1. Masihkah dapat kau ingat? Ada ruang berperangkat padat,
gelas-gelas preparat, biakan mikroba yang harus kita catat? "Ya,"
tawa riang dan singkat. "Lab yang kita kunjungi dengan langkah
berat." Kau selalu bertanya, "kita tidak sedang dalam perangkap,
kan? Tidak sedang terjerat?" Aku ingin sekali bisa membaca,
isyarat cuaca di luar kaca. Kabut makin dekat. Langit makin pucat.
2. Masihkah terus kau kenang. Lagu langkahkah. Ragu jarakkah.
"Makin dekat bibir ke kecup puncak, tetapi, ah, makin mengetat
pula dekap pada pundak." Dan itulah ketika kita. Aku mengingat.
Kartu pos tak beralamat. Kukirim lewat sebuah peti surat. Kartu pos
bergambar senja: rumah, cakrawala, jingga, sepasang sepatu tua,
sepeda, selasar. Dan kubayangkan suara yang cemas: "Masuklah,
marilah. Sudah kubaca bait-bait sajak yang hampir kau selesaikan..."
3. Masihkah bisa kau rawat. Angin melati. Dari lingkaran bumban
di cahaya rambutmu. Ada bukit berbatas entah pada satu sisiku,
ragu pada lain sudutmu. "Tapi di sinilah cinta akan kita tunaskan,
dengan benih sepasang bimbang dan sepasang gamang." Sejengkal
pun kita tak membangun pagar. Jalan setebah angin itu: sejejak
lelahmu, setapak langkahku. Kita berkhayal tentang setebat tempat:
kita genangi langit. Kita tandai sesuatu saat: maka kita karibi kabut.