pancakara: demi sepetak ladang yang telah lama kau telantarkan, kau
     kabarkan maklumat perang, kau kibarkan bendera perkelahian.
     Sejak semula, sejak tubuh mengenal darah dari luka pertama.
     "Tapi, yang kau butuhkan, cuma sepetak tanah pemakaman, kan?"
panar: jangan, sekejap pun mangu-cengangmu mesti kau tahankan.
     selalu ada kejutan, bukan? Kata yang tiba-tiba ada di ucapan,
     kata yang tak sempat dikamuskan, kata yang tiba-tiba harus
     kau sebutkan. Kau tak sempat lagi bertanya, ini artinya apa?
     Kau tak dapat lagi mengelak, semakin menolak, semakin
     telak engkau ia rumuskan. Ada yang hendak kau rahasiakan?
pancaka: "Mungkin di sini tempat semua diselesaikan," kau pernah
     menduga begitu. Kau bayangkan terbakar tubuhmu, liar api itu,
     asap mengabarkan abu. Lalu pada daftar prosesi kremasi itu, mereka
     tulis namamu. "Nah, masih juga ada yang tak terbakar, bersama
     kobar itu! Masih saja ada yang tak terbang bersama asap sesap itu."
pampan: pelayaran yang tak lagi menandai langit siang dan laut malam,
     kau berjaga di haluan, menjaga bilakah rantai sauh mesti diulurkan.
     Ladang yang kau biarkan, hanya ada dalam peta perjalanan. Perang
     yang kau tunda seperti terjadwal di setiap pelabuhan. "Di mana kelak
     kau dikuburkan? Di mana kelak jasadmu diperabukan?"