Tuesday, September 29, 2009

[Tadarus Puisi # 036] Berenang di Sungai Warna-warni

SUNGAI HIJAU
Sajak Najwa Jamila

angin dingin mengalir
di sela daun-daun suplir
kecemasan yang bergetah
sekalian seteru bertemu
memburu dan menyaru

sungai hijau sungai hijau
ah! perjalanan
di sela-sela kaki
tawar menawar
antara angan dan ingin

Agustus, 2009


SUNGAI JINGGA
Sajak Najwa Jamila

sampai surut air
sajakku tetap mengalir
di antara batu
menuju muara
hingga cakrawala
garis jidatku

September, 2009


DUA sajak di atas adalah sajak yang baik, yang ditulis oleh penyair (atau calon penyair) berbakat hebat. Padanya ada kesadaran memain-mainkan bunyi, mengatur rima dan upaya itu dilakukan dengan amat wajar, amat bersahaja.


"Angin" itu misalnya, pada "Sungai Hijau" tidak disebutkan "berhembus" atau "bertiup", tetapi "mengalir". Diksi yang sederhana saja, tetapi dengan begitu ia berhasil menambah nilai dan rasa kalimat itu. Lagi pula, bunyi akhir "mengalir" kemudian terdengar selaras dengan "suplir" di larik berikutnya.

Perhatikan juga bagaimana empat kata berujung bunyi sama diparadekan: "seteru", "bertemu", "memburu", "menyaru".

Pesan sajak tidak menjadi beban, dia tidak membebani bentuk. Keduanya tampak selaras. Kalau itu terjadi eh tercapai, maka tak penting lagi apa pesan sebenarnya yang hendak disampaikan oleh penyair, sebab pembaca nyaman di hadapan sajak yang demikian, pembaca akan memetik makna sendiri.

Saya hanya agak terganggu dengan kata "bergetah". Seandainya ada kata lain, mungkin bisa membantu mengutuhkan sajak ini. Sebab "suplir" itu tidak bergetah. Bukan, ini bukan perkara yang amat sangat.

Pada "Sungai Jingga" lima baris pertama adalah baris yang biasa saja, mengalir lancar, dan kemudian dengan cerdik ditutup oleh larik penutup yang hebat "garis jidatku". Maka, terselamatkanlah seluruh larik-larik yang biasa-biasa saja itu menjadi sebuah bait yang utuh. Saya bayangkan jika penyair yang menulis sajak ini kelak membukukan sajak-sajaknya, maka sajak "Sungai Jingga" ini menjadi sajak pembuka. Sajak ini adalah penegasan untuk terus-menerus menulis sajak, hingga muara, hingga cakrawala, hingga garis dahi, atau hingga bergaris-garis dahi.***