PENYAIR boleh saja tidak pandai melisankan puisinya. Tak juga salah kalau dia hebat memanggungkan puisinya. Dulu saya nyaman saja hidup cukup dengan menulis puisi. Ada penyair yang ucapannya saya jadikan kilah: buat apa saya menulis puisi, kalau saya harus membacakannya juga untuk orang lain.
Tetapi kemudian saya percaya bahwa membaca puisi itu punya tantangan dan keasyikan sendiri. Ketika harus mempersiapkan puisi untuk dibaca di Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki, saya mengumpulkan sejumlah saran dari teman-teman penyair.
1. Bacalah puisi sambil bernyanyi dalam hati. Nyanyian itu memandu bacaan kita. Bacaan kita seperti ketukan yang membuat puisi kita jadi teratur, berirama.
2. Bacalah puisi dengan membayangkan ketukan denyut jantung penonton. Bacaan kita harus seirama dengan denyutan itu.
3. Bacalah puisi dengan menyelaraskan jiwa kita, jiwa puisi, jiwa panggung dan jiwa penonton. Puisi yang kita tulis sendiri mestinya tak susah kita ambil jiwanya. Jiwa panggung bisa kita dapatkan dengan mengunjunginya, menyentuhnya, memandanginya sebelum kita tampil membaca di situ,. Pembaca yang memang datang untuk melihat kita membaca puisi, adalah mereka yang telah menyiapkan dirinya untuk kita rebut juga jiwanya dengan puisi kita.
4. Penonton perlu diajak perlahan-lahan, masuk ke dalam perangkap puisi kita, kemudian beri kejutan. Membaca puisi seperti menggelar sebuah teater kecil-kecilan.
5. Bacalah puisi sambil membayangkan benda-benda, atau adegan, atau sosok yang tampil dalam puisi kita. Wujudkan visualkan adegan itu saat membacanya. Cara ini membuat kita menggerakkan tubuh dan air muka seperti kita benar-benar merasakan kehadiran benda-benda itu.***