran pertama P3K. Jadi, kau tenang saja," kataku sambil
mencari urat yang tegang di putih betismu, dan kau mengaduh
kulihat nafas penuh di dadamu pada kaos putih ditembus peluh.
*
TAPI, seperti tengah malam sebelumnya, di inboks itu tak ada apa-apa.
Maka, bukankah sebaiknya aku terjemahkan lagi bait-bait Neruda itu?
Akulah lelaki yang menggilai mulutmu, suaramu, rambutmu.
Akulah yang diam didera derita, di jalanan aku berburu.
Akulah yang tak lagi berselera pada roti, sebab sejak fajar mengusikku,
lalu sepanjang hari itu, kuburu jejak acak langkahmu.
"Ah, soneta yang kesebelas, kau pencuri yang tak berbekas, tapi aku tak
akan pernah jadi Matilda Urrutia buatmu, walau kau telah jadi Nerudaku!"
"Pujangga bermuka buruk itu. Apakah di Isla Negra dia telah jadi hantu?"
"Dan kau kerasukan rohnya, setiap kali menyentuh tombol on laptopmu!"
*
DAN, seperti tengah malam sebelumnya, di inboks itu tak ada apa-apa.
Aku pun beranjak ke dapur. Seperti ada yang menebar aroma ketumbar,
di udara pergantian hari yang hambar, semenjak kau tak mengirim kabar.
Susahkah kau dapatkan lele di sana? Aku tahu betapa kau sudah tergila-gila
pada putih-gurih daging ikan air tawar yang dulu katamu menjijikkan itu.
"Adakah ikan yang lebih buruk? Hitam, berlendir, amis dan berkepala remuk!"
"Hei, lidahmu pandai mengutuk. Tunggu sampai ia mengecap paduan sempurna
bawang putih, kunyit, dan belacan, kemiri bakar, kemangi dan ketumbar."
Tengah malam itu, iman lidahmu pun murtad. Tersebab lapar dan restoran itu
hanya menyisakan satu-satunya menu: dua porsi pecel lele, dan sambal ulek
yang kelebihan cabai. "Semoga aku tak muntah di restoran bermenu unik ini,"
katamu, dan kau tak muntah, kau menagih, dan selalu mengajakku singgah.
*
YA, seperti tengah malam sebelumnya, di inboks itu tidak ada apa-apa.
Kau mungkin semakin sibuk dan letih, Shania. "Perang itu masih akan lama?"
Aku hanya takut kau lupa betapa manis senyum lucu di matamu itu.
Aku hanya takut kau kalah pada musim asing, cuaca yang kering.
Kau tahu ada yang tak sempat aku jawab pada malam terakhir itu ketika
kau bertanya, "kenapa kau pilih penyair berwajah buruk? Kenapa bukan
si lelaki paling keren se-Inggris Raya, si penyair-perang Rupert Brook?"
Aku benci senjata, Shania. Perang hanya sibuk membunuh anak-anak muda.
Friday, August 17, 2007
Sajak Boleh Pendek, Tapi Jangan Asal Pendek
Mailbox (Kumpulan Sajak)
Pengarang: Matdon
Penerbit: Mataair, Bandung, 2006
Tebal: 61 halaman.
BANYAK penyair menulis sajak pendek. Beberapa sajak amat berhasil. Beberapa biasa saja. Beberapa gagal. Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, Sitor Situmorang, Meidy Lukito, dan Joko Pinurbo, ada menulis sajak yang pendek.
Kualitas sajak tidak ditentukan panjang pendeknya. Ukuran-ukuran untuk menilai sajak pendek dan sajak panjang sama saja. Dacing untuk menimbang sajak panjang atau sajak pendek sama saja. Sajak pendek bisa saja lebih berat timbangannya daripada sajak panjang. Sajak pendek bisa saja lebih panjang maknanya daripada sajak panjang.
Saya menyukai beberapa sajak pendek. Beberapa sajak amat berhasil. Misalnya, "Malam Lebaran"-nya Sitor Situmorang yang amat terkenal itu. Atau "Luka" dan "Kalian" dua sajak pendek Sutardji itu.
Mari kita bicarakan sajak "Kepada Puisi", sebuah sajak pendek Joko Pinurbo yang amat saya sukai. Sajak itu dibangun utuh dengan lima kata saja.
Kau adalah mata, aku airmatamu.
Siapakah kau dalam sajak itu? Kita rujuk ke judulnya saja. Kau adalah si puisi. Lantas apa artinya apabila si aku menganggap puisi adalah mata, dan si aku sendiri menempatkan dirinya sebagai airmata si mata? Yang saya dapat adalah sebuah permainan logika yang tak melompat dari ranah logika itu sendiri. Bila aku - si penyair- menganggap dia adalah airmata bagi si mata, yaitu si puisi itu, maka si aku hanya akan ada apabila si pemilik mata menangis, apabila si pemilik mata berduka yang amat sangat.
Demikianlah makna saya dapatkan buat saya sendiri dari puisi itu. Joko Pinurbo mungkin hanya mengutak-atik kata memberdayakan diksi, tapi utak-atik itu tidak sia-sia. Utak-atik itu adalah hasil dari pengamatan dan penghayatan atas kehidupan. Manusia memang tidak harus selalu berduka, tidak harus selalu menangis. Tapi, manusia juga bukan harus terus-menerus bergembira. Hidup yang sesederhana apapun pada dasarnya adalah sebuah hidup yang tragis. Ada yang sama pada setiap hidup, yaitu maut yang mutlak itu. Maut yang menghabiskan hidup siapa pun. Bukankah ini sebuah alasan yang amat kuat untuk terus menerus berduka dan menangis?
Si penyair lantas menulis puisi. Penyair ada karena penyair menulis puisi. Pengandaian dimainkan. Aku airmata puisi, kata penyair. Airmata hanya akan ada apabila puisi si mata itu menyadari bahwa ia punya alasan untuk terus menerus menangis. Tangis yang tidak sia-sia. Tangis yang bukan kecengengan menghadapi hidup yang tragis ini.
Matdon penyair Bandung dalam buku "Mailbox" (Mataair, Bandung, 2006) ada banyak menulis sajak pendek. Pembicaraan soal sajak pendek di atas saya maksudkan sebagai pengantar untuk masuk ke sajak-sajaknya. Sayang, sajak-sajak pendek yang ia suguhkan, kurang disertai tawaran untuk memaknai seasyik sajak Joko Pinurbo yang saya contohkan di atas.
Misalnya pada sajak "Potret Hitam Negeriku". Matdon hanya menuliskan tiga kata dalam bait-sebaris.
Bingkainya telah lenyap.
Bagaimana makna bisa diperas dari sajak ini? Saya mencoba mencari hubungan antara potret dan bingkai. Potret yang bernilai, yang berharga, yang pantas dikenanglah yang biasanya diberi bingkai oleh si pemilik potret itu. Potret berbingkai itu lantas dipajang agar bisa sesering mungkin terlihat. Potret di bingkai beda harkatnya dengan potret yang ada di album. Potret di album hanya sesekali dibuka untuk dipandangi dan dipetik kenangan darinya.
Nah, lantas apa yang berharga dikenang dari sebuah potret hitam di negeri si penyair itu? Baiklah, hitam itu mungkin lambang duka. Lambang kekelaman. Mungkin sebuah sejarah gelap. Sejarah yang berharga untuk selalu mengingatkan si aku agar kehitaman itu tidak terulang.
Lantas kenapa bingkainya lenyap? Saya lantas kembali ke hubungan antara bingkai dan potret. Bingkai memberi harga yang lebih pada potret yang dibingkainya. Mungkin si penyair ingin bilang bahwa kita lupa menjaga apa yang bernilai pada sejarah, lupa untuk terus-menerus ingat pada apa yang bisa kita ambil sebagai pelajaran dari sejarah. Ibarat bingkai pada potret hitam yang telah lenyap karena kita tidak menjaganya.
Menurut saya ini adalah sebuah sajak pendek terbaik dari semua sajak pendek yang ada di buku Matdon itu. Selebihnya adalah sajak-sajak yang teramat biasa. Coba bandingkan:
Kalau kau mati
Bagaimana aku dapat hidup
(?, halaman 31)
Pada sajak ini, upaya untuk membangun ironi antara kau mati dan aku hidup, menjadi terlalu biasa. Ya, bagaimana? Saya bisa saja membayangkan bahwa seseorang yang teramat penting bagi orang lain, pasti akan mengundang pertanyaan yang sama, apabila seseorang itu mati dan seseorang lain itu hidup. Pertanyaan umum yang sia-sia dipuisikan.
yang akrab di nganga luka
hanya duka
(SEPI, halaman 12)
Ini juga sebuah permainan kata-kata yang terlalu biasa. Penyair tidak menunjukkan sebuah hasil perenungan yang dalam atas kesepian manusia itu. Ya, luka - sebagai lambang dari kesedihan - memang hanya akrab dengan duka. Lantas apa? Sajak ini ibarat menggapai-gapai minta tolong untuk diberi makna, tapi saya tidak tertarik untuk menolongnya. Beda misalnya dengan sajak "Luka" Sutardji, yang justru begitu kuatnya menarik saya, yang justru menolong saya.
bahkan anginpun
kusangka dirimu
(KANGEN 2, halaman 10)
Ini pun sebuah manifesto dari kangen yang amat biasa. Tidak ada yang istimewa. Saya bisa saja mengganti angin itu dengan batu, jendela, pintu, awan, hujan. Diksi penyair teramat biasa dan saya tidak terdorong untuk memberi harga pada upaya dia memilih kata-kata itu. Juga pada dua sajak kangen lainnya berikut ini:
fahamilah
sepiku
(KANGEN 3, halaman 11)
temui aku
di emailmu
(KANGEN 1, halaman 9)
Penyair pun masih gagap ketika ia berusaha keluar dari dirinya sendiri. Misalnya pada sajak ini:
nasibmu
memar
takdirmu
terpendar
(KUPU-KUPU MALAM, halaman 32)
Pengamatan dan penghayatan pada kehidupan wanita malam yang jamak diibaratkan sebagai kupu-kupu malam teramat dangkal sehingga hanya mengantar penyair untuk bisa menyebutkan "nasibmu memar, takdirmu terpendar", yaitu sebuah rumusan yang sangat umum. Nasib yang memar, akibat benturan-benturan kemalangan, ah umumnya memang begitu yang terpendar dari takdir para kupu-kupu malam itu, bukan? Makna apa yang bisa didapat dari baris-baris itu? Makna yang baru dan segar?
Demikianlah. Sebenarnya, sajak pendek bisa menjadi kekuatan. Asal saja sajak pendek itu tidak dijadikan pelarian dari ketidakmampuan penyair untuk menulis sajak yang panjang, membangun kompleksitas yang mentantang pembaca.
Sajak pendek mempermudah penyair untuk menjaga keutuhan sajaknya, tetapi sajak pendek pencabar penyair untuk membangun kompleksitas. Ini tantangan yang luar biasa. Jika tantangan itu tidak berhasil dijawab, maka yang lahir adalah sajak yang asal pendek, sajak yang teralalu enteng, terlalu terang dan karena itu tidak menarik untuk dijelajahi maknanya.
Wednesday, August 15, 2007
Aku Tersandung di Sajak Mardi Luhung
Ciuman Bibirku yang Kelabu
Pengarang: Mardi Luhung
Penerbit: Akar Indonesia, Yogyakarta, 2007
Tebal: 168 halaman.
ADA bocah Belgrad Yugoslavia yang ingin jadi pelukis. Sampai usia sepuluh tahun ia tidak bisa berbahasa Inggris. Bersama ibunya bocah itu bermigrasi ke Paris lalu akhirnya menetap di Amerika. Kelak si bocah menjadi penyair dan tahun 2007 terpilih menjadi Poet Laureatte Amerika. Bocah itu, penyair itu, adalah dia yang bernama bernama Charles Simic.
ADA bocah lain di Gresik. Pada usia lima tahun ia mendapat bacaan komik dari ayahnya. Dari komik-komik itu si bocah mendapat bahan untuk berimajinasi, berkhayal, membayangkan hal-hal yang aneh dan fantastis. Bocah itu kelak menemukan dunia yang sebangun dengan dunia komik yang ia baca itu dalam sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri.
Saya tak tahu, apakah bocah itu tahu bahwa komik superhero berbahasa Inggris dari surat-kabar Singapura pernah memukau Sutardji kecil. Sutardji menengal huruf-huruf itu dan bisa membunyikannya, tapi dia tidak mengerti arti dari bahasa Inggris yang ia baca. Ia hanya terpukau pada bunyi-bunyi yang ia lafalkan. Secara tak sadar agaknya dari situlah awalnya Sutardji mendapat kemampuan memberi perhatian dan memainkan unsur bunyi-bunyi dalam sajaknya.
Bocah Gresik itu kelak kuliah di sebuah Fakultas Sastra Jurusan Sastra Indonesia. Ia mulai menulis puisi setelah meninggalkan kampusnya. Nah, menarik sekali, bahwa penyair ini mengaku kesulitan dengan bahasa Indonesia, bahasa sajak-sajaknya. Ini sedikit biografinya: ayahnya seorang Tionghoa, Ibunya jawa. Di rumah dia berbahasa Indonesia-Jawa. Bahasa Indonesia yang ia gunakan sehari-hari adalah varian yang berbau Bahasa Cina.
Nilai mata pelajaran mata kuliah bahasanya tidak pernah bagus. Dia menganggap bahasa Indonesia yang baik dan benar itu kaku. Apalagi, katanya, kalau berususan dengan titik, koma dan lain-lain. "Aku benar-benar jadi gugup dan berkeringat dingin dibuatnya," kata penyair itu.
Maka, penyair itu lantas menulis puisi tanpa peduli "persoalan kebahasaan". Ia membiarkan dirinya menggunakan bahasa sendiri, bahasa Indonesia yang ia pelajari dari hidupnya, katanya. Ketika ada teman mengatakan bahwa kata-kata dalam puisinya perlu penjelasan, si penyair bilang tak perlu.
Bahasa apapun ternyata bisa menjadi masalah bagi penyair. Kerja pertama seorang penyair mungkin adalah menguasai, atau mengatasi (atau menyikapi?) masalah bahasa itu. Charles Simic, si penyair Amerika itu akhirnya menulis puisi dengan sederhana. Ia menulis hal-hal kecil dan puisinya tetap memikat.
Sementara Mardi Luhung, si penyair kelahiran Gresik yang sekilas kita ceritakan di atas, memilih bahasa yang menurutnya ia dapatkan dari kehidupannya. Penyair ini menyebutkan sajak-sajaknya mendapat pengaruh dari imajinasi dalam dunia komik superhero yang ia baca dan kehidupan serta bahasa Jawa Gresik pesisiran. Kehidupan yang sangat "terbuka". Maka, katanya, sajaknya pun ditulis dengan amat "terbuka", tema besar dan tema kecil yang tumpang tindih, dan awal akhir yang kerap bertukar berbalik arah.
Saya kesulitan masuk ke dalam dunia sajak-sajak Mardi Luhung. Sajak-sajaknya bukan sajak yang "indah" - itu diakuinya sendiri - tapi penyebab saya terkendala masuk ke dalam sajaknya saya kira bukan karena sajaknya tidak indah. Saya bukan seorang yang hanya sajak indah. Lagi pula "keindahan" sajak toh bukan berarti hanya bisa diwujudkan dengan bahasa yang berbunga-bunga. Keindahan sajak bisa dicapai lewat banyak jalan.
Sebelum sampai pada sajak-sajak yang "tumpang tindih" tadi, Mardi Luhung mengaku pernah terpukau pada teori yang ia baca bahwa puisi yang baik adalah puisi yang sampai pada taraf "indah". Karena itu, katanya, dia pernah pada suatu tahap kepenyairannya, menahan seluruh daya khayal yang ada dalam dirinya. Dengan pengakuan ini, dia seakan-akan mengatakan bahwa khayal yang liar adalah musuh dari keindahan sajak. Maka, ia menyebut puisi-puisi awalnya adalah puisi yang "tertahan", beda dengan sajak-sajaknya yang mutakhir, yaitu sajak-sajak yang liar lepas mengikuti kebebasan imajinasinya.
Ya, saya kesulitan masuk untuk sekedar jalan-jalan ke dunia sajak-sajak Mardi Luhung. Saya sering terbentur pada tembok, belokan-belokannya penuh kejutan, di beberapa bagian lorong itu gelap, dan ah saya kerap terantuk dan tersandung. Mari kita masuki salah satu sajaknya. Sajak ini bisa dibaca dalam bukunya "Ciuman Bibirku yang Kelabu" (Akar Indonesia, Yogyakarta, 2007).
JALAN PUISI
Sehabis makan-malam, membaca roman
dan bersanggama, si macan-kumbang
keluar dari tembok-kamar
kukunya tajam, matanya sorot,
pandangannya awas menukik
ke perut-puisi yang kenyal
Ini bait pertama. Saya kira saya tidak salah kalau menganggap bahwa "tokoh utama" dalam bait ini adalah "si macan-kumbang". Si macan itulah yang makan-malam, baca roman, bersanggama, lalu keluar dari tembok-kamar. Si macan digambarkan berkuku tajam, dan matanya yang menyorot nyalang itu menukikkan pandangan ke "perut-puisi" (?) yang kenyal. Saya belum dapat apa-apa dari su macan-kumbang di bait pertama ini. Apa maunya? Mau kemana dia? Tapi baiklah kita teruskan ke bait kedua.
tempat aku menyimpan
senganga-jurang yang aku susun
dan aku ringkas berdikit-dikit
dan di jurang itu, si macan-kumbang
sigap mendenguskan aumannya
serta satu-dua kata yang sengit:
Si aku muncul di bait kedua ini. Perut-puisi yang kenyal tadi ternyata adalah tempat si aku menyimpang sebuah jurang yang menganga. Jurang itu ia susun dan ia ringkas sedikit-sedikit. Di jurang itu, telah ada si macan-kumbang yang mendengus dan mengaum, serta meneriakkan satu-dua kata yang sengit. Kata apa? Tunggu di bait ketiga. Nah, saya ternyata telah salah membaca bait pertama, saya kira tadi yang menukik tajam ke perut puisi (yang ternyata adalah tempat si aku menyimpan jurang) bukan pandangan tajam si macan-kumbang, tetapi si macan itu sendiri. Jurang apakah itu? Siapakah si macan kumbang? Sampai di bait kedua, saya belum punya gambaran apa-apa.
"Puisi, manusia dan jurang, memang
selalu membuat aku gelisah!"
dan hup! Si macan-kumbang melompat
ke nganga-jurang itu,
seperti yang jatuh ke kedalaman, tubuh
dan ekornya beruir-uir
Bait ketiga, bukan hanya membingungkan saya, tetapi juga mengacaukan bangunan pemahaman saya atas dua bait sebelumnya. Lihat, si macan-kumbang yang sudah berada di jurang tadi, yaitu di perut puisi tadi, kini melompat ke jurang itu lagi. Nah ini jurang yang mana? Keterangan "seperti yang jtuh ke kedalaman, tubuh dan ekornya beruir-uir" sama sekali tidak membantu saya. Saya sudah terjerembab karena tersandung upaya untuk memahami "nganga-jurang itu" manakah yang kali ini dilompati oleh si macan-kumbang.
dan kegelapan jurang pun menerkam
keutuhan kulitnya yang hitam: "Pekat!"
seterusnya: "Lorong yang jauh..."
keesokannya: sehabis keramas dan
sehabis menulis satu-bait dari
alur lanskap yang pahit
puisi mengemasi baju dan perkakasnya,
memelukku erat, lalu seperti
cinta-pertama mencium keningku dan berbisik:
"Sayangku, sudah waktunya
aku pergi, jagalah dirimu sendiri!"
dan hup! Puisi pun melompat
Inilah bait keempat. Baris pertama lumayan memukau sebenarnya. Kegelapan jurang menerkam kulitnya - kulit si macan-kumbang yang tadi melompat ke dalam jurang itu. Ya, imaji gelap, pekat, muram berhasil dibangun dengan kalimat yang luar biasa: Gelap menerkam hitam! Tetapi siapakah yang berteriak dalam kalimat langsung itu? Siapakah yang meneriakkan kata "pekat" itu? Siapakah yang berteriak "lorong yang jauh...." itu. Saya tak bisa mengatribusikan kalimat langsung itu ke mana-mana. Akukah? Macan-kumbangkah? Puisikah? Jurangkah? Atau si penyair?
Dan kebingungan saya berlanjut. Siapakah yang keramas keesokan harinya itu? Bila keramas boleh disebut sebagai "mandi wajib" setelah senggama di bait pertama itu, maka si tokoh yang berkeramas itu adalah si macan-kumbang. Tapi kenapa dia menulis satu-bait (puisi?) dari alur lanskap yang pahit? Bukankah si macan-kumbang adalah dia yang gelisah oleh puisi, manusia dan jurang, seperti disebutkan di bait kedua?
Tapi bisa juga yang menulis satu-bait itu adalah si puisi itu sendiri, sebab setelah itu bukankah si puisi itu mengemasi baju dan perkakasnya lantas memeluk si aku dan kemudian melompat pergi juga. Puisi menulis puisi?
ke tembok-kamar bekas tempat ke luar
si macan-kumbang itu, dan hilang dilipat
kerahasiaan semen dan kapur
kerahasiaan yang membersit: "Membersit..."
Ini bait kelimat, bait terakhir. Puisi yang menulis puisi tadi ternyata melompat ke dan menghilang di tembok kamar tempat si macan kumpang itu keluar. Lihat tumpang tindih logikanya. Macan-kumbang melompat ke perut puisi, di puisi itu ada jurang, di jurang itu macam kumbang diterkam gelap, si macan-kumbang adalah dia yang gelisah oleh jurang, puisi dan manusia, lantas si macan-kumbang itu keramas setelah senggama sebelum melompat keluar tembok tadi, lalu ia menulis puisi, puisi lantas memeluk si aku manusia dan kembali ke kamar lewat tembok tempat si macan-kumbang keluar. Di kamar itu, puisi pun jadi rahasia, atau menyembunyikan sesuatu yang tak terpahami.
Inilah "Jalan Puisi" yang ditempuh penyair. Puisi akhirnya berpamitan dengan si aku. Puisi yang perutnya menyimpan jurang tempat si macam kumbang berterkaman dengan gelap itu tidak lagi bersama si aku. Puisi memilih berdiam di balik tembok rahasia semen dan kapur. Rahasia yang membersit. Maka, puisi si penyair pun dibiarkan liar. Si aku tidak bisa menemani puisinya menemui pembaca. Penyair dan puisinya, keduanya mungkin tidak pernah peduli kepada pembaca misalnya dengan memberi penjelasan di luar puisi, seperti diakui sendiri oleh Mardi Luhung. ".... sekali lagi, itu tak perlu," katanya. Kenapa? Karena, "sebenarnya jika kita jujur, apa pun adanya masalah kebahasaan selalu kembali kepada diri masing-masing," katanya.
Soal bahasa, soal puisi, diyakini oleh penyair kembali ke diri masing-masing, kembali ke pengguna bahasa. Dia mungkin mengabaikan bahwa bahasa (langue) dibangun dengan kesepakatan-kesepakatan, di samping parole yang mungkin menjadi wilayah kebebasan penyair. Tapi wilayah parole itu toh tetap saja mengacu, atau bertolak pada langue. Keduanya terlibat dalam tawar-menawar, yang kerap tegang tapi selalu mengasyikkan. Di sinilah menurut saya keunggulan penyair terus-menerus diuji.
Tapi, ah, bukankah Mardi Luhung, penyair kita ini sudah bilang tidak peduli pada bahasa Indonesia yang baik dan benar, yang baku dan yang menggelisahkannya serta membuatnya gugup berkeringat dingin itu?
Karena bahasa adalah sistem bunyi dan makna, maka saya membaca puisi dengan tidak bisa melepaskannya dari logika. Mungkinkah sesuatu yang lain bisa ditemukan dari sajak Mardi Luhung kalau dibaca dengan melepaskan logika? Mungkinkah lebih asyik kalau sajaknya dibaca seperti memasuki sebuah dunia surealistis?
Sajak "Malaikat" dan Tanggung Jawab Penyair
Ibarat umpan gurih, sajak "Malaikat" Saeful Badar di lembar Khazanah "Pikiran Rakyat" 4 Agustus 2007, langsung disambar dengan protes oleh Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Jawa Barat. Dalam surat pembaca yang dimuat di koran yang sama Selasa 7 Agustus 2007, yang dikirim oleh Wakil Ketua Umumnya, H.M. Daud Gunawan, DDII mengajukan 10 butir pernyataan. Sehari sebelum surat itu Redaksi "Pikiran Rakyat" sudah pula mengumumkan maaf dan mencabut pemuatan sajak itu.
Ini butir pertama mereka: Sajak berjudul "Malaikat" karya Saeful Badar tersebut, jauh dari nilai estetika seni sastra, sekaligus tidak mengandung etika penghormatan terhadap agama, khususnya agama Islam. Oleh karena itu, sajak tersebut dapat dikategorikan menghina agama, khususnya Islam.
Ini butir keenam: Menuntut Pikiran Rakyat melakukan tindakan setimpal, baik terhadap penulis sajak itu, maupun redaktur yang memuatkannya, berupa mem-black list Sdr. Saeful Badar atau mencekalnya dari daftar kontributor sajak "PR", sehingga ia minta maaf secara terbuka kepada umat Islam atas kekhilafannya.
Dan ini butir terakhir: Mengharapkan Redaksi "PR", penyair, dan masyarakat pada umumnya, untuk berhati-hati dalam berkarya, menulis, ataupun tindakan lain yang dapat dinilai menista agama, dan menyinggung keyakinan umat Islam.
Saya bergantung pada situs "Pikiran Rakyat" untuk mendapatkan sajak itu. Tapi, ketika saya mengaksesnya Sabtu, 11 Agusuts 2007, sajak tersebut tak ditampilkan lagi. Tentu saja, kan sudah dicabut! Sajak itu akhirnya saya dapatkan dari mailing list. Ini dia:
Menurut saya ini memang bukan sajak yang baik. Tapi saya kira sajak ini juga sangat tidak perlu diprotes dan tidak usah dicabut penerbitannya, meskipun saya juga bisa mengerti kalau DDII marah atas sajak ini. Ada yang menuduh DDII hanya ingin cari nama. Tapi, baiklah kita batasi saja pembicaraan pada wilayah seni puisi.
Ya, betul, bila ada yang mengatakan bahwa malaikat adalah metafora di sajak itu. Ia sekaligus juga bukan metafora. Dan malaikat adalah metafora untuk hal-hal yang baik, luhur, tulus. Ingat frasa berhati malaikat atau berwajah malaikat. Kesalahan terbesar dalam puisi ini saya kira ada pada larik: Ia berlagak sebagai makhluk baik. Malaikat dalam alam bahasa kita adalah lawan dari iblis, lepas dari perkara keimanan. Iblis adalah segala hal yang buruk, jahat dan amoral.
Bagaimana saya bisa menerima tawaran makna baru dari si penyair bahwa malaikat itu adalah makhluk yang "galak dan usil" yang meniupkan maut dan wahyu ke segala penjuru? Bukankah itu memang tugas malaikat? Sekali lagi, tanpa mempertimbangkan keimanan saya, saya susah menerima tawaran imaji dan makna dari si penyair. Jadi sekali lagi, menurut saya ini bukan sajak yang baik.
Penyair Indonesia sesungguhnya berada dalam iklim penciptaan yang luar biasa bebasnya. Ini cuaca yang sangat baik untuk bercocok tanam puisi, dan menghasilkan berbagai-bagai jenis puisi. Kebebasan berekspresi di Indonesia - khususnya dalam seni puisi - saat ini sedang sehat-sehatnya.
Tanggung jawab penyair kepada kebebasan itu adalah bagaimana menghasilkan karya terbaik. Seluruh perangkat perpuisisan bebas digunakan. Tak ada tema yang dihalang-halangi untuk dimasuki. Saya kira malah cuaca baik itu belum dimanfaatkan dengan baik oleh penyair saat ini.
Saya akan lebih suka kalau sajak di atas sedikit diolah oleh si penyair menjadi begini:
Nah, dengan sajak model begini, saya bisa memaknai malaikat palsu itu sebagai wujud perilaku sebuah negeri yang menista negeri lain dengan alasan yang dibuat-buiat, atau perilaku lembaga yang sok suci dan menajiskan apa saja yang berada di luar kelompokmreka.
Puisi juga perkara teknik mempergunakan alat-alat puitika. Ini yang sering dilupakan. Jangan semata-mata meringkuk di balik perisai "kebebasan berekspresi" lantas melupakan tanggung jawab untuk menghasilkan sajak yang baik. Saya menyukai muatan kritik dalam sajak Saeful Badar itu. Saya kira mengajukan kritik seperti itu juga sebuah upaya untuk memanfaatkan kebebasan berekspresi. Tapi, tetap saja niat baik kritik harus diimbangi dengan laku baik: menggarapnya dalam sebuah sajak yang baik. Yang bertanggung jawab.
Penyair harus membuat sajak yang baik, itu tanggung jawab. Sajak yang baik itu menyampaikan pesan juga dengan baik, itu tanggung jawab. Bila tujuannya adalah mengkritik lembaga seperti DDII, maka bagaimana mengemas kritik itu agar bisa diterima sebagai upaya "saling mengingatkan". Itu juga sebuah wujud tanggung jawab.
Pada hari yang sama dengan pemuatan surat prores DDII, Saeful Badar juga menyatakan kekhilafan dan mencabut sajak itu. Saya setuju dia minta maaf. Saya kira permintaan maaf itu juga bukan pertanda buruk bagi kebebasan berekspresi melalui seni puisi.
Tapi, DDII pun keterlaluan. Terlalu jauh rasanya ketika mereka menyamakan pemuatan puisi itu sebagai kesengajaan untuk memancing amarah umat Islam dan menista ajaran Islam. Terlalu jauh rasanya menyamakan puisi itu dengan - seperti mereka sebutkan dalam surat protes mereka - "apa yang dilakukan para penista Islam, seperti kasus Salman Rushdie dengan novel 'Ayat-ayat Setan', koran Jylland-Posten Denmark dengan karikatur Nabi Muhammad SAW". Kenapa? Karena Saeful Badar bukanlah Salman Rushdie atau kartunis-kartunis Jylland-Posten.
Saeful Badar telah minta maaf. Ia menulis: dari lubuk hati yang paling dalam, saya memohon maaf yang sebesar-besarnya dan setulus-tulusnya atas kekhilafan ini. Apa yang telah saya tulis di puisi tersebut merupakan bentuk kedhaifan saya sebagai manusia dalam menginterpretasikan gagasan dan imajinasi tentang malaikat. "Sama sekali, tak terbersit niatan untuk menghina apalagi melecehkan," katanya.
Saya tetap beranggapan bahwa kasus ini tidak akan mengubah iklim baik bagi penyair untuk berkreasi mengolah seni puisi. Bila ada hikmah yang hendak diambil maka itu adalah sudah saatnya kita melatih kedewasaan dalam memanfaatkan kebebasan dan menghasilkan karya puisi. Hubungan dan pergaulan antara penyair junior dan penyair senior perlu dikembangkan menjadi hubungan yang sehat dan saling mendewasakan itu.
Ini butir pertama mereka: Sajak berjudul "Malaikat" karya Saeful Badar tersebut, jauh dari nilai estetika seni sastra, sekaligus tidak mengandung etika penghormatan terhadap agama, khususnya agama Islam. Oleh karena itu, sajak tersebut dapat dikategorikan menghina agama, khususnya Islam.
Ini butir keenam: Menuntut Pikiran Rakyat melakukan tindakan setimpal, baik terhadap penulis sajak itu, maupun redaktur yang memuatkannya, berupa mem-black list Sdr. Saeful Badar atau mencekalnya dari daftar kontributor sajak "PR", sehingga ia minta maaf secara terbuka kepada umat Islam atas kekhilafannya.
Dan ini butir terakhir: Mengharapkan Redaksi "PR", penyair, dan masyarakat pada umumnya, untuk berhati-hati dalam berkarya, menulis, ataupun tindakan lain yang dapat dinilai menista agama, dan menyinggung keyakinan umat Islam.
Saya bergantung pada situs "Pikiran Rakyat" untuk mendapatkan sajak itu. Tapi, ketika saya mengaksesnya Sabtu, 11 Agusuts 2007, sajak tersebut tak ditampilkan lagi. Tentu saja, kan sudah dicabut! Sajak itu akhirnya saya dapatkan dari mailing list. Ini dia:
MALAIKAT
Mentang-mentang punya sayap
Malaikat begitu nyinyir dan cerewet
Ia berlagak sebagai makhluk baik
Tapi juga galak dan usil
Ia meniup-niupkan wahyu
Dan maut
Ke saban penjuru
2007
Menurut saya ini memang bukan sajak yang baik. Tapi saya kira sajak ini juga sangat tidak perlu diprotes dan tidak usah dicabut penerbitannya, meskipun saya juga bisa mengerti kalau DDII marah atas sajak ini. Ada yang menuduh DDII hanya ingin cari nama. Tapi, baiklah kita batasi saja pembicaraan pada wilayah seni puisi.
Ya, betul, bila ada yang mengatakan bahwa malaikat adalah metafora di sajak itu. Ia sekaligus juga bukan metafora. Dan malaikat adalah metafora untuk hal-hal yang baik, luhur, tulus. Ingat frasa berhati malaikat atau berwajah malaikat. Kesalahan terbesar dalam puisi ini saya kira ada pada larik: Ia berlagak sebagai makhluk baik. Malaikat dalam alam bahasa kita adalah lawan dari iblis, lepas dari perkara keimanan. Iblis adalah segala hal yang buruk, jahat dan amoral.
Bagaimana saya bisa menerima tawaran makna baru dari si penyair bahwa malaikat itu adalah makhluk yang "galak dan usil" yang meniupkan maut dan wahyu ke segala penjuru? Bukankah itu memang tugas malaikat? Sekali lagi, tanpa mempertimbangkan keimanan saya, saya susah menerima tawaran imaji dan makna dari si penyair. Jadi sekali lagi, menurut saya ini bukan sajak yang baik.
Penyair Indonesia sesungguhnya berada dalam iklim penciptaan yang luar biasa bebasnya. Ini cuaca yang sangat baik untuk bercocok tanam puisi, dan menghasilkan berbagai-bagai jenis puisi. Kebebasan berekspresi di Indonesia - khususnya dalam seni puisi - saat ini sedang sehat-sehatnya.
Tanggung jawab penyair kepada kebebasan itu adalah bagaimana menghasilkan karya terbaik. Seluruh perangkat perpuisisan bebas digunakan. Tak ada tema yang dihalang-halangi untuk dimasuki. Saya kira malah cuaca baik itu belum dimanfaatkan dengan baik oleh penyair saat ini.
Saya akan lebih suka kalau sajak di atas sedikit diolah oleh si penyair menjadi begini:
MALAIKAT PALSU
Mentang-mentang punya sayap gadungan
kau nyinyir dan cerewet
berlagak bak makhluk baik
sok galak dan usil
meniupkan wahyu palsu
dan mengancam nyawa orang
di segenap penjuru
Nah, dengan sajak model begini, saya bisa memaknai malaikat palsu itu sebagai wujud perilaku sebuah negeri yang menista negeri lain dengan alasan yang dibuat-buiat, atau perilaku lembaga yang sok suci dan menajiskan apa saja yang berada di luar kelompokmreka.
Puisi juga perkara teknik mempergunakan alat-alat puitika. Ini yang sering dilupakan. Jangan semata-mata meringkuk di balik perisai "kebebasan berekspresi" lantas melupakan tanggung jawab untuk menghasilkan sajak yang baik. Saya menyukai muatan kritik dalam sajak Saeful Badar itu. Saya kira mengajukan kritik seperti itu juga sebuah upaya untuk memanfaatkan kebebasan berekspresi. Tapi, tetap saja niat baik kritik harus diimbangi dengan laku baik: menggarapnya dalam sebuah sajak yang baik. Yang bertanggung jawab.
Penyair harus membuat sajak yang baik, itu tanggung jawab. Sajak yang baik itu menyampaikan pesan juga dengan baik, itu tanggung jawab. Bila tujuannya adalah mengkritik lembaga seperti DDII, maka bagaimana mengemas kritik itu agar bisa diterima sebagai upaya "saling mengingatkan". Itu juga sebuah wujud tanggung jawab.
Pada hari yang sama dengan pemuatan surat prores DDII, Saeful Badar juga menyatakan kekhilafan dan mencabut sajak itu. Saya setuju dia minta maaf. Saya kira permintaan maaf itu juga bukan pertanda buruk bagi kebebasan berekspresi melalui seni puisi.
Tapi, DDII pun keterlaluan. Terlalu jauh rasanya ketika mereka menyamakan pemuatan puisi itu sebagai kesengajaan untuk memancing amarah umat Islam dan menista ajaran Islam. Terlalu jauh rasanya menyamakan puisi itu dengan - seperti mereka sebutkan dalam surat protes mereka - "apa yang dilakukan para penista Islam, seperti kasus Salman Rushdie dengan novel 'Ayat-ayat Setan', koran Jylland-Posten Denmark dengan karikatur Nabi Muhammad SAW". Kenapa? Karena Saeful Badar bukanlah Salman Rushdie atau kartunis-kartunis Jylland-Posten.
Saeful Badar telah minta maaf. Ia menulis: dari lubuk hati yang paling dalam, saya memohon maaf yang sebesar-besarnya dan setulus-tulusnya atas kekhilafan ini. Apa yang telah saya tulis di puisi tersebut merupakan bentuk kedhaifan saya sebagai manusia dalam menginterpretasikan gagasan dan imajinasi tentang malaikat. "Sama sekali, tak terbersit niatan untuk menghina apalagi melecehkan," katanya.
Saya tetap beranggapan bahwa kasus ini tidak akan mengubah iklim baik bagi penyair untuk berkreasi mengolah seni puisi. Bila ada hikmah yang hendak diambil maka itu adalah sudah saatnya kita melatih kedewasaan dalam memanfaatkan kebebasan dan menghasilkan karya puisi. Hubungan dan pergaulan antara penyair junior dan penyair senior perlu dikembangkan menjadi hubungan yang sehat dan saling mendewasakan itu.
Monday, August 13, 2007
Siul yang Meruntuhkan Tembok!
Sepucuk Pesan Ungu
Dua Kumpulan Sajak
Pengarang: Ready Susanto
Penerbit: Bejana & Semenanjung, Bandung, 2007
Tebal: 80 halaman
Aku menjemputmu! Bis tingkat menderu, polusi membasahi
Jakarta. Siapa mengusik pagi dengan siulan menyayat itu?
"Klaus Meine, Scorpion," katamu. Wind of Change berkuman-
dang. Menyusuri Taman Gorky, tembok Berlin telah runtuh,
katanya. Kau tahu beton itu telah rapuh sejak orang menyebe-
ranginya demi cinta. Seperti kita.
(Album Lama: Jakarta-Bandung)
Saya telah awali tinjauan ini dengan petikan bait (atau paragraf?) pertama dari sajak lima bait ini. Ini salah satu sajak yang langsung saya sukai dari buku kumpulan puisi Ready Susanto, penyair kelahiran Palembang (1967) yang kini bermukim di Bandung ini.
Cerita tentang si aku yang menjemputmu (dengan sebuah tanda seru, sebagai isyarat girang? Atau tegang?) itu lantas dialirkan dengan amat lembut. Pemandangan dari jendela bis: mimpi, pinus di halaman sekolah yang kering, ragu, pertanyaan tentang cinta yang mempertemukan dua orang yang tetapi tidak merubuhkan sebuah tembok penghalang, kamar dan gaung televisi, hingga diakhiri dengan si aku yang mengantarmu. Ah, sempurna!
Di luar urusan tema dan bentuk, menulis sajak, apa pun jenisnya, pada dasarnya adalah proses membangun kompleksitas (gambar-gambar, suara, imaji, peristiwa) sambil menjaga keutuhan. Kompleksitas dan keutuhan, seperti dua kutub jebakan bagi penulis sajak. Jika sajak terlalu kuat tertarik ke kutub kompleksitas minus keutuhan maka yang ditawarkan adalah kerumitan-kerumitan yang susah ditembus pembaca. Jika sajak terlalu dekat pada keutuhan, tanpa kompleksitas maka yang tampil adalah sajak yang cair, terlalu mudah dibaca, dan karena itu ia gagal sebagai sajak.
Pada sajak ini, Ready berhasil membangun keutuhan itu. Saya suka sekali dengan kalimat awal dam kalimat akhir yang seakan menjadi tanda betapa sajak telah dijaga keutuhannya. Saya suka sekali dengan kompleksitas yang dibangun oleh penyair dengan berbagai jurus. Ia menyelangkan banyak hal dan bahkan mengutip sejumlah bait sajak yang membuat bait-bait sajaknya menjadi kuat. Maka bergiliran muncullah Ayib Rosidi, Goenawan Mohamad, dan Sapardi Djoko Damono. Petikan-petikan sajak itu melebur, lepas dari statusnya sebagai bagian dari sajaknya yang asli. Ia sah menjadi serpihan bata pembangun bangunan sajak baru.
Ready Susanto saya kira berhasil meruntuhkan tembok sajak-sajak yang ia baca, peristiwa-peristiwa berkesan yang ia alami, dan perasaan yang timbul dalam dirinya - mungkin cukup dengan menghembuskan sebuah siulan ringan saja - lantas ia bangun sajak barunya dengan memilih lantas menyertakan potongan-potongan reruntuhan yang ia buat tadi.
Selain sajak yang saya kutip di atas saya juga amat suka pada sajak "Album Lama: Sepanjang Tengku Umar", "Nongsa Point Marina", "Album: Cisangkuy", "Wilayah Melankoli", dan "Tiga Catatan Harian". Hei, lihat, semua sajak itu adalah sajak-sajak yang bisa disebut sebagai puisi-prosa! Puisi yang bait-baitnya adalah paragraf. Puisi yang seakan tidak peduli pada bait, pemenggalan bait. Lantas di mana letak "puisi"-nya? Tanpa bait, bisakah nikmatnya rima dan ritme terasa? Sebuah puisi-prosa yang baik- sebagaimana layaknya sajak bebas lainnya, seharusnya tidak membunuh rima dan ritme. Ia hanya menyembunyikan, dan diam-diam kedua hal itu muncul, atau setidaknya terasa ketika terbaca, menimbulkan semacam rasa rempah yang lembut.
Puisi-prosa bukan petikan-prosa. Poet laureatte Amerika 2007 Charles Simic ada mengingatkan hal ini. Puisi-prosa bukan sekedar cuplikan cerita, ia juga bukan sekadar sebuah cerita yang dituliskan dengan puitis. Saya menemukan kekuatan puisi-prosa Ready Susanto di buku ini, dan saya menyukainya. Saya kira puisi-puisi akan menjadi penanda penting bagi kepenyairannya. Saya kira buku ini menjadi semacam sinyal baik bagi perjalanan menyairnya selanjutnya.
Penyair ini telah menunjukkan tanda-tanda kematangan memanfaatkan alat-alat puitika. Rima dan ritma, misalnya, dimaksimalkan oleh Ready pada beberapa sajaknya. Saya perlu sebuah petikan lagi sekaligus menjadi penutup yang manis untuk mengakhiri tinjauan ringkas ini. Saya pilih bagian terakhir dari sajak tiga bagian di halaman 72.
Seperti katamu, "perasaan bagai laut," pasang surut.
Seperti kataku, "masa lalu bagai mambang," menebarkan bimbang.
Lalu, "mengapa aku hanyut?"
Lantas, "pada siapa engkau takut?"
Televisi menyanyi: sebegitu dekatkah aku, hingga engkau kesepian?
Televisi menyanyi: sebegitu jauhkah engkau, hingga aku kehilangan?
(Tiga Catatan Harian)
[Ruang Renung # 224 ] Jagalah Telur Sajakmu
Menulis sajak adalah perjalanan mencapai sajak, mengantar sajak ke Sajak. Ini perjalanan rekreasi yang menyenangkan. Perjalanannya saja bisa dinikmati, apatah lagi bila sampai pada tempat pelancongan yang hendak dituju. Menulis sajak juga bisa diibaratkan seperti mengerami telur sajak. Melihat telur-telur sajak diselimuti kehangatan pelukan matasajakmu saja sudah menggembirakan, apatah lagi kelak melihat satu persatu anak-sanak sajak itu menetas keluar dari cangkang telurnya.
Yang harus diketahui oleh pelancong-penyair dan indukunggas-penyair adalah dia benar-benar di jalur yang benar dan dia benar-benar mengerami telur-telur sajak. Nah, itulah yang susah, kata sebagian orang yang baru keluar rumah, melihat jalan begitu banyak simpang. Dia ragu, mana jalan yang membawanya ke tempat wisata sajak itu? Ibarat induk unggas yang baru bertelur dia ragu apakah yang hendak ia erami adalah benar-benar telur.
Ini sekadarnya, sedikit petunjuk praktis. Ada kalimat yang bukan sajak yang sudah sangat dikenal. Kalimat itu berbunyi:
Penyair yang matasajaknya terlatih, melihat kalimat itu sebagai telur sajak yang baik. Kalimat bukan sajak ini bisa dierami dan ditetaskan menjadi sajak. Penyair bisa mengutak-atiknya menjadi sajak. Utak-atik itu bisa berhasil, bisa gagal. Penyair, misalnya, boleh membiarkan kalimat itu begitu saja, tapi ia beri judul yang unik agar judul dan kalimat yang lantas menjadi baris dan bait itu menjelma jasi sajak. Misalnya begini:
atau begini:
Lihatlah, dengan jurus sederhana permainan judul, bait yang bukan sajak itu bisa menjelma jadi sajak yang tiba-tiba saja menawarkan makna yang berbeda. Kalimat itu tidak lagi sekedar peringatan yang tertulis di poster atau pelang yang dibuat dinas kebersihan agar orang tidak mengotori lingkungan. Lantas apakah dua sajak itu adalah sajak yan gbaik? Belum tentu. tapi, ia sah sebagai sebuah sajak.
Penyair lain bisa juga memakai jurus lain untuk mengolah kalimat itu menjadi sajak. Misalnya begini:
Nah, pada sajak baru ini, orang pembaca masih bisa meraba dari mana gerangan kalimat itu berasal. Penyair sudah mempertontonkan bagaimana pemilihan kata, atau diksi telah mengubah total makna kalimat itu menjadi tidak sederhana lagi. Ia bukan lagi peringatan agar orang tertib membuang sampah. Ia menjadi beremosi. Ia menjadi bertenaga. Ia menjadi semacam peringatan yang lain. Ia meluas. Tetapi apakah ia menjadi sajak yang baik? Belum tentu. Tapi, ia sah sebagai sebuah sajak.
Penyair lain mungkin akan mengolah kalimat itu menjadi sajak lain. Misalnya begini:
Penyair lain mungkin akan menyusun bait berikut:
atau begini:
Tetapi, sekali lagi, apakah sajak-sajak itu adalah sajak yang berhasil? Tentu saja bisa dianalisa macam-macam. Sajak-sajak itu masing-masing meniti di jembatan yang berujung pada kompleksitas dan keutuhannya masing-masing. Ada yang rumit, ada utuh. Ada yang terukur pas di tengah-tengah kedua ujung itu. Ada pula yang jatuh ke bawah jembatan tak sempat meniti ke mana-mana.
Begitulah. Sajak yang jatuh, akan menghempaskan telur-telur sajak tadi, tanpa sempat dierami apalagi menetas. Sajak yang jatuh tentu tak sempat di antar ke tempat pelancongan dan menikmati leha-leha dan permainan di sana. Begitulah...
Yang harus diketahui oleh pelancong-penyair dan indukunggas-penyair adalah dia benar-benar di jalur yang benar dan dia benar-benar mengerami telur-telur sajak. Nah, itulah yang susah, kata sebagian orang yang baru keluar rumah, melihat jalan begitu banyak simpang. Dia ragu, mana jalan yang membawanya ke tempat wisata sajak itu? Ibarat induk unggas yang baru bertelur dia ragu apakah yang hendak ia erami adalah benar-benar telur.
Ini sekadarnya, sedikit petunjuk praktis. Ada kalimat yang bukan sajak yang sudah sangat dikenal. Kalimat itu berbunyi:
jagalah kebersihan
buanglah sampah
pada tempatnya
Penyair yang matasajaknya terlatih, melihat kalimat itu sebagai telur sajak yang baik. Kalimat bukan sajak ini bisa dierami dan ditetaskan menjadi sajak. Penyair bisa mengutak-atiknya menjadi sajak. Utak-atik itu bisa berhasil, bisa gagal. Penyair, misalnya, boleh membiarkan kalimat itu begitu saja, tapi ia beri judul yang unik agar judul dan kalimat yang lantas menjadi baris dan bait itu menjelma jasi sajak. Misalnya begini:
Malam Pertama
jagalah kebersihan
buanglah sampah
pada tempatnya
atau begini:
Siapa sampahnya?
jagalah kebersihan
buanglah sampah
pada tempatnya
Lihatlah, dengan jurus sederhana permainan judul, bait yang bukan sajak itu bisa menjelma jadi sajak yang tiba-tiba saja menawarkan makna yang berbeda. Kalimat itu tidak lagi sekedar peringatan yang tertulis di poster atau pelang yang dibuat dinas kebersihan agar orang tidak mengotori lingkungan. Lantas apakah dua sajak itu adalah sajak yan gbaik? Belum tentu. tapi, ia sah sebagai sebuah sajak.
Penyair lain bisa juga memakai jurus lain untuk mengolah kalimat itu menjadi sajak. Misalnya begini:
gagallah keberhasilan
buanglah sumpah
pada tempatnya
Nah, pada sajak baru ini, orang pembaca masih bisa meraba dari mana gerangan kalimat itu berasal. Penyair sudah mempertontonkan bagaimana pemilihan kata, atau diksi telah mengubah total makna kalimat itu menjadi tidak sederhana lagi. Ia bukan lagi peringatan agar orang tertib membuang sampah. Ia menjadi beremosi. Ia menjadi bertenaga. Ia menjadi semacam peringatan yang lain. Ia meluas. Tetapi apakah ia menjadi sajak yang baik? Belum tentu. Tapi, ia sah sebagai sebuah sajak.
Penyair lain mungkin akan mengolah kalimat itu menjadi sajak lain. Misalnya begini:
gagahlah kelelakian
semburkan sperma
pada tempatnya!
Penyair lain mungkin akan menyusun bait berikut:
gagaklah kubur kematian
bangkaikan serapah
pada mampatnya!
atau begini:
reguklah keberangkatan
bumbungkan serasah
pada rapatnya!
Tetapi, sekali lagi, apakah sajak-sajak itu adalah sajak yang berhasil? Tentu saja bisa dianalisa macam-macam. Sajak-sajak itu masing-masing meniti di jembatan yang berujung pada kompleksitas dan keutuhannya masing-masing. Ada yang rumit, ada utuh. Ada yang terukur pas di tengah-tengah kedua ujung itu. Ada pula yang jatuh ke bawah jembatan tak sempat meniti ke mana-mana.
Begitulah. Sajak yang jatuh, akan menghempaskan telur-telur sajak tadi, tanpa sempat dierami apalagi menetas. Sajak yang jatuh tentu tak sempat di antar ke tempat pelancongan dan menikmati leha-leha dan permainan di sana. Begitulah...
tetaskanah telur sajakmu
hangatkan ia dalam dekap
dalam eramanmu...
[Ruang Renung # 223] Kirim Kirim Kirim
Ruang sastra di koran-koran minggu adalah berkah bagi penulis cerpen dan puisi. Kirimkanlah karya kita ke sana. Puisi dan cerpen diberi tempat istimewa di halaman sastra surat kabar minggu, lebih istimewa dibandingkan novel. Jika kita selesai menulis novel pilihannya adalah ditawarkan ke penerbit untuk dibukukan atau kita kirim ke surat kabar juga untuk dibuat cerita bersambung. Atau kita sertakan saja ke sebuah lomba. Kesempatan untuk menerbitkan novel di surat kabar tentu langka sekali. Sekali lagi ini berkah untuk cerpen dan puisi.
Tapi berapa besar peluang karya puisi dan cerpen kita dimuat di surat kabar minggu itu? Tergantung seberapanya banyak pengirimnya. Tentu ada persaingan. Semacam lomba juga. Lomba yang pemenangnya diumumkan setiap minggu. Dan itu sehat. Sehat buat kita sebagai pekarya, sehat juga buat dunia sastra pada umumnya. Dari persaingan yang sehat itu tentunya atau seharusnya yang akan terpilih adalah karya-karya yang terbaik.
Tapi berapa besar peluang karya puisi dan cerpen kita dimuat di surat kabar minggu itu? Tergantung seberapanya banyak pengirimnya. Tentu ada persaingan. Semacam lomba juga. Lomba yang pemenangnya diumumkan setiap minggu. Dan itu sehat. Sehat buat kita sebagai pekarya, sehat juga buat dunia sastra pada umumnya. Dari persaingan yang sehat itu tentunya atau seharusnya yang akan terpilih adalah karya-karya yang terbaik.
Celanadalam dan Mawarahasia
"AKU sedang senang mengasuh mawarku," kata kekasihnya.
"Ya, nanti kukirimkan padamu sesuatu yang mawar," katanya.
Tak lama datanglah sebuah paket istimewa. Kekasihnya
terharu membaca pengantar-mesranya dalam kiriman itu:
Pakailah selalu celanadalam bergambar mekar mawar ini.
Agar mawarahasiamu bisa belajar dan tahu pula kapan
saatnya memekar dan menebar aromanya yang wangi itu.
Setelah beberapa waktu menunggu bersama paket istimewa
itu, kekasihnya mengirim kabar beraroma mawarahasianya.
"Mawarahasiaku ingin kamu datang menjemputku. Ia iangin
kau memetiknya dan menciumi wanginya," kata kekasihnya.
"Ya, nanti kukirimkan padamu sesuatu yang mawar," katanya.
Tak lama datanglah sebuah paket istimewa. Kekasihnya
terharu membaca pengantar-mesranya dalam kiriman itu:
Pakailah selalu celanadalam bergambar mekar mawar ini.
Agar mawarahasiamu bisa belajar dan tahu pula kapan
saatnya memekar dan menebar aromanya yang wangi itu.
Setelah beberapa waktu menunggu bersama paket istimewa
itu, kekasihnya mengirim kabar beraroma mawarahasianya.
"Mawarahasiaku ingin kamu datang menjemputku. Ia iangin
kau memetiknya dan menciumi wanginya," kata kekasihnya.
Topeng Celanadalam
SI pemalu itu menutup wajahnya dengan celanadalam.
"Apa yang kau sembunyikan di balik topeng lucu itu?"tanya
burung mungilnya yang tiba-tiba merasa lepas dari sangkar.
"Ssst, burung mungilku, diamlah, aku sedang menyamar jadi
cermin untuk kau yang tak-tahu-malu itu," kata si pemalu.
"Apa yang kau sembunyikan di balik topeng lucu itu?"tanya
burung mungilnya yang tiba-tiba merasa lepas dari sangkar.
"Ssst, burung mungilku, diamlah, aku sedang menyamar jadi
cermin untuk kau yang tak-tahu-malu itu," kata si pemalu.
Sunday, August 12, 2007
Pelayaran Celanadalam
Bertemu di dermaga yang malamnya seperti kekal
: mereka sepasang celanadalam, koyak dan kumal
"Robekmu bagai kukenali. Kita akan saling tambal. "
Mereka pun membentang jadi selembar layar kini,
sisa sesobek mereka jadikan peta. Dan dingin pagi,
mengingatkan agar telanjang itu saling menyelimuti.
: mereka sepasang celanadalam, koyak dan kumal
"Robekmu bagai kukenali. Kita akan saling tambal. "
Mereka pun membentang jadi selembar layar kini,
sisa sesobek mereka jadikan peta. Dan dingin pagi,
mengingatkan agar telanjang itu saling menyelimuti.
Thursday, August 9, 2007
Sayembara Penulisan Karya Sastra
Dewan Kesenian Melayu Riau 2007
Dewan Kesenian Riau (DKR) pada tahun 2007 ini kembali mengadakan lomba penulisan karya sastra. Lomba penulisan karya sastra ini dibuka untuk umum (nasional). Adapun lomba penulisan karya sastra antara lain: Lomba Penulisan Cerpen, Lomba Penulisan Puisi dan Lomba Penulisan Naskah Drama. Menurut ketua Dewan Kesenian Riau, Drs. Edi Ahmad RM, lomba ini merupakan sumbangsih penulis-penulis karya sastra nasional untuk membangun Riau ke depan, untuk mendukung Visi Riau 2020.
Syarat-syarat lomba:
1. Lomba penulisan cerita pendek, puisi dan naskah drama dibuka untuk masyarakat Indonesia yang dibuktikan dengan foto kopi KTP/identitas lainnya yang masih berlaku.
2. Karya ditulis dalam bahasa Indonesia.
3. Tema bebas.
4. Cerita harus asli, bukan saduran, terjemahan dan bukan plagiat.
5. Cerita memperlihatkan upaya penggalian ekspresi dalam kebudayaan Melayu Riau, misalnya melalui bahasa yang digunakan dan latar belakang cerita.
6. Naskah belum pernah dipublikasikan dan tidak sedang diperlombakan dalam sayembara lain.
7. Setiap peserta diperbolehkan mengirim lebih dari 1 (satu) karya.
8. Sayembara dibuka mulai bulan Juli hingga- 9 Oktober 2007.
9. Naskah, kecuali puisi, diketik 2 (dua) spasi dan dikirim 4 (empat) rangkap, 1 (satu) rangkap di antaranya harus asli bukan tindasan.
10. Naskah dikemas dalam amplop tertutup dan bagian kiri atas amplop ditulis jenis sayembara yang diikuti (cerita pendek, puisi atau naskah drama)
11. Naskah dikirim kepada panitia : Panitia Sayembara Penulisan Cerpen, Puisi dan Naskah
Drama, Dewan Kesenian Riau (DKR), Kompleks Bandar Seni Raja Ali Haji (Bandar Serai) Purna MTQ, Jalan Jendral Sudirman, Pekanbaru, Riau. Telepon (0761) 25903.
12. Para pemenang akan diumumkan pada acara puncak pada tanggal 24 Oktober 2007 di Pekanbaru.
13. Naskah pemenang akan diusahakan diterbitkan.
14. Jika dikemudian hari, naskah pemenang sayembara ini diketahui merupakan hasil jiplakan, keputusan juri dapat dianulir oleh DKR yang kemudian melakukan tindakan hukum sebagaimana mestinya.
15. Pemenang setiap jeis lomba dibagi ke dalam:
a. Cerpen :
Pemenang I, uang tunai Rp 5.000.000 + piagam
Pemenang II, uang tunai Rp 4.000.000 + piagam
Pemenang III, uang tunai Rp 3.000.000 + piagam
3 Pemenang Harapan, masing-masing Rp 1.000.000 + piagam
b. Puisi:
Pemenang I, uang tunai Rp 4.000.000 + piagam
Pemenang II, uang tunai Rp 3.000.000 + piagam
Pemenang III, uang tunai Rp2.000.000 + piagam
3 Pemenang Harapan, masing-masing Rp 1.000.000 + piagam
c. Naskah Drama :
Pemenang I, uang tunai Rp 6.000.000 + piagam
Pemenang II, uang tunai Rp 5.000.000 + piagam
Pemenang III, uang tunai Rp 4.000.00 + piagam
3 Pemenang Harapan, masing-masing Rp 2.000.000 + piagam
Syarat khusus:
Penulisan cerpen : panjang cerpen maksimal 20 halaman
Penulisan puisi : panjang puisi antara 1 -5 halaman
Penulisan naskah drama: panjang naskah 20 – 40 halaman
Dewan Kesenian Melayu Riau 2007
Dewan Kesenian Riau (DKR) pada tahun 2007 ini kembali mengadakan lomba penulisan karya sastra. Lomba penulisan karya sastra ini dibuka untuk umum (nasional). Adapun lomba penulisan karya sastra antara lain: Lomba Penulisan Cerpen, Lomba Penulisan Puisi dan Lomba Penulisan Naskah Drama. Menurut ketua Dewan Kesenian Riau, Drs. Edi Ahmad RM, lomba ini merupakan sumbangsih penulis-penulis karya sastra nasional untuk membangun Riau ke depan, untuk mendukung Visi Riau 2020.
Syarat-syarat lomba:
1. Lomba penulisan cerita pendek, puisi dan naskah drama dibuka untuk masyarakat Indonesia yang dibuktikan dengan foto kopi KTP/identitas lainnya yang masih berlaku.
2. Karya ditulis dalam bahasa Indonesia.
3. Tema bebas.
4. Cerita harus asli, bukan saduran, terjemahan dan bukan plagiat.
5. Cerita memperlihatkan upaya penggalian ekspresi dalam kebudayaan Melayu Riau, misalnya melalui bahasa yang digunakan dan latar belakang cerita.
6. Naskah belum pernah dipublikasikan dan tidak sedang diperlombakan dalam sayembara lain.
7. Setiap peserta diperbolehkan mengirim lebih dari 1 (satu) karya.
8. Sayembara dibuka mulai bulan Juli hingga- 9 Oktober 2007.
9. Naskah, kecuali puisi, diketik 2 (dua) spasi dan dikirim 4 (empat) rangkap, 1 (satu) rangkap di antaranya harus asli bukan tindasan.
10. Naskah dikemas dalam amplop tertutup dan bagian kiri atas amplop ditulis jenis sayembara yang diikuti (cerita pendek, puisi atau naskah drama)
11. Naskah dikirim kepada panitia : Panitia Sayembara Penulisan Cerpen, Puisi dan Naskah
Drama, Dewan Kesenian Riau (DKR), Kompleks Bandar Seni Raja Ali Haji (Bandar Serai) Purna MTQ, Jalan Jendral Sudirman, Pekanbaru, Riau. Telepon (0761) 25903.
12. Para pemenang akan diumumkan pada acara puncak pada tanggal 24 Oktober 2007 di Pekanbaru.
13. Naskah pemenang akan diusahakan diterbitkan.
14. Jika dikemudian hari, naskah pemenang sayembara ini diketahui merupakan hasil jiplakan, keputusan juri dapat dianulir oleh DKR yang kemudian melakukan tindakan hukum sebagaimana mestinya.
15. Pemenang setiap jeis lomba dibagi ke dalam:
a. Cerpen :
Pemenang I, uang tunai Rp 5.000.000 + piagam
Pemenang II, uang tunai Rp 4.000.000 + piagam
Pemenang III, uang tunai Rp 3.000.000 + piagam
3 Pemenang Harapan, masing-masing Rp 1.000.000 + piagam
b. Puisi:
Pemenang I, uang tunai Rp 4.000.000 + piagam
Pemenang II, uang tunai Rp 3.000.000 + piagam
Pemenang III, uang tunai Rp2.000.000 + piagam
3 Pemenang Harapan, masing-masing Rp 1.000.000 + piagam
c. Naskah Drama :
Pemenang I, uang tunai Rp 6.000.000 + piagam
Pemenang II, uang tunai Rp 5.000.000 + piagam
Pemenang III, uang tunai Rp 4.000.00 + piagam
3 Pemenang Harapan, masing-masing Rp 2.000.000 + piagam
Syarat khusus:
Penulisan cerpen : panjang cerpen maksimal 20 halaman
Penulisan puisi : panjang puisi antara 1 -5 halaman
Penulisan naskah drama: panjang naskah 20 – 40 halaman
Sayembara Celanadalam
/1/
PANGERAN tampan kehilangan celanadalam
maka digelarlah sayembara berhadiah istimewa:
PEREMPUAN YANG BISA MENEMUKAN
AKAN DISUNTING JADI PERMAISURI!
Lalu datanglah perempuan dari seluruh negeri,
mengaku menemukan celanadalam malang itu.
"Sudah seribu satu celanadalam diperiksa, Tuan,
semuanya palsu dan hanya mengaku-ngaku."
"Tunggulah dulu, teruskan saja sayembaranya,
saya yakin akan ada seseorang yang jujur yang
datang dengan celanadalam kebanggaan saya,"
kata pangeran dalam sidang para penasihatnya.
/2/
DI sebuah binatu, jauh di luar kota, ada sebuah
celanadalam dengan lambang resmi kerajaan.
"Aku menemukannya di tepi hutan. Mungkin
ada pangeran yang berburu, dan kececeran,"
kata anak gadis kepada ibunya, si tukang binatu.
"Simpanlah. Siapa tahu, bisa mengubah nasibmu,"
kata ibu binatu.
Celanadalam itu disimpan si gadis di bawah bantalnya.
Tiap malam ia bermimpi bertemu dengan pangeran.
Si pangeran lantas melamarnya, mereka pun hidup
berbahagia selama-lamanya, mereka pun bergantian
memakai celanadalam yang mempertemukan mereka.
PANGERAN tampan kehilangan celanadalam
maka digelarlah sayembara berhadiah istimewa:
PEREMPUAN YANG BISA MENEMUKAN
AKAN DISUNTING JADI PERMAISURI!
Lalu datanglah perempuan dari seluruh negeri,
mengaku menemukan celanadalam malang itu.
"Sudah seribu satu celanadalam diperiksa, Tuan,
semuanya palsu dan hanya mengaku-ngaku."
"Tunggulah dulu, teruskan saja sayembaranya,
saya yakin akan ada seseorang yang jujur yang
datang dengan celanadalam kebanggaan saya,"
kata pangeran dalam sidang para penasihatnya.
/2/
DI sebuah binatu, jauh di luar kota, ada sebuah
celanadalam dengan lambang resmi kerajaan.
"Aku menemukannya di tepi hutan. Mungkin
ada pangeran yang berburu, dan kececeran,"
kata anak gadis kepada ibunya, si tukang binatu.
"Simpanlah. Siapa tahu, bisa mengubah nasibmu,"
kata ibu binatu.
Celanadalam itu disimpan si gadis di bawah bantalnya.
Tiap malam ia bermimpi bertemu dengan pangeran.
Si pangeran lantas melamarnya, mereka pun hidup
berbahagia selama-lamanya, mereka pun bergantian
memakai celanadalam yang mempertemukan mereka.
Celanadalam Buronan
DIA sudah jelajahi seluruh panjang tali jemuran, tapi
belum juga berhasil menangkap celanadalam buronan yang
kabur dari tugasnya, waktu dia lengah melepaskannya.
Suatu hari, di sebuah pekarangan, dia bertemu dengan
perempuan yang sedang menjemur celanadalam berbunga.
Dia lalu membayangkan, di jemuran itu buronannya akan
betah berdiam, berkibar riang di sebelah si bunga-bunga.
Catatan:
Saya melihat, dia disuruh lihat foto-foto jemuran lalu disuruh bikin sajak, saya pun merasa tersuruh bikin sajak.
belum juga berhasil menangkap celanadalam buronan yang
kabur dari tugasnya, waktu dia lengah melepaskannya.
Suatu hari, di sebuah pekarangan, dia bertemu dengan
perempuan yang sedang menjemur celanadalam berbunga.
Dia lalu membayangkan, di jemuran itu buronannya akan
betah berdiam, berkibar riang di sebelah si bunga-bunga.
Catatan:
Saya melihat, dia disuruh lihat foto-foto jemuran lalu disuruh bikin sajak, saya pun merasa tersuruh bikin sajak.
Celanadalam Merahmuda
/1/
"TEMANI aku besok pagi ya," kata perempuan
kepada lelaki, yang sedang gencar didekatinya,
"aku mau mencari celanadalam merahmuda."
Mendapat ajakan yang mendadak itu, si lelaki
kaget juga. "Apa? Celanadalam merahmuda?"
"Ya, kenapa? Kamu gak suka ya? Asal tahu saja
aku ini kolektor celanadalam. Tapi, warna
favoritku tetap saja merahmuda. Sesuai dengan
warna... ah malu aku mengatakannya," kata
perempuan itu.
Sebagai lelaki yang kurang pengalaman dan
terbatas pengetahuan soal perempuan, lelaki
itu amat penasaran, warna apakah yang sesuai
dengan celanadalam merahmuda itu, yang malu
dikatakan oleh si perempuan. "Warna apa ya?"
tanyanya berulang, hingga tak tidur semalaman,
sesudah mengantar pulang si perempuan.
Sampai dia terlelap pagi hari, dan dapat mimpi
yang basah sekali. "Huh, mimpi kok gelap amat,
kalau terang sedikit saja aku bisa mencocokkan
warnanya," kata si lelaki bergegas ke kamar mandi
teringat janji dengan si perempuan merahmuda.
/2/
DIA sudah perpakaian rapi, pakai sarung dan dasi,
siap menjemput si perempuan sesuai dengan janji.
Tapi, tiba-tiba telepon genggamnya berbunyi.
Ada SMS rupanya, dari si perempuan itu rupanya:
"Kau tak usah datang ke sini lagi. Aku sudah punya
celana dalam merahmuda, sesorang memberiku
semalam, setelah kami cocokkan, warnanya pas sekali
dengan warna ... ah aku tak perlu mengatakannya."
"TEMANI aku besok pagi ya," kata perempuan
kepada lelaki, yang sedang gencar didekatinya,
"aku mau mencari celanadalam merahmuda."
Mendapat ajakan yang mendadak itu, si lelaki
kaget juga. "Apa? Celanadalam merahmuda?"
"Ya, kenapa? Kamu gak suka ya? Asal tahu saja
aku ini kolektor celanadalam. Tapi, warna
favoritku tetap saja merahmuda. Sesuai dengan
warna... ah malu aku mengatakannya," kata
perempuan itu.
Sebagai lelaki yang kurang pengalaman dan
terbatas pengetahuan soal perempuan, lelaki
itu amat penasaran, warna apakah yang sesuai
dengan celanadalam merahmuda itu, yang malu
dikatakan oleh si perempuan. "Warna apa ya?"
tanyanya berulang, hingga tak tidur semalaman,
sesudah mengantar pulang si perempuan.
Sampai dia terlelap pagi hari, dan dapat mimpi
yang basah sekali. "Huh, mimpi kok gelap amat,
kalau terang sedikit saja aku bisa mencocokkan
warnanya," kata si lelaki bergegas ke kamar mandi
teringat janji dengan si perempuan merahmuda.
/2/
DIA sudah perpakaian rapi, pakai sarung dan dasi,
siap menjemput si perempuan sesuai dengan janji.
Tapi, tiba-tiba telepon genggamnya berbunyi.
Ada SMS rupanya, dari si perempuan itu rupanya:
"Kau tak usah datang ke sini lagi. Aku sudah punya
celana dalam merahmuda, sesorang memberiku
semalam, setelah kami cocokkan, warnanya pas sekali
dengan warna ... ah aku tak perlu mengatakannya."
Kehilangan Celanadalam Hitam
DIA kehilangan celanadalam kesayangannya.
Dia lantas pasang iklan di koran poskota:
PULANGLAH HAI CELANADALAM HITAM
KAMI MERINDUKANMU SIANG & MALAM
Tengah malam rama sekali suara ketukan
di pintu kamarnya. "Permisi, kami mau
pulang, kami juga rindu padamu," kata
beberapa celanadalam. Mereka semua hitam.
Girang sekali dia. Semua celanadalam itu
dipersilahkannya langsung masuk ke kamar.
Keesokan harinya, di halamannya tampak
pemandangan yang tidak biasa: jemurannya
penuh dengan celanadalam hitam yang bersinar
cerlang cemerlang. Dan di selokan di depan
itu mengalir air cucian: warnanya merah,
dan berbau campursari aroma sabun dan darah.
Dia lantas pasang iklan di koran poskota:
PULANGLAH HAI CELANADALAM HITAM
KAMI MERINDUKANMU SIANG & MALAM
Tengah malam rama sekali suara ketukan
di pintu kamarnya. "Permisi, kami mau
pulang, kami juga rindu padamu," kata
beberapa celanadalam. Mereka semua hitam.
Girang sekali dia. Semua celanadalam itu
dipersilahkannya langsung masuk ke kamar.
Keesokan harinya, di halamannya tampak
pemandangan yang tidak biasa: jemurannya
penuh dengan celanadalam hitam yang bersinar
cerlang cemerlang. Dan di selokan di depan
itu mengalir air cucian: warnanya merah,
dan berbau campursari aroma sabun dan darah.
Celanadalam Malam
/1/
AKU janjian pertemuan kencan dengan malamku.
"Jangan pakai celanadalam, ya..." pinta malam.
Aku penuhi permintaannya. Tanpa celanadalam,
dingin malam leluasa meraba seluruh tubuhku,
juga bagian yang harusnya kucelanadalami itu.
"Aku punya celanadalam untukmu," kata malamku.
Lantas disodorkannya benda ajaib, bentuknya gaib.
"Pakailah, semoga membuatmu tenteram sejahtera,
dan semoga ia bisa selalu mengingatkanmu padaku.
"Wah, enak sekali ya. Apa yang tadi dingin tiba-tiba
jadi hangat. Terima kasih, malamku," kataku.
/2/
PAGI hari aku terbangun. Tanpa celanadalam.
Walau dingin malam tersisa. Hangat itu masih ada.
AKU janjian pertemuan kencan dengan malamku.
"Jangan pakai celanadalam, ya..." pinta malam.
Aku penuhi permintaannya. Tanpa celanadalam,
dingin malam leluasa meraba seluruh tubuhku,
juga bagian yang harusnya kucelanadalami itu.
"Aku punya celanadalam untukmu," kata malamku.
Lantas disodorkannya benda ajaib, bentuknya gaib.
"Pakailah, semoga membuatmu tenteram sejahtera,
dan semoga ia bisa selalu mengingatkanmu padaku.
"Wah, enak sekali ya. Apa yang tadi dingin tiba-tiba
jadi hangat. Terima kasih, malamku," kataku.
/2/
PAGI hari aku terbangun. Tanpa celanadalam.
Walau dingin malam tersisa. Hangat itu masih ada.
Celanadalam Gubernur
/1/
DUA celanadalam bertarung habis-habisan.
Celanadalam pertama didukung oleh satu partai
Celanadalam kedua diusung oleh banyak partai
"Ah, kau beraninya cuma keroyokan," kata
kandidat gubernur celanadalam pertama.
"Ah, kau egois, maunya menang sendirian,"
kata calon gubernur celanadalam kedua.
/2/
PADA hari pencoblosan, seorang lelaki
tanpa celanadalam membawa kertas suara
ke tempat pencoblosan celana eh suara.
"Ingat coblos celanadalam yang ada kumisnya,"
pesan selebaran yang diseludupkan ke pintunya.
"Jangan lupa coblos celanadalam yang polos saja,"
kata bujukrayuan yang diselipkan di jendelanya.
Lama sekali lelaki itu berada di bilik suara.
"Mungkin dia sedang teringat malam pertama,"
kata panitia pengawas pemungutan suara.
/3/
LELAKI itu akhirnya keluar juga. Wajahnya ceria.
"Mana surat suaranya?" kata petugas Pilceldam.
"Maaf, keduanya sudah saya pakai, tadi ke sini
saya lupa pakai celanadalam. Dan suasana di dalam
tadi mengingatkan saya pada WC umum. Habis buang
hajat kita harus pakai celanadalam, bukan?"
DUA celanadalam bertarung habis-habisan.
Celanadalam pertama didukung oleh satu partai
Celanadalam kedua diusung oleh banyak partai
"Ah, kau beraninya cuma keroyokan," kata
kandidat gubernur celanadalam pertama.
"Ah, kau egois, maunya menang sendirian,"
kata calon gubernur celanadalam kedua.
/2/
PADA hari pencoblosan, seorang lelaki
tanpa celanadalam membawa kertas suara
ke tempat pencoblosan celana eh suara.
"Ingat coblos celanadalam yang ada kumisnya,"
pesan selebaran yang diseludupkan ke pintunya.
"Jangan lupa coblos celanadalam yang polos saja,"
kata bujukrayuan yang diselipkan di jendelanya.
Lama sekali lelaki itu berada di bilik suara.
"Mungkin dia sedang teringat malam pertama,"
kata panitia pengawas pemungutan suara.
/3/
LELAKI itu akhirnya keluar juga. Wajahnya ceria.
"Mana surat suaranya?" kata petugas Pilceldam.
"Maaf, keduanya sudah saya pakai, tadi ke sini
saya lupa pakai celanadalam. Dan suasana di dalam
tadi mengingatkan saya pada WC umum. Habis buang
hajat kita harus pakai celanadalam, bukan?"
Tuesday, August 7, 2007
Pernyataan Sikap atas Pembakaran Buku Sejarah
"Where books are burned, human beings are destined to be burned too..."*
-- Heinrich Heine
Pada 20 Juli lalu, Kejaksaan Negeri Depok membakar 1.247 buku sejarah, bahan pelajaran sekolah menengah pertama dan atas, karya guru-guru sejarah. Pembakaran ini dilakukan Kepala Kejaksaan Negeri Bambang Bachtiar, Kepala Dinas Pendidikan Asep Roswanda dan Walikota Nurmahmudi Ismail.
Penyitaan maupun pembakaran buku-buku sejarah ini juga terjadi di Bogor, Indramayu, Kendari, Kuningan, Kupang, Pontianak, Purwakarta dan kota-kota lain di Indonesia. Dasar hukumnya, menurut para jaksa, adalah keputusan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh pada Maret 2007 dimana Kejaksaan Agung melarang buku-buku itu yang dibuat dengan dasar kurikulum pendidikan tahun 2004. Mereka dituduh tak mencantumkan kata “PKI” dalam menerangkan Gerakan 30 September 1965. Penelitian terhadap isi buku-buku sejarah itu dilakukan Kejaksaan Agung atas permintaan Menteri Pendidikan Bambang Sudibyo.
Kami prihatin menyaksikan peristiwa ini. Pembakaran buku ini mengingatkan kami pada pembakaran buku-buku yang dilakukan di Berlin dan berbagai kota lain di Jerman pada Mei 1933. Ketika itu, sambil menyanyikan lagu-lagu Nazi, para pendukung Adolf Hitler tersebut menghanguskan buku-buku karya Sigmund Freud, Albert Einstein, Thomas Mann, Jack London, HG Wells serta berbagai penulis lain. Buku-buku itu dianggap musuh Nazisme.
Kami menyayangkan peristiwa pelarangan dan pembakaran buku ini, yang bukan pertama kali terjadi di Indonesia. Membakar dan merusak buku, dengan dalih apapun, merupakan tindakan yang lebih berbahaya dan lebih biadab daripada sensor atau pelarangan.
Kami belum tentu setuju dengan isi dari buku-buku itu. Namun kami tidak setuju pembakaran. Sulit untuk tak menyamakan pembakaran buku-buku ini dengan apa yang telah dilakukan kaum Nazi. Sulit juga bagi kami untuk menyamakan tindakan pembakaran ini dengan semangat fasisme, yang anti demokrasi dan anti hak asasi manusia.
Pembakaran buku menunjukkan bahwa pelaku pembakaran tak dapat menerima perbedaan pandangan, sesuatu yang niscaya dalam demokrasi. Lebih dari itu, pembakaran buku juga merupakan bentuk teror, tindakan menakut-nakuti bagi orang yang hendak menulis buku, dalam perspektif yang berbeda dengan penguasa.
Membakar buku merupakan tindakan kaum fasis yang tak pernah toleran kepada pendapat lain. Benito Mussolini, tokoh Itali yang memperkenalkan fasisme, merangkan bahwa fasisme adalah segala sesuatu untuk memerangi sistem dan ideologi demokrasi, serta melawannya dalam aras teori maupun praktek.**
Oleh karena itu, atas dasar akal sehat dan demokrasi, kami menyatakan:
PERTAMA, menuntut permintaan maaf secara terbuka para pelaku pembakaran buku sejarah di Depok dan kota-kota lain, atas tindakannya yang bertentangan dengan sila kedua dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
KEDUA, menuntut kepada pemerintah di semua tingkatan, terutama jajaran kejaksaan, untuk tak lagi menyikapi perbedaan pendapat dengan teror dan tindakan menakut-nakuti atau membakar buku -- melainkan dengan membuka dialog ataupun debat publik secara terbuka demi melindungi demokrasi.
KETIGA, menuntut dihentikannya tindakan pelarangan buku atas alasan apapun. Bila terdapat perbedaan pandangan yang diwakili sebuah buku, hendaknya dijawab dengan menerbitkan buku baru yang mencerminkan pandangan yang berbeda -- bukan dengan larangan.
Demikian pernyataan kami. Semoga demokrasi di negeri ini tetap abadi.
LAWAN FASISME, REBUT DEMOKRASI!
Jakarta, 7 Agustus 2007
Masyarakat Pencinta Buku Dan Demokrasi**
Abdul Malik (aktivis Garda Kemerdekaan)
Abdullah Alamudi (Dewan Pers)
Abdurrahman Wahid (mantan presiden Republik Indonesia)
Agus Suwage (pelukis tinggal di Jogjakarta)
Ahmad Taufik (wartawan majalah Tempo, seorang deklarator Aliansi Jurnalis Independen)
Alex Asriyandi Mering (wartawan, Borneo Tribune di Pontianak)
Amalia Pulungan (aktivis Institute Global Justice)
Andreas Harsono (wartawan, ketua Yayasan Pantau)
Andy Budiman (wartawan SCTV)
Anick H.T. (Jaringan Islam Liberal)
Asvi Marwan Adam (sejarahwan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)
Ayu Utami (novelis “Saman” dan “Larung”)
Bonnie Triyana (sejarahwan, Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah)
Budi Setiyono (sejarahwan, Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah)
Daniel Dhakidae (penulis “Cendekiawan dan Kekuasaan dalam negara Orde Baru”)
Eva Danayanti (direktur eksekutif Yayasan Pantau)
Eva Sundari (anggota DPR, Fraksi PDI-Perjuangan)
Fadjroel Rahman (kolumnis harian Kompas)
Faisal Basri (ekonom)
Franz Magnis Suseno (dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara)
Ganjar Pranowo (sekretaris Fraksi PDI-Perjuangan DPR)
Garda Sembiring (People's Empowerment Consortium)
Garin Nugroho (sutradara)
Goenawan Mohamad (kolumnis “Catatan Pinggir” majalah Tempo)
Hamid Basyaib (Freedom Institute)
Imam Syuja (anggota DPR dari Partai Amanat Nasional, Banda Aceh)
Linda Christanty (penulis “Kuda Terbang Mario Pinto”, pemimpin redaksi sindikasi Pantau)
Lutfhi Assyaukanie (Universitas Paramadina)
M. Ridha Saleh (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia)
Marco Kusumawijaya (ketua Dewan Kesenian Jakarta)
Melani Budianta (dosen Universitas Indonesia)
Mira Lesmana (sutradara)
Mohamad Guntur Romli
(Teater Utan Kayu)
Muhlis Suhaeri (penulis, tinggal di Pontianak)
Musda Mulia (direktur Indonesian Conference on Religion and Peace)
Nong Darol Mahmada (Jaringan Islam Liberal)
Nurani Soyomukti (aktivis Yayasan Komunitas Taman Katakata, Jakarta)
Riri Riza (sutradara)
Rizal Mallarangeng (Freedom Institute)
Rosiana Silalahi (direktur pemberitaan SCTV)
Santoso (direktur Kantor Berita Radio 68H)
Sapariah Saturi-Harsono (wartawan, Ikatan Perempuan Pelaku Media)
Setya Darma Aji (ketua Ikatan Penerbit Buku Indonesia)
Siti Nurrofiqoh (ketua Serikat Buruh Bangkit Tangerang)
Syafii Maarif (ulama, Muhammadiyah)
Saiful Mujani (Lembaga Survei Indonesia)
Syamsudin Harris (peneliti, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)
Titarubi (perupa, tinggal di Jogjakarta)
Todung Mulya Lubis (pengacara)
Ucu Agustin (novelis)
Ulil Abshar Abdalla (Jaringan Islam Liberal, mahasiswa Universitas Harvard)
Wandy N. Tuturoong (Komunitas Utan Kayu)
Yeni Rosa Damayanti (Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika)
Siti Maemunah (Jaringan Advokasi Pertambangan)
Subro (aktivis Madura, Sekolah Mitra Masyarakat di Pontianak)
INFORMASI MEDIA:
Wandy N. Tuturoong
binyo@mail.minihub.org
+815 86005815
Mohamad Guntur Romli
mgromli@yahoo.com
+815 13191313
-- Heinrich Heine
Pada 20 Juli lalu, Kejaksaan Negeri Depok membakar 1.247 buku sejarah, bahan pelajaran sekolah menengah pertama dan atas, karya guru-guru sejarah. Pembakaran ini dilakukan Kepala Kejaksaan Negeri Bambang Bachtiar, Kepala Dinas Pendidikan Asep Roswanda dan Walikota Nurmahmudi Ismail.
Penyitaan maupun pembakaran buku-buku sejarah ini juga terjadi di Bogor, Indramayu, Kendari, Kuningan, Kupang, Pontianak, Purwakarta dan kota-kota lain di Indonesia. Dasar hukumnya, menurut para jaksa, adalah keputusan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh pada Maret 2007 dimana Kejaksaan Agung melarang buku-buku itu yang dibuat dengan dasar kurikulum pendidikan tahun 2004. Mereka dituduh tak mencantumkan kata “PKI” dalam menerangkan Gerakan 30 September 1965. Penelitian terhadap isi buku-buku sejarah itu dilakukan Kejaksaan Agung atas permintaan Menteri Pendidikan Bambang Sudibyo.
Kami prihatin menyaksikan peristiwa ini. Pembakaran buku ini mengingatkan kami pada pembakaran buku-buku yang dilakukan di Berlin dan berbagai kota lain di Jerman pada Mei 1933. Ketika itu, sambil menyanyikan lagu-lagu Nazi, para pendukung Adolf Hitler tersebut menghanguskan buku-buku karya Sigmund Freud, Albert Einstein, Thomas Mann, Jack London, HG Wells serta berbagai penulis lain. Buku-buku itu dianggap musuh Nazisme.
Kami menyayangkan peristiwa pelarangan dan pembakaran buku ini, yang bukan pertama kali terjadi di Indonesia. Membakar dan merusak buku, dengan dalih apapun, merupakan tindakan yang lebih berbahaya dan lebih biadab daripada sensor atau pelarangan.
Kami belum tentu setuju dengan isi dari buku-buku itu. Namun kami tidak setuju pembakaran. Sulit untuk tak menyamakan pembakaran buku-buku ini dengan apa yang telah dilakukan kaum Nazi. Sulit juga bagi kami untuk menyamakan tindakan pembakaran ini dengan semangat fasisme, yang anti demokrasi dan anti hak asasi manusia.
Pembakaran buku menunjukkan bahwa pelaku pembakaran tak dapat menerima perbedaan pandangan, sesuatu yang niscaya dalam demokrasi. Lebih dari itu, pembakaran buku juga merupakan bentuk teror, tindakan menakut-nakuti bagi orang yang hendak menulis buku, dalam perspektif yang berbeda dengan penguasa.
Membakar buku merupakan tindakan kaum fasis yang tak pernah toleran kepada pendapat lain. Benito Mussolini, tokoh Itali yang memperkenalkan fasisme, merangkan bahwa fasisme adalah segala sesuatu untuk memerangi sistem dan ideologi demokrasi, serta melawannya dalam aras teori maupun praktek.**
Oleh karena itu, atas dasar akal sehat dan demokrasi, kami menyatakan:
PERTAMA, menuntut permintaan maaf secara terbuka para pelaku pembakaran buku sejarah di Depok dan kota-kota lain, atas tindakannya yang bertentangan dengan sila kedua dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
KEDUA, menuntut kepada pemerintah di semua tingkatan, terutama jajaran kejaksaan, untuk tak lagi menyikapi perbedaan pendapat dengan teror dan tindakan menakut-nakuti atau membakar buku -- melainkan dengan membuka dialog ataupun debat publik secara terbuka demi melindungi demokrasi.
KETIGA, menuntut dihentikannya tindakan pelarangan buku atas alasan apapun. Bila terdapat perbedaan pandangan yang diwakili sebuah buku, hendaknya dijawab dengan menerbitkan buku baru yang mencerminkan pandangan yang berbeda -- bukan dengan larangan.
Demikian pernyataan kami. Semoga demokrasi di negeri ini tetap abadi.
LAWAN FASISME, REBUT DEMOKRASI!
Jakarta, 7 Agustus 2007
Masyarakat Pencinta Buku Dan Demokrasi**
Abdul Malik (aktivis Garda Kemerdekaan)
Abdullah Alamudi (Dewan Pers)
Abdurrahman Wahid (mantan presiden Republik Indonesia)
Agus Suwage (pelukis tinggal di Jogjakarta)
Ahmad Taufik (wartawan majalah Tempo, seorang deklarator Aliansi Jurnalis Independen)
Alex Asriyandi Mering (wartawan, Borneo Tribune di Pontianak)
Amalia Pulungan (aktivis Institute Global Justice)
Andreas Harsono (wartawan, ketua Yayasan Pantau)
Andy Budiman (wartawan SCTV)
Anick H.T. (Jaringan Islam Liberal)
Asvi Marwan Adam (sejarahwan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)
Ayu Utami (novelis “Saman” dan “Larung”)
Bonnie Triyana (sejarahwan, Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah)
Budi Setiyono (sejarahwan, Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah)
Daniel Dhakidae (penulis “Cendekiawan dan Kekuasaan dalam negara Orde Baru”)
Eva Danayanti (direktur eksekutif Yayasan Pantau)
Eva Sundari (anggota DPR, Fraksi PDI-Perjuangan)
Fadjroel Rahman (kolumnis harian Kompas)
Faisal Basri (ekonom)
Franz Magnis Suseno (dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara)
Ganjar Pranowo (sekretaris Fraksi PDI-Perjuangan DPR)
Garda Sembiring (People's Empowerment Consortium)
Garin Nugroho (sutradara)
Goenawan Mohamad (kolumnis “Catatan Pinggir” majalah Tempo)
Hamid Basyaib (Freedom Institute)
Imam Syuja (anggota DPR dari Partai Amanat Nasional, Banda Aceh)
Linda Christanty (penulis “Kuda Terbang Mario Pinto”, pemimpin redaksi sindikasi Pantau)
Lutfhi Assyaukanie (Universitas Paramadina)
M. Ridha Saleh (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia)
Marco Kusumawijaya (ketua Dewan Kesenian Jakarta)
Melani Budianta (dosen Universitas Indonesia)
Mira Lesmana (sutradara)
Mohamad Guntur Romli
(Teater Utan Kayu)
Muhlis Suhaeri (penulis, tinggal di Pontianak)
Musda Mulia (direktur Indonesian Conference on Religion and Peace)
Nong Darol Mahmada (Jaringan Islam Liberal)
Nurani Soyomukti (aktivis Yayasan Komunitas Taman Katakata, Jakarta)
Riri Riza (sutradara)
Rizal Mallarangeng (Freedom Institute)
Rosiana Silalahi (direktur pemberitaan SCTV)
Santoso (direktur Kantor Berita Radio 68H)
Sapariah Saturi-Harsono (wartawan, Ikatan Perempuan Pelaku Media)
Setya Darma Aji (ketua Ikatan Penerbit Buku Indonesia)
Siti Nurrofiqoh (ketua Serikat Buruh Bangkit Tangerang)
Syafii Maarif (ulama, Muhammadiyah)
Saiful Mujani (Lembaga Survei Indonesia)
Syamsudin Harris (peneliti, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)
Titarubi (perupa, tinggal di Jogjakarta)
Todung Mulya Lubis (pengacara)
Ucu Agustin (novelis)
Ulil Abshar Abdalla (Jaringan Islam Liberal, mahasiswa Universitas Harvard)
Wandy N. Tuturoong (Komunitas Utan Kayu)
Yeni Rosa Damayanti (Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika)
Siti Maemunah (Jaringan Advokasi Pertambangan)
Subro (aktivis Madura, Sekolah Mitra Masyarakat di Pontianak)
INFORMASI MEDIA:
Wandy N. Tuturoong
binyo@mail.minihub.org
+815 86005815
Mohamad Guntur Romli
mgromli@yahoo.com
+815 13191313
Menimbang Wiji Thukul: Sajak Melawan Kebisuan (1)
Oleh Hasan Aspahani
Sikapnya: Belajar Itu Mutlak
PENYAIR, kata Wiji Thukul dalam pengantar buku kumpulan sajak lengkapnya "Aku Ingin Jadi Peluru" (Indonesiatera, Cet. I 2000, Cet. II 2004), harus berjiwa bebas dan aktif. Bebas mencari kebenaran. Aktif mempertanyakan kembali kebenaran yang pernah diyakininya.
Sampai pada kutipan itu saja, saya sudah harus membuka dan angkat topi bagi kepenyairannya. Thukul mengajarkan sikap tawaduk, rendah hati, dan menjauh dari kesan anarkis yang banyak dilekatkan padanya mengingat dia adalah seorang yang kerap berada di tengah pusaran badai perlawanan gerakan buruh.
Penyair ini di tengah kerepotan dan kepungan kepentingan untuk mempertahankan hidupnya dan keluarganya, tetaplah penyair yang rindu pada kebenaran, sesuatu yang nyata ada tetapi selalu abstrak itu. Kebenaran yang dicari dan ditemukan oleh jiwa yang bebas. Tetapi, di sinilah ironiknya, dan disitu juga ketinggian pencapaian sikap Thukul terbaca: Ia sadar tidak ada kebenaran yang mutlak, kecuali milik Tuhan.
Maka, penyair harus aktif. Aktif mempertanyakan kembali kebenaran yang pernah ditemukan, dipegang dan diyakininya. Dengan kata lain, si penyair, harus meragukan lagi apa yang pernah diyakininya.
Barangkali, Wiji Thukul mencomot dengan main-main kalimat 'bebas dan aktif' itu dari kata-kata populer kebijakan luar negeri Indonesia yang dulu pernah sangat sering diucapkan oleh petinggi negeri ini. Tetapi, menurut saya, dia sungguh-sungguh mengangkatnya menjadi sikap dan landasan kreatif kepenyairannya.
Agar bisa bebas dan aktif, ujarnya, penyair harus terus-menerus belajar - kelak bisa kita lihat jejak-jejak Thukul belajar di dalam sajak-sajaknya. Belajar itu mutlak, katanya. Penyair, ujar Thukul yang tak tamat Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) jurusan tari ini, harus memperluas wawasan dan cakrawala pemikiran. Kenapa? Karena hal itu menunjang kebebasan jiwanya dalam berkarya.
Sajaknya: Melawan Kebisuan!
Buku "Aku Ingin Jadi Peluru" bolehlah kita anggap sementara ini sebagai kumpulan terlengkap sajak-sajak Wiji Thukul. Penerbit Indonesiatera menyebutkan buku ini menampilkan hampir semua sajak Thukul, termasuk yang ditulis selama ia sengaja menghilang dan kemudian dihilangkan dan hingga kini tidak diketahui nasibnya. Tanpa mengurangi nilai sajak-sajak pada periode sebelumnya, maka buat saya sajak-sajaknya selama masa bergerak di bawah tanah itu adalah sajak-sajak yang sangat bernilai.
Ada sejumlah sajak dalam buku ini yang tidak dicantumkan tanggal penulisannya. Jika yang jadi rujukan adalah sajak berangka tahun, maka sajak tertua di buku ini ditulis pada saat si penyair berusia 20 tahun. Ia lahir tahun 1963, sajak-sajaknya yang paling sulung bertahun 1983. Ini usia yang sangat muda bagi seorang penyair. Saya yakin Thukul sudah menulis puisi sebelum tahun itu.
Apakah sajak bagi seorang Thukul? Kenapa Thukul menulis sajak? Kita bisa menemukan jawaban itu dalam beberapa sajaknya. Mari kita ambil petikannya:
Thukul menyair karena ia ingin mengucap. Ia ingin orang mendengar deritanya. Ia tak ingin jadi pahlawan. Itu diucapkannya dalam wawancara yang dikutip di halaman-halaman akhir buku ini. Kalau ia bercerita tentang nasib tak enak rakyat kecil, maka katanya, yang ia ceritakan itu adalah nasibnya sendiri. Kalau ia menyebut tukang becak, maka ayahnya memang tukang becak. Itu bukan metafora, bukan imajinasi yang ia reka. Pada dua bait awal sajak berjudul "Sajak" tadi ia menulis: Sajakku adalah kata-kata / yang mula-mula menyumpal di tenggorokan / lalu dilahirkan ketika kuucapkan // sajakku adalah kata-kata / yang mula-mula bergulung-gulung dalam perasaan / lalu lahirlah ketika kuucapkan.
Pilihan menyair bukan pilihan yang mudah buat ia. Ia risau dan bimbang dengan manfaat sajak yang ia tulis. Kerisauan itu jelas sekali terbaca dalam sajaknya "Apa yang Berharga dari Puisi". Ini sajak ia tulis di tahun 1986. Ia belum menikah. Dan sepertinya ia sudah "menjadi" penyair. Ia sudah sadar di mana posisi kepenyairannya. Ia menutup sajak itu dengan bait akhir yang menarik: "Apa yang telah kuberikan / Jika penonton baca puisi memberi keplokan?".
Sebelumnya di sepanjang bait pertama yang panjang itu, ia menulis "Apa yang berharga dari puisi?". Larik ini menjadi semacam anafora jika dianggap sebagai awal dari bait. Ia mengulang-ulang pertanyaan itu lantas menjawab dengan jawaban yang meragukan nilai puisinya sendiri. Nilai sajak, dan manfaat menjadi penyair ia benturkan dengan kenyataan pahit bahwa adiknya telat bayar SPP, becak bapaknya rusak, ibunya terjerat utang, harga-harga bahan pokok semakin mahal, dan mereka tak punya rumah.
Saya kira ada sutu atau sekian kali, Thukul pasti pernah ingin berhenti menyair. Tapi toh, setelah tahun-tahun itu sajak-sajaknya terus saja lahir. Dua tahun setelah sajak yang gamang itu ia telah yakin pada pilihan menyairnya: sajakku melawan kebisuan!(bersambung)
Sikapnya: Belajar Itu Mutlak
PENYAIR, kata Wiji Thukul dalam pengantar buku kumpulan sajak lengkapnya "Aku Ingin Jadi Peluru" (Indonesiatera, Cet. I 2000, Cet. II 2004), harus berjiwa bebas dan aktif. Bebas mencari kebenaran. Aktif mempertanyakan kembali kebenaran yang pernah diyakininya.
Sampai pada kutipan itu saja, saya sudah harus membuka dan angkat topi bagi kepenyairannya. Thukul mengajarkan sikap tawaduk, rendah hati, dan menjauh dari kesan anarkis yang banyak dilekatkan padanya mengingat dia adalah seorang yang kerap berada di tengah pusaran badai perlawanan gerakan buruh.
Penyair ini di tengah kerepotan dan kepungan kepentingan untuk mempertahankan hidupnya dan keluarganya, tetaplah penyair yang rindu pada kebenaran, sesuatu yang nyata ada tetapi selalu abstrak itu. Kebenaran yang dicari dan ditemukan oleh jiwa yang bebas. Tetapi, di sinilah ironiknya, dan disitu juga ketinggian pencapaian sikap Thukul terbaca: Ia sadar tidak ada kebenaran yang mutlak, kecuali milik Tuhan.
Maka, penyair harus aktif. Aktif mempertanyakan kembali kebenaran yang pernah ditemukan, dipegang dan diyakininya. Dengan kata lain, si penyair, harus meragukan lagi apa yang pernah diyakininya.
Barangkali, Wiji Thukul mencomot dengan main-main kalimat 'bebas dan aktif' itu dari kata-kata populer kebijakan luar negeri Indonesia yang dulu pernah sangat sering diucapkan oleh petinggi negeri ini. Tetapi, menurut saya, dia sungguh-sungguh mengangkatnya menjadi sikap dan landasan kreatif kepenyairannya.
Agar bisa bebas dan aktif, ujarnya, penyair harus terus-menerus belajar - kelak bisa kita lihat jejak-jejak Thukul belajar di dalam sajak-sajaknya. Belajar itu mutlak, katanya. Penyair, ujar Thukul yang tak tamat Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) jurusan tari ini, harus memperluas wawasan dan cakrawala pemikiran. Kenapa? Karena hal itu menunjang kebebasan jiwanya dalam berkarya.
Sajaknya: Melawan Kebisuan!
Buku "Aku Ingin Jadi Peluru" bolehlah kita anggap sementara ini sebagai kumpulan terlengkap sajak-sajak Wiji Thukul. Penerbit Indonesiatera menyebutkan buku ini menampilkan hampir semua sajak Thukul, termasuk yang ditulis selama ia sengaja menghilang dan kemudian dihilangkan dan hingga kini tidak diketahui nasibnya. Tanpa mengurangi nilai sajak-sajak pada periode sebelumnya, maka buat saya sajak-sajaknya selama masa bergerak di bawah tanah itu adalah sajak-sajak yang sangat bernilai.
Ada sejumlah sajak dalam buku ini yang tidak dicantumkan tanggal penulisannya. Jika yang jadi rujukan adalah sajak berangka tahun, maka sajak tertua di buku ini ditulis pada saat si penyair berusia 20 tahun. Ia lahir tahun 1963, sajak-sajaknya yang paling sulung bertahun 1983. Ini usia yang sangat muda bagi seorang penyair. Saya yakin Thukul sudah menulis puisi sebelum tahun itu.
Apakah sajak bagi seorang Thukul? Kenapa Thukul menulis sajak? Kita bisa menemukan jawaban itu dalam beberapa sajaknya. Mari kita ambil petikannya:
sajakku
adalah kebisuan
yang sudah kuhancurkan
sehingga aku bisa mengucapkan
dan engkau mendengarkan
sajakku melawan kebisuan
(sajak, 1988)
Thukul menyair karena ia ingin mengucap. Ia ingin orang mendengar deritanya. Ia tak ingin jadi pahlawan. Itu diucapkannya dalam wawancara yang dikutip di halaman-halaman akhir buku ini. Kalau ia bercerita tentang nasib tak enak rakyat kecil, maka katanya, yang ia ceritakan itu adalah nasibnya sendiri. Kalau ia menyebut tukang becak, maka ayahnya memang tukang becak. Itu bukan metafora, bukan imajinasi yang ia reka. Pada dua bait awal sajak berjudul "Sajak" tadi ia menulis: Sajakku adalah kata-kata / yang mula-mula menyumpal di tenggorokan / lalu dilahirkan ketika kuucapkan // sajakku adalah kata-kata / yang mula-mula bergulung-gulung dalam perasaan / lalu lahirlah ketika kuucapkan.
Pilihan menyair bukan pilihan yang mudah buat ia. Ia risau dan bimbang dengan manfaat sajak yang ia tulis. Kerisauan itu jelas sekali terbaca dalam sajaknya "Apa yang Berharga dari Puisi". Ini sajak ia tulis di tahun 1986. Ia belum menikah. Dan sepertinya ia sudah "menjadi" penyair. Ia sudah sadar di mana posisi kepenyairannya. Ia menutup sajak itu dengan bait akhir yang menarik: "Apa yang telah kuberikan / Jika penonton baca puisi memberi keplokan?".
Sebelumnya di sepanjang bait pertama yang panjang itu, ia menulis "Apa yang berharga dari puisi?". Larik ini menjadi semacam anafora jika dianggap sebagai awal dari bait. Ia mengulang-ulang pertanyaan itu lantas menjawab dengan jawaban yang meragukan nilai puisinya sendiri. Nilai sajak, dan manfaat menjadi penyair ia benturkan dengan kenyataan pahit bahwa adiknya telat bayar SPP, becak bapaknya rusak, ibunya terjerat utang, harga-harga bahan pokok semakin mahal, dan mereka tak punya rumah.
Saya kira ada sutu atau sekian kali, Thukul pasti pernah ingin berhenti menyair. Tapi toh, setelah tahun-tahun itu sajak-sajaknya terus saja lahir. Dua tahun setelah sajak yang gamang itu ia telah yakin pada pilihan menyairnya: sajakku melawan kebisuan!(bersambung)
Subscribe to:
Posts (Atom)